Selasa, 31 Maret 2020

Corona Bikin Ekonomi Merana


Sejak awal tahun 2020 hingga saat ini, Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia tengah menghadapi musuh bersama Covid-19 atau virus corona. Wabah yang bermula dari wuhan, salah satu daerah di Negara Tiongkok, sekarang telah menjalar ke penjuru dunia hingga World Health Organization (WHO) pun menyatakan status pandemi.
.
Covid-19 yang sudah pandemi kini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup manusia, namun juga mengancam perekonomian. Ancaman yang sudah terbukti dengan terdampaknya ekonomi Tiongkok di kuartal pertama, diperkirakan hanya mencapai 3,5 persen menurut jejak pendapat Reuters.
.
Wabah yang menyebar ke penjuru dunia, diyakini akan diikuti dengan pelemahan ekonomi dunia. Tekanan ekonomi diprediksi terjadi pada Negara lain, mengingat besarnya porsi Tiongkok pada rantai pasokan global. Terganggunya pasokan, dikhawatirkan akan disertai perlambatan permintaan (konsumsi) domestik di negara-negara terdampak. Bayangkan Covid-19 yang telah menjalari 198 negara menurut Worldometer diikuti pelemahan ekonomi, niscaya resesi ekonomi dunia ada di depan mata.
.
Pelemahan ekonomi yang sudah terjadi pada Tiongkok, mau tidak mau memberi tekanan ke perekonomian nasional mengingat keterkaitan perdagangan kedua Negara yang demikian besar. Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebutkan bahwa setiap penurunan 1 persen perekonomian Tiongkok akibat pandemi Covid-19, akan mengontraksi 0,2 persen perekonomian Indonesia. Lembaga pemeringkat Moody's bahkan telah memrediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 hanya 4,8 persen, yang menurut Saya itu masih terlalu optimis.
.
Sebagaimana disebut di atas, bahwa porsi Tiongkok pada rantai pasokan dunia relatif dominan. Pun demikian terhadap Indonesia, yang sebagian besar impornya berasal dari negeri Tirai bambu itu. Komposisi impor nasional didominasi oleh impor bahan baku sekitar 75 persen, yang sebagian besarnya berasal dari Tiongkok. Industri dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan bahan bakunya, alias masih ketergantungan atas impor.
.
Apabila kondisi saat ini berlangsung lama dan mengganggu pasokan bahan baku, maka ekonomi nasional yang sekitar 20 persennya didorong sektor manufaktur niscaya menambah tekanan tersendiri. Itu baru sektor manufaktur lho, masih ada sektor-sektor lain yang saya yakin kebutuhannya juga masih tergantung impor asal Tiongkok.
.
Bagaimana dengan sektor keuangan? Rupiah terjun bebas, hingga sempat anjlok ke level Rp17 ribu atau terburuk sejak krisis keuangan bulan Juli 1998. Pasar modal juga ikut-ikutan membumi, dimana indeks harga saham gabungan sudah berada di level 3 ribuan. Pelemahan pasar modal sebenarnya juga terjadi di Negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat. Namun measure yang dilakukan the Fed-lah yang kemudian menjadikan pasar modal Indonesia terpuruk.
.
Sebagaimana diketahui, The Fed menurunkan suku bunganya dan sepertinya akan diikuti dengan kebijakan quantitative easing-nya. Hal ini disikapi oleh pasar sebagai suatu ketidakpastian, sehingga memicu kepanikan. Bank Indonesia menyebutkan bahwa hingga minggu ketiga bulan Maret 2020 aliran modal asing yang keluar Indonesia mencapai Rp125,2 Triliun, dan sepertinya belum akan berhenti.
.
Ekonom Australia National University, dalam risetnya berjudul “The Global Macroeconomic Impacts of Covid-19” menyatakan bahwa, Indonesia akan menghadapi risiko kenaikan equity risk premium, penurunan suplai tenaga kerja, kenaikan biaya produksi, penurunan permintaan, hingga kenaikan anggaran belanja. Keduanya bahkan memrediksi produk domestik bruto Indonesia akan terkoreksi direntang 1,3 persen hingga 4,7 persen. Nah kalau ini Saya agak sependapat, meskipun ngeri juga.
.
Risiko pertama, equity risk premium atau guncangan pada pasar modal telah terjadi sebagaimana dijelaskan di atas. Penurunan suplai tenaga kerja bukan melulu akibat kematian, namun juga terjadi melalui pembatasan kegiatan di luar rumah, kegiatan berkumpul, hingga bekerja dari rumah yang pada ujungnya mengurangi produktifitas.
.
Kebijakan karantina wilayah hingga kewajiban karantina yang 14 hari atau di atas jatah cuti tahunan membuat ongkos produksi naik. Padahal industri masih harus menghadapi langkanya pasokan impor bahan baku, yang bisa jadi membuat harga menjadi lebih mahal. Nah kalau industri sudah menghadapi situasi yang kompleks seperti itu, hal yang dikhawatirkan pemerintah bisa jadi diambil oleh perusahaan-perusahaan yaitu PHK (naudzubillah). Akhirnya semuanya itu mengakibatkan pada lemahnya daya beli masyarakat, dan berujung pada minimnya permintaan (konsumsi).
.
Hasil riset tersebut juga mulai terbukti dengan keluarnya kebijakan pemerintah yang memberikan insentif atau stimulus terhadap kepentingan masyarakat terutama kesehatan, dan juga pada industri. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu harus dilakukan dengan menyesuaikan anggaran belanja negara, mengingat  penerimaan Negara dipastikana bakal merosot sedang rakyat jangan sampai ngesot.
.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...