Perbaikan nilai tukar
rupiah
.
Mata uang garuda berada di atas angin beberapa waktu
belakangan ini. Rupiah memperlihatkan geliatnya terhadap dolar Amerika Serikat
(AS) dengan membukukan penguatan selama tujuh pekan beruntun atau sejak awal
Desember tahun lalu. Performa rupiah bahkan katanya menjadi terbaik ketiga atau
keempat mata uang Asia.
.Rupiah yang pernah terperosok di kuartal II tahun 2019 atau di bulan Mei, yaitu menyentuh level Rp14.513 per dolarnya, mendapatkan level terbaiknya di hari terakhir tahun 2019 dengan menyentuh Rp13.901 per dolar.
.
Sumber: Trading Economics
.
Banyak yang meyakini penguatan rupiah menjadi sinyal
perbaikan ekonomi nasional, setelah mengalami perlambatan dalam beberapa waktu terakhir.
Penguatan rupiah juga diharapkan menjadi pendorong stabilitas fundamental
perekonomian, yang tertekan oleh situasi perang dagang dan tensi politik dunia.
.
Sebagaimana diketahui bahwa kurs atau nilai tukar mata uang
merupakan fungsi dari penawaran dan permintaan (supply-demand). Dimana bila permintaan atas suatu mata uang
meningkat namun tidak dibarengi supply
yang memadai, maka nilai tukar atas mata uang tersebut akan menguat (apresiasi)
dan vise versa.
.
Kinerja neraca
perdagangan saat pelemahan rupiah
.
Rupiah pernah mengalami tekanan yang berat di tahun 2018
hingga pertengahan tahun 2019 lalu. Kondisi neraca transaksi berjalan (current account) yang defisit dipicu
oleh neraca perdagangan (trade balance)
yang negatif, menjadi salah satu penyebabnya. Kondisi membaik memang di tahun
2019, namun situasi eksternal berupa pelemahan ekonomi dunia belum membawa
rupiah ke performa terbaiknya.
.
Ditengah kondisi pelemahan rupiah itu, sebenarnya terdapat
peluang atau angin segar untuk meningkatkan volume ekspor. Hal ini disebabkan
nilai tukar yang rendah mengakibatkan harga produk ekspor nasional yang kebanyakan
berupa komoditas primer menjadi lebih murah dimata pembeli, dan kesempatan emas
bagi eksportir meningkatkan profitnya..
.Bila melihat data Trading Economics, pelemahan rupiah di tahun 2018 dimulai sejak bulan Januari hingga mencapai level terendah di bulan Oktober. Namun neraca perdagangan menurut BPS di periode tersebut, malah defisit USD5,5 miliar. Pertumbuhan ekspornya hanya 8,8 persen, sedang impor yang seharusnya tertekan dampak pelemahan rupiah malah tumbuh lebih tinggi 23,37 persen.
.
Sumber: BPS
.
Kinerja ekspor impor saat
rupiah menguat
.
Kembali merujuk data Trading
Economics, tren penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dimulai
sejak bulan Desember 2019. Pengamat ekonomi menilai bahwa penguatan rupiah
mengikuti tren penguatan mata uang global terhadap dolar AS yang diperkirakan
dipicu oleh antisipasi sikap The Fed yang belum akan menaikkan suku bunga
acuannya.
.
Menurut rilis BPS, ekspor bulan Desember 2019 tumbuh 3,77
persen dibandingkan ekspor bulan November 2019. Perilaku ekspor bulan Desember
2019, bahkan juga tidak mengikuti pola ekspor bulanan tahun-tahun sebelumnya
yang cenderung turun. Bila mengikuti pola bulanan yang diikuti dengan penguatan
nilai tukar, seharusnya ekspor bulan Desember 2019 tidak lebih baik dari bulan
sebelumnya atau bahkan turun lebih dalam.
.
Pertumbuhan tertinggi month
to month (mtm) ekspor nasional di saat rupiah menguat, ternyata ada di
sektor yang sensitif terhadap perubahan harga yaitu sektor pertanian dan sektor
pertambangan. Sektor industri hanya sanggup tumbuh 2,57 persen, padahal seharusnya
sektor ini relatif bisa mengompensasi efek kenaikan kurs, karena impor bahan
baku dan penolongnya menjadi lebih murah.
.
Sumber: Bea
Cukai
.
Impor yang seharusnya mendapat angin dari penguatan nilai
tukar, menurut data BPS malah tumbuh negatif secara mtm di bulan Desember 2019
sebesar 5,47 persen. Impor bulan Desember 2019, masih terbawa pola 2 tahun
sebelumnya yang tidak pernah lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Perkasanya
rupiah atas dolar AS ternyata belum mampu merubah pola impor bulanan itu.
.
Industri
nasional pun nampaknya tidak memaksimalkan kondisi ini. Hal itu nampak dari komposisi
impor menurut penggunaannya. Impor bahan baku dan penolong, serta impor barang
modal masing-masing tumbuh negatif 6,83 persen (mtm) dan 2,16 persen (mtm).
Padahal peran keduanya terhadap aktifitas impor nasional mencapai 89 persen..
.
Dampak ke penerimaan
negara
.
Bila melihat uraian sebelumnya, terlihat bahwa fenomena perkasanya rupiah ternyata tidak
memberikan dampak yang semestinya kepada kinerja ekspor dan impor nasional.
Terbukti pada aktifitas impor yang malah tetap membumi, seolah tidak terpengaruh
sama sekali. Sektor industri yang diperkirakan mengambil momen ini untuk
mengimpor bahan baku produksinya, malah paling parah pelemahannya.
.
Dinamika penguatan rupiah malah sepertinya lebih elastis
kepada penerimaan negara, terutama komponen penerimaan negara yang
bersinggungan dengan transaksi valuta asing. Penerimaan Bea Masuk (BM), dan
Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) lainnya seperti PPN impor, PPnBM, dan PPh pasal
22 impor adalah beberapa diantaranya.
.
Penerimaan negara yang basisnya dalam mata uang rupiah,
mengharuskan devisa impor yang tercantum dalam pemberitahuan impor untuk
disesuaikan dalam mata uang rupiah. Alhasil, nilai tukar yang berlaku saat itu
akan sangat berpengaruh terhadap jumlah
taxbase.
.
Bila diilustrasikan, misalnya dengan kurs rupiah sesuai
asumsi makro APBN Tahun 2019 yang Rp15.000 per dolar AS. Kemudian impor bulan
Desember 2019 adalah USD14,5 miliar, maka basis penghitungan penerimaan PDRI
adalah sekitar Rp217,5 triliun. Padahal realisasi kurs dolar tahun 2019 menurut
Kemenkeu adalah Rp14.146, sehingga basis penghitungan menjadi Rp205,1 triliun.
Alhasil, terjadi penurunan basis penghitungan sekira Rp12,4 triliun, tapi ini
masih harus dikurangi dulu impor dengan fasilitas maupun ke kawasan bebas ya.
.
Semoga bukan PHP
.
Fenomena penguatan rupiah atas dolar AS memang seharusnya
menjadi penyemangat negeri ini dalam memperbaiki perekonomiannya. Gubernur Bank
Indonesia dalam suatu kesempatan menerangkan bahwa penguatan rupiah masih
sesuai fundamentalnya, seperti inflasi yang rendah, neraca pembayaran yang
membaik, hingga pertumbuhan ekonomi.
.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa inflasi yang rendah
jangan sampai menjadi indikasi dari turunnya daya beli. Mengingat rendahnya
inflasi didorong rendahnya inflasi inti, yang menggambarkan kondisi supply-demand di masyarakat.
.
Neraca pembayaran masih diwarnai defisitnya neraca
perdagangan yang merupakan bagian dari transaksi berjalan. Alhasil, membaiknya
neraca pembayaran lebih banyak didorong oleh capital inflow yang sangat tergantung situasi dunia sehingga mudah
sekali keluar, ingat situasi tahun 2018. Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019
relatif stagnan di level 5 persen, bahkan melambat dibanding tahun 2018 lalu.
.
Bila melihat reflek ekspor dan impor nasional terhadap
pergerakan rupiah yang sepertinya cuek, maka sedikit terlihat bahwa keperkasaan
rupiah bukanlah sinyalemen perbaikan ekonomi, atau sekedar PHP saja kata generasi
milenial. Karena kalau boleh disamakan responnya mirip emak-emak yang bawa
sepeda motor, kasih lampu sign-nya ke kiri tapi beloknya malah ke kanan......
kan bikin PHP namanya.
.Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar