Minggu, 02 Februari 2020

PHP A La Rupiah


Perbaikan nilai tukar rupiah
.
Mata uang garuda berada di atas angin beberapa waktu belakangan ini. Rupiah memperlihatkan geliatnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan membukukan penguatan selama tujuh pekan beruntun atau sejak awal Desember tahun lalu. Performa rupiah bahkan katanya menjadi terbaik ketiga atau keempat mata uang Asia.
.
Rupiah yang pernah terperosok di kuartal II tahun 2019 atau di bulan Mei, yaitu menyentuh level Rp14.513 per dolarnya, mendapatkan level terbaiknya di hari terakhir tahun 2019 dengan menyentuh Rp13.901 per dolar.
.
 
Sumber: Trading Economics
.


Banyak yang meyakini penguatan rupiah menjadi sinyal perbaikan ekonomi nasional, setelah mengalami perlambatan dalam beberapa waktu terakhir. Penguatan rupiah juga diharapkan menjadi pendorong stabilitas fundamental perekonomian, yang tertekan oleh situasi perang dagang dan tensi politik dunia.
.
Sebagaimana diketahui bahwa kurs atau nilai tukar mata uang merupakan fungsi dari penawaran dan permintaan (supply-demand). Dimana bila permintaan atas suatu mata uang meningkat namun tidak dibarengi supply yang memadai, maka nilai tukar atas mata uang tersebut akan menguat (apresiasi) dan vise versa.
.
Kinerja neraca perdagangan saat pelemahan rupiah
.
Rupiah pernah mengalami tekanan yang berat di tahun 2018 hingga pertengahan tahun 2019 lalu. Kondisi neraca transaksi berjalan (current account) yang defisit dipicu oleh neraca perdagangan (trade balance) yang negatif, menjadi salah satu penyebabnya. Kondisi membaik memang di tahun 2019, namun situasi eksternal berupa pelemahan ekonomi dunia belum membawa rupiah ke performa terbaiknya.
.
Ditengah kondisi pelemahan rupiah itu, sebenarnya terdapat peluang atau angin segar untuk meningkatkan volume ekspor. Hal ini disebabkan nilai tukar yang rendah mengakibatkan harga produk ekspor nasional yang kebanyakan berupa komoditas primer menjadi lebih murah dimata pembeli, dan kesempatan emas bagi eksportir meningkatkan profitnya..
.
Bila melihat data Trading Economics, pelemahan rupiah di tahun 2018 dimulai sejak bulan Januari hingga mencapai level terendah di bulan Oktober. Namun neraca perdagangan menurut BPS di periode tersebut, malah defisit USD5,5 miliar. Pertumbuhan ekspornya hanya 8,8 persen, sedang impor yang seharusnya tertekan dampak pelemahan rupiah malah tumbuh lebih tinggi 23,37 persen. 
.
 
Sumber: BPS
.


Kinerja ekspor impor saat rupiah menguat
.
Kembali merujuk data Trading Economics, tren penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dimulai sejak bulan Desember 2019. Pengamat ekonomi menilai bahwa penguatan rupiah mengikuti tren penguatan mata uang global terhadap dolar AS yang diperkirakan dipicu oleh antisipasi sikap The Fed yang belum akan menaikkan suku bunga acuannya.
.
Menurut rilis BPS, ekspor bulan Desember 2019 tumbuh 3,77 persen dibandingkan ekspor bulan November 2019. Perilaku ekspor bulan Desember 2019, bahkan juga tidak mengikuti pola ekspor bulanan tahun-tahun sebelumnya yang cenderung turun. Bila mengikuti pola bulanan yang diikuti dengan penguatan nilai tukar, seharusnya ekspor bulan Desember 2019 tidak lebih baik dari bulan sebelumnya atau bahkan turun lebih dalam.
.
Pertumbuhan tertinggi month to month (mtm) ekspor nasional di saat rupiah menguat, ternyata ada di sektor yang sensitif terhadap perubahan harga yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sektor industri hanya sanggup tumbuh 2,57 persen, padahal seharusnya sektor ini relatif bisa mengompensasi efek kenaikan kurs, karena impor bahan baku dan penolongnya menjadi lebih murah.
.
 
Sumber: Bea Cukai
. 
Impor yang seharusnya mendapat angin dari penguatan nilai tukar, menurut data BPS malah tumbuh negatif secara mtm di bulan Desember 2019 sebesar 5,47 persen. Impor bulan Desember 2019, masih terbawa pola 2 tahun sebelumnya yang tidak pernah lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Perkasanya rupiah atas dolar AS ternyata belum mampu merubah pola impor bulanan itu.
.
Industri nasional pun nampaknya tidak memaksimalkan kondisi ini. Hal itu nampak dari komposisi impor menurut penggunaannya. Impor bahan baku dan penolong, serta impor barang modal masing-masing tumbuh negatif 6,83 persen (mtm) dan 2,16 persen (mtm). Padahal peran keduanya terhadap aktifitas impor nasional mencapai 89 persen.
.
 
.

Dampak ke penerimaan negara
.
Bila melihat uraian sebelumnya, terlihat bahwa  fenomena perkasanya rupiah ternyata tidak memberikan dampak yang semestinya kepada kinerja ekspor dan impor nasional. Terbukti pada aktifitas impor yang malah tetap membumi, seolah tidak terpengaruh sama sekali. Sektor industri yang diperkirakan mengambil momen ini untuk mengimpor bahan baku produksinya, malah paling parah pelemahannya.
.
Dinamika penguatan rupiah malah sepertinya lebih elastis kepada penerimaan negara, terutama komponen penerimaan negara yang bersinggungan dengan transaksi valuta asing. Penerimaan Bea Masuk (BM), dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) lainnya seperti PPN impor, PPnBM, dan PPh pasal 22 impor adalah beberapa diantaranya.
.
Penerimaan negara yang basisnya dalam mata uang rupiah, mengharuskan devisa impor yang tercantum dalam pemberitahuan impor untuk disesuaikan dalam mata uang rupiah. Alhasil, nilai tukar yang berlaku saat itu akan sangat berpengaruh terhadap jumlah taxbase.
.
Bila diilustrasikan, misalnya dengan kurs rupiah sesuai asumsi makro APBN Tahun 2019 yang Rp15.000 per dolar AS. Kemudian impor bulan Desember 2019 adalah USD14,5 miliar, maka basis penghitungan penerimaan PDRI adalah sekitar Rp217,5 triliun. Padahal realisasi kurs dolar tahun 2019 menurut Kemenkeu adalah Rp14.146, sehingga basis penghitungan menjadi Rp205,1 triliun. Alhasil, terjadi penurunan basis penghitungan sekira Rp12,4 triliun, tapi ini masih harus dikurangi dulu impor dengan fasilitas maupun ke kawasan bebas ya.
.
Semoga bukan PHP
.
Fenomena penguatan rupiah atas dolar AS memang seharusnya menjadi penyemangat negeri ini dalam memperbaiki perekonomiannya. Gubernur Bank Indonesia dalam suatu kesempatan menerangkan bahwa penguatan rupiah masih sesuai fundamentalnya, seperti inflasi yang rendah, neraca pembayaran yang membaik, hingga pertumbuhan ekonomi.
.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa inflasi yang rendah jangan sampai menjadi indikasi dari turunnya daya beli. Mengingat rendahnya inflasi didorong rendahnya inflasi inti, yang menggambarkan kondisi supply-demand di masyarakat.
.
Neraca pembayaran masih diwarnai defisitnya neraca perdagangan yang merupakan bagian dari transaksi berjalan. Alhasil, membaiknya neraca pembayaran lebih banyak didorong oleh capital inflow yang sangat tergantung situasi dunia sehingga mudah sekali keluar, ingat situasi tahun 2018. Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 relatif stagnan di level 5 persen, bahkan melambat dibanding tahun 2018 lalu.
.
Bila melihat reflek ekspor dan impor nasional terhadap pergerakan rupiah yang sepertinya cuek, maka sedikit terlihat bahwa keperkasaan rupiah bukanlah sinyalemen perbaikan ekonomi, atau sekedar PHP saja kata generasi milenial. Karena kalau boleh disamakan responnya mirip emak-emak yang bawa sepeda motor, kasih lampu sign-nya ke kiri tapi beloknya malah ke kanan...... kan bikin PHP namanya.     
.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...