Sejak
awal tahun 2020 hingga saat ini, Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia
tengah menghadapi musuh bersama Covid-19
atau virus corona. Wabah yang bermula dari wuhan, salah satu daerah di Negara
Tiongkok, sekarang telah menjalar ke penjuru dunia hingga World Health Organization (WHO) pun menyatakan status pandemi.
.
Covid-19 yang
sudah pandemi kini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup manusia, namun juga
mengancam perekonomian. Ancaman yang sudah terbukti dengan terdampaknya ekonomi
Tiongkok di kuartal pertama, diperkirakan hanya mencapai 3,5 persen menurut
jejak pendapat Reuters.
.
Wabah
yang menyebar ke penjuru dunia, diyakini akan diikuti dengan pelemahan ekonomi
dunia. Tekanan ekonomi diprediksi terjadi pada Negara lain, mengingat besarnya porsi
Tiongkok pada rantai pasokan global. Terganggunya
pasokan, dikhawatirkan akan disertai perlambatan permintaan (konsumsi) domestik
di negara-negara terdampak. Bayangkan Covid-19
yang telah menjalari 198 negara menurut Worldometer
diikuti pelemahan ekonomi, niscaya resesi ekonomi dunia ada di depan mata.
.
Pelemahan
ekonomi yang sudah terjadi pada Tiongkok, mau tidak mau memberi tekanan ke
perekonomian nasional mengingat keterkaitan perdagangan kedua Negara yang demikian
besar. Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebutkan bahwa
setiap penurunan 1 persen perekonomian Tiongkok akibat pandemi Covid-19, akan mengontraksi 0,2 persen
perekonomian Indonesia. Lembaga pemeringkat Moody's
bahkan telah memrediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 hanya 4,8
persen, yang menurut Saya itu masih terlalu optimis.
.
Sebagaimana
disebut di atas, bahwa porsi Tiongkok pada rantai pasokan dunia relatif dominan.
Pun demikian terhadap Indonesia, yang sebagian besar impornya berasal dari
negeri Tirai bambu itu. Komposisi impor nasional didominasi oleh impor bahan
baku sekitar 75 persen, yang sebagian besarnya berasal dari Tiongkok. Industri
dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan bahan bakunya, alias masih ketergantungan
atas impor.
.
Apabila
kondisi saat ini berlangsung lama dan mengganggu pasokan bahan baku, maka ekonomi
nasional yang sekitar 20 persennya didorong sektor manufaktur niscaya menambah
tekanan tersendiri. Itu baru sektor manufaktur lho, masih ada sektor-sektor
lain yang saya yakin kebutuhannya juga masih tergantung impor asal Tiongkok.
.
Bagaimana
dengan sektor keuangan? Rupiah terjun bebas, hingga sempat anjlok ke level Rp17
ribu atau terburuk sejak krisis keuangan bulan Juli 1998. Pasar modal juga
ikut-ikutan membumi, dimana indeks harga saham gabungan sudah berada di level 3
ribuan. Pelemahan pasar modal sebenarnya juga terjadi di Negara-negara lain,
termasuk Amerika Serikat. Namun measure
yang dilakukan the Fed-lah yang kemudian menjadikan pasar modal Indonesia terpuruk.
.
Sebagaimana
diketahui, The Fed menurunkan suku bunganya dan sepertinya akan diikuti dengan
kebijakan quantitative easing-nya. Hal
ini disikapi oleh pasar sebagai suatu ketidakpastian, sehingga memicu kepanikan.
Bank Indonesia menyebutkan bahwa hingga minggu ketiga bulan Maret 2020 aliran
modal asing yang keluar Indonesia mencapai Rp125,2 Triliun, dan sepertinya
belum akan berhenti.
.
Ekonom
Australia National University, dalam
risetnya berjudul “The Global
Macroeconomic Impacts of Covid-19” menyatakan bahwa, Indonesia akan menghadapi
risiko kenaikan equity risk premium,
penurunan suplai tenaga kerja, kenaikan biaya produksi, penurunan permintaan, hingga
kenaikan anggaran belanja. Keduanya bahkan memrediksi produk domestik bruto
Indonesia akan terkoreksi direntang 1,3 persen hingga 4,7 persen. Nah kalau ini
Saya agak sependapat, meskipun ngeri juga.
.
Risiko
pertama, equity risk premium atau
guncangan pada pasar modal telah terjadi sebagaimana dijelaskan di atas. Penurunan
suplai tenaga kerja bukan melulu akibat kematian, namun juga terjadi melalui
pembatasan kegiatan di luar rumah, kegiatan berkumpul, hingga bekerja dari
rumah yang pada ujungnya mengurangi produktifitas.
.
Kebijakan
karantina wilayah hingga kewajiban karantina yang 14 hari atau di atas jatah
cuti tahunan membuat ongkos produksi naik. Padahal industri masih harus
menghadapi langkanya pasokan impor bahan baku, yang bisa jadi membuat harga menjadi
lebih mahal. Nah kalau industri sudah menghadapi situasi yang kompleks seperti
itu, hal yang dikhawatirkan pemerintah bisa jadi diambil oleh
perusahaan-perusahaan yaitu PHK (naudzubillah). Akhirnya semuanya itu mengakibatkan
pada lemahnya daya beli masyarakat, dan berujung pada minimnya permintaan (konsumsi).
.
Hasil
riset tersebut juga mulai terbukti dengan keluarnya kebijakan pemerintah yang
memberikan insentif atau stimulus terhadap kepentingan masyarakat terutama
kesehatan, dan juga pada industri. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu harus
dilakukan dengan menyesuaikan anggaran belanja negara, mengingat penerimaan Negara dipastikana bakal merosot
sedang rakyat jangan sampai ngesot.
.
Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar