Kamis, 04 Maret 2021

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also wants shopping centers to provide space for Indonesian products, especially MSMEs, not to be filled with brands from abroad. Great instruction Mr. President, since we know that import contributes negatively to economic growth compared to export.

To stop buying foreign products, it means that we must provide substitute products that are produced domestically or also known as import substitution. To be able to produce substitutes for imported products means we must strengthen national manufacturing sector, which unfortunately (in my opinion) has not been successful so far.

Why did the import-substitution industrialization strategy fail to achieve its intended goal? In my opinion, this cannot be separated from the current or past national trade policies. Any (trade) policy applied usually has goal to surplus the trade (balance) then promotes the economy. So, it is important whether the trade policy to link with the trade system comprehensively to develop the economy optimally. The national trade policy usually related with the system of industrialization, such as outward-looking (export-oriented) policies and import substitution policies.

Outward-looking (export-oriented) policy is a policy that shift the focus from production for the domestic market to the products for export to foreign markets. The policies, reduces or even eliminates tariff, quotas and other trade barriers. So, domestic prices move closer to the world prices.

Import substitution policy is substitution of imports by products produced by domestic producers. The policies will be followed by other protective policies such as tariff, import quota, production subsidies and (sometime) exchange rate. Other than that, it usually only a certain period to foster infant industries until they are ready to compete globally.

Unfortunately, the policies fail to achieve the intended goal, since domestic producers enjoy of no competitors in domestic market. Government applies many trade barriers to protect domestic products, even though their products are in poor quality and expensive. So they forget or even omit to improve the technology and quality of the products.

The policies should gradually reduce the protection, but since the conditions above occurred, domestic producers would not be able to compete with foreign products that better quality and cheaper. Then eventually, the government has no choice to extend the policies. Well, it is a challenging instruction and quite hard to do Mr. President. But again, it is never wrong to do the right thing (Mark Twain).

Senin, 01 Maret 2021

Ulang Tahun atau Ulang Tha'un?

 

Peningkatan pembiayaan

Ulang tahun merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, baik anak-anak, remaja bahkan orang dewasa. Namun demikian menyikapi hari ulang tahun, tentu berbeda-beda pada diri setiap orang. Ulang tahun bagi anak-anak tentu disikapi dengan suka cita dan yang terbayang adalah kue ulang tahun serta kado berisi banyak mainan. Berbeda dengan anak remaja yang berarti saatnya mentraktir teman-teman dekat atau waktunya nge-date atau makan malam sama gebetan.

Berbeda dengan bagi orang dewasa, ulang tahun bisa jadi pengingat diri bahwa umur sudah tidak lagi muda. Terbayang masa pensiun sudah di depan mata, sedangkan anak-anak masih butuh biaya pendidikan yang tentu tidak sedikit. Alhasil, segala upaya yang dilakukan akan dilaksanakan dengan seefektif mungkin, dan berdaya guna bagi kehidupan dia maupun keluarganya.

Sekedar informasi, tamu tak diundang atau si Covid-19 sedang berulang tahun. Pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengumumkan kasus pasien positif Covid-19. Pemerintah sendiri menyatakan Covid-19 sebagai bencana nasional bukan alam pada tanggal 13 April 2020, seiring dikeluarkannya Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Terlepas dari tanggal berapa sebenarnya si Covid-19 ini masuk Indonesia, perlu dicermati seperti apakah bangsa ini menanggapi setahunnya kondisi pandemi.   

Pada tahun 2020, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp1.226,8 triliun atau setara 100,5 persen dari target pada Perpres 72/2020 yang sebesar Rp1.220,5 triliun. Melambungnya pembiayaan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi, yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pagunya mencapai Rp695,2 triliun.

Memasuki tahun 2021, pemerintah menyatakan tetap meneruskan program PEN-nya. Menteri Keuangan pada suatu kesempatan konferensi pers menyatakan bahwa anggaran PEN dinaikkan menjadi Rp699,43 triliun. Peningkatan anggaran PEN dimaksudkan agar menjadi daya dorong pemulihan ekonomi nasional di tahun 2021.

Pertumbuhan ekonomi memang menjadi titik kritis nasib bangsa ini. Bagaimana tidak, pandemi yang sudah di tahun kedua ini, telah mendongkrak utang luar negeri menjadi Rp6.233,14 triliun sebagaimana rilis Kementerian Keuangan per akhir Januari 2021. Angka itu menjadikan rasio utang terhadap PDB mencapai 40,28 persen, meskipun masih lebih rendah dari batasan maksimal rasio utang pada UU No.17 tahun 2003 yang 60 persen.

Ekonomi nasional harus sudah bisa tumbuh (positif) di tahun ini, setelah terperosok hingga minus 2,07 persen tahun lalu. Maka dari itu, tahun 2021 pemerintah memproyeksikan perekonomian (harus) tumbuh 5 persen, meskipun masih akan menghadapi ketidakpastian. Proyeksi pertumbuhan itu diharapkan dapat mengantarkan defisit anggaran ke level 5,7 persen terhadap PDB, dan menjadi langkah awal untuk kembali dikisaran 3 persen sebelum tahun 2024.

Tumbuh adalah keharusan

Tumbuhnya ekonomi penting dalam mengendalikan atau mengelola utang, karena dapat mendorong penerimaan (perpajakan). Pendapatan pemerintah tahun lalu bisa dibilang tertolong peningkatan harga komoditas di akhir tahun, sehingga memberi dorongan positif terutama pada penerimaan PNBP dan bea keluar. Tapi mahfum diketahui kalau harga komoditas itu volatile sifatnya, sehingga tidak bisa menjadi pijakan tetap.

Peran belanja pemerintah saat ini menjadi lokomotif dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Menjadi demikian mengingat penggerak utama ekonomi nasional, yaitu belanja atau konsumsi masyarakat saat ini belum bergerak optimal. Pertumbuhan ekonomi nasional bila didekomposisikan, maka konsumsi masyarakat meyumbang minus 1,43 persen dari minus 2,07 persen pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 versi BPS. Sepanjang tahun 2020 hanya konsumsi pemerintah yang masih memberi share positif yaitu 0,15 persen, meskipun belum mampu mengangkat ekonomi nasional dari jurang kontraksi.

Program PEN harus menjadi pendorong dan tepat sasaran dalam mengembalikan arah ekonomi, terutama yang menggerakkan konsumsi masyarakat. Anggaran perlindungan sosial seperti bantuan sosial hingga diskon listrik, diharapkan dapat menyelamatkan daya beli masyarakat terdampak pandemi sehingga tidak menjadi gejolak dan dapat tetap beraktifitas produktif.   

Insentif perpajakan diharapkan mampu menyelamatkan industri maupun dunia usaha, agar tidak mengurangi lapangan pekerjaan yang pada akhirnya menyelamatkan daya beli masyarakat. Bila daya beli masyarakat terjaga, tentu demand tumbuh dan industri maupun aktifitas perdagangan menggeliat. Insentif pada pemberdayaan UMKM dan industri kecil seperti subsidi bunga KUR, juga diharapkan dapat menghidupkan kembali usaha kecil yang menyasar masyarakat secara langsung.    

Namun demikian yang terpenting dan menjadi game changer dalam pemulihan ekonomi adalah sektor kesehatan. Pemerintah harus tetap memberikan perhatian khusus, terutama pengadaan vaksin dan alat penanganan medis. Fasilitas yang diberikan harus dapat memperlancar program vaksinasi nasional, sehingga aktifitas masyarakat maupun ekonomi dapat berjalan seperti sedia kala.

Intinya adalah belanja APBN tahun ini harus dapat menggerakkan seluruh potensi pendorong pertumbuhan ekonomi. Ngeri membayangkan bila pembiayaan (utang) yang dilakukan tidak terkonversi menjadi pertumbuhan, terutama penerimaan. Bila tahun ini tidak tumbuh, maka akan ada selisih gol antara penambahan utang dan pendapatan negara. Alhasil akan semakin sulit untuk mencapai target (paling tidak) kembali ke defisit 3 persen atau keseimbangan primer yang positif, apalagi keluar dari perangkap middle income trap. Kalau sudah begini mau seperti yang mana, anak kecil, remaja atau orang dewasa yang berulang tahun?

Wallahu alam

Minggu, 27 Desember 2020

Secercah Harapan di Tahun Depan

 Tren perbaikan akhir tahun

Tidak terasa tahun 2020 yang penuh dengan tantangan (cobaan) tinggal menyisakan beberapa hari lagi, dan kita akan segera memasuki tahun 2021 dengan membawa segudang harapan. Pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh lini kehidupan di dunia, tidak terasa juga sudah memasuki kuartal yang ke-empat dengan jumlah kasus dunia yang mencapai 78.380.027 kasus dan korban meninggal sejumlah 1.724.394 jiwa versi worldometers per tanggal 23 Desember 2020.

Dampak luar biasa juga dirasakan pada kinerja perekonomian, dimana ekonomi dunia diperkirakan melemah hingga -5,2 persen menurut World Bank dan -4,4 persen versi IMF. Bagaimana dengan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia? Perkonomian nasional diperkirakan tertekan dikisaran -2,2 hingga -1,7 persen menurut Kementerian Keuangan, dimana angka worst case-nya serupa dengan perkiraan versi World Bank. Bila dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional di awal masa sebelum pandemi yang 5,3 persen, maka merosotnya nyaris 8 persen.

Ada harapan dan optimisme perbaikan ekonomi tahun depan, terutama ekonomi nasional, yang berangkat dari membaiknya indikator-indikator makro di penghujung tahun. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur misalnya, yang merupakan suatu leading indicator berbasis survei yang menggambarkan seberapa optimis pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian kedepan. Nilai acuan indeks ini adalah 50, sehingga bila indeksnya lebih rendah dapat dikatakan sektor manufaktur sedang mengalami kontraksi dan sebaliknya.

Nilai PMI Indonesia sempat merosot di titik terendah di bulan Maret lalu, namun bulan November telah kembali berada di zona ekspansif dengan nilai 50,6. Tren perbaikan tersebut inline dengan indeks PMI global yang juga telah berada di atas 50, yang didorong oleh ekspansi yang terjadi pada negara-negara maju dan beberapa negara besar Asia seperti Tiongkok.

Indikator konsumsi domestik pun mengalami hal serupa, seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE), dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK), yang dilaporkan oleh Bank Indonesia (BI) kalau semuanya telah mengalami rebound. Perlu dingat, bahwa penggerak utama ekonomi nasional dari sisi pengeluaran adalah konsumsi rumah tangga.   

Asa di akhir tahun 2020

Jelang pergantian tahun, tren perbaikan akhir tahun 2020 seperti memberikan harapan akan membaiknya kondisi ekonomi tahun depan. Tidak tanggung-tanggung Kementerian Keuangan memperkirakan ekonomi nasional pada tahun 2021 tumbuh hingga 5 persen, World Bank pun sependapat meskipun sedikit lebih rendah yaitu 4,4 persen. Beberapa hal menjadi penyebab tumbuhnya optimism menurut JP Morgan adalah vaksinasi Covid-19, rotation to value, omnibus law, sovereign wealth fund, hingga perkembangan pesat e-commerce.      

Vaksinasi banyak orang menyebutnya sebagai game of changer dari lesu darahnya ekonomi. Vaksin diyakini akan menyelesaikan 2 masalah sekaligus yaitu kesehatan dan kepercayaan masyarakat, menurut Menko Bidang Perekonomian. Apalagi Presiden telah menyatakan kalau vaksinasi akan diberikan secara gratis kepada masyarakat. Namun perlu diingat konsekuensi atas penggratisan, yaitu alokasi dana yang dibutuhkan.

Merujuk harga satuan vaksin (Sinovac) sebagaimana dilaporkan Pemerintah kepada Dewan yang Rp211.282 per dosis, maka dibutuhkan sekitar Rp57 Triliun untuk sekitar 270 juta rakyat Indonesia. Bila vaksinasi direncanakan sebanyak 2 kali, maka total dana yang dibutuhkan nyaris Rp120 Triliun. Padahal arahan Presiden terkait program vaksinasi gratis, adalah agar tidak merubah asumsi pada APBN 2021 yang salah satunya adalah defisit anggaran 5,7 persen. Alhasil, vaksinasi akan mengakibatkan realokasi anggaran terutama belanja yang merupakan driver penggerak ekonomi.

Rotation to value atau kembalinya aliran dana modal asing ke negara berkembang, sudah terjadi di Indonesia. Hal itu tercermin dari Emerging Markets Bond Index (EMBI) dan Credit Default Swap (CDS) yang dilaporkan trennya terus menurun oleh Bank Indonesia pada Tinjauan Keuangan dan Moneter (TKM) edisi bulan Desember 2020. Sebagaimana diketahui bahwa dana asing mulai keluar di awal pandemi seiring kepanikan investor saat menyikapi eskalasi Covid-19 di seluruh dunia, salah satunya dengan melepas aset keuangan dengan mengkonversinya ke dollar AS.

Efek ketersediaan vaksin, mulai membaiknya mobilitas masyarakat, serta mulai dirasakannya manfaat stimulus pemerintah pada kegiatan konsumsi dan investasi, cukup meyakinkan para investor bahwa ketidakpastian sebagaimana terjadi di awal pandemi relatif berkurang dan trennya terus membaik. Selain itu, efek Biden yang diyakini akan merubah arah kebijakan ekonomi AS memberi dorongan pada para investor untuk menggelontorkan dananya ke emerging market termasuk Indonesia.

Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja, dipercaya akan memberikan kepastian bagi para investor, terutama dalam bentuk investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). Hal ini penting dalam mendorong perbaikan ekonomi terutama dalam rangka upaya lepas dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau Middle Income Trap. Bila pendorong ekonomi dari sisi pengeluaran adalah konsumsi masyarakat, maka pendorong terbesar dari sisi produksi adalah industry atau manufaktur yang celakanya kinerjanya terus turun dalam 10 tahun terakhir.

Modal asing yang masuk tentu berbentuk portofolio sifatnya sangat mudah lepas (footloose), meskipun fundamental ekonominya bagus. Berbeda dengan FDI yang mempunyai efek multiplier, karena investasinya berbentuk pabrik atau aktifitas industri. Sehingga pendetilan dari UU Cipta Kerja atau peraturan pelaksanaannya sangat penting dalam mengaktualisasikan peluang itu. Jangan sampai konsepsi yang sempurna di Pemerintah Pusat, tidak bisa diterjemahkan dilapangan sehingga hasilnya berbeda dengan yang diharapkan.

Sovereign Wealth Fund (SWF) menurut Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah kendaraan finansial negara, yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam dengan fungsi untuk stabilisasi ekonomi. Peraturan Pemerintah (PP) terkait SWF atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) telah dikeluarkan, yaitu PP73 dan PP74 yang mengatur tentang modal awal dan kelembagaan LPI.

LPI bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi penyediaan dana pembiayaan terutama dalam rangka pembangunan infrastruktur. LPI sendiri diharapkan mampu mengelola dana investasi menjadi lebih efektif, sehingga meningkatkan optimalisasi nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan, begitu kata Menko Perekonomian di suatu kesempatan.

Perkembangan pesat e-commerce di Indonesia diharapkan menjadi lokomotif pemulihan ekonomi. Transaksi elektronik hingga Kuartal III tahun 2020 menurut BI mencapai lebih dari 150 juta transaksi, dengan nilai sekitar Rp22 triliun. Kinerja positif e-commerce tergambar pada performa sektor informasi dan teknologi, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Kuartal III kemarin mencapai pertumbuhan tertinggi hingga 10,42 persen.

Kondisi New Normal telah menjadi faktor utama penggerak ekonomi internet, menggeser pola ekonomi masyarakat yang merupakan pendorong terbesar ekonomi nasional di sisi pengeluaran. Kebiasaan baru pola konsumsi masyarakat tersebut diharapkan terjaga bahkan terus meningkat, mengingat terdapat 5 unicorn di Indonesia yaitu Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka hingga Ovo.

Menjaga keberlanjutan momentum key drivers  

Perekonomian yang diperkirakan membaik di tahun depan bukan hanya menurut pemerintah, namun juga menjadi prediksi lembaga-lembaga dunia. Kabar itu bisa menjadi tambahan energi positif berupa optimisme dan kepercayaan diri bahwa bangsa ini mampu bangkit. Akan tetapi prediksi itu harus disikapi dengan strategi-strategi yang dapat mewujudkan prediksi tersebut.

Realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini yang belum maksimal, harus dijadikan pengalaman berharga untuk program yang sama di tahun 2021. Kelancaran dan sosialisasi vaksinasi menjadi krusial, mengingat vaksin menjadi kunci utama kebangkitan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus terus berusaha memaksimalkan momentum kembalinya modal asing serta investasi ke dalam negeri, dengan mengaitkannya ke sektor riil terutama Usaha Kecil Menengah (UKM). Terakhir adalah menyiapkan sarana dan prasarana informasi dan teknologi yang mumpuni, sehingga performa meyakinkan sektor ini dapat dimaksimalkan.

Wallahu a’lam

Minggu, 04 Oktober 2020

Spanyol vs Tiongkok, Siapa Lebih Kuat?

Kondisi sama pernah terjadi

Tidak terasa sudah sekitar setengah tahun, pandemi Covid-19 meluluh lantakan tatanan kehidupan negeri ini. Pemilihan kata yang lebay memang, tapi mungkin cukup menggambarkan betapa situasi ini memaksa manusia untuk merubah cara hidup yang dulu dianggap normal. Bagaimana tidak, dulu orang dianggap malas atau tidak produktif bila selalu berada di rumahnya. Tapi sekarang, pemerintah bahkan mewajibkan perkantoran untuk dapat beraktifitas dari kediamannya masing-masing.

Bagaimana dengan ekonomi, setali tiga uang ternyata. Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN 2021 menyatakan bahwa bila melihat total negara terpapar yang lebih dari 216 negara dengan jumlah kasus 33,2 juta dan korban jiwa mencapai 1 juta orang (worldometer), maka ketidakpastian global diperkirakan masih tinggi sehingga memberi risiko pada perekonomian.

Sebenarnya kondisi yang (nyaris) sama pernah terjadi di awal abad 19 lalu, tepatnya pada tahun 1918 hingga 1919. Saat itu virus pernafasan yang disebut sebagai Flu Spanyol atau Spanish Flu menyerang banyak negara dengan korban jiwa yang diperkirakan mencapai 50 juta orang di seluruh dunia, atau lebih banyak dari korban tewas Perang Dunia I menurut BBC World Service.

Tidak seperti Covid-19 yang rentan terhadap orang berusia lanjut, Flu Spanyol cenderung memakan korban berusia 20-an hingga 30-an yang merupakan usia produktif. Tapi kebijakan dalam menghadapi ancamannya dilakukan dengan cara yang sama seperti saat ini, seperti menjaga jarak sosial termasuk menutup sekolah dan rumah ibadah, melarang pertemuan massal, mengenakan makser dan pembatasan lainnya. Alhasil, perekonomian pun mengalami kerugian atau tekanan yang hebat.

Dampak ekonomi

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa korban jiwa Covid-19 (per September 2020) tidak sebanyak korban Flu Spanyol. Namun demikian dampak ekonomi Covid-19 diyakini lebih hebat dibanding Flu Spanyol. Data World Bank menunjukkan bahwa tahun 2019 lalu pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 2,47 persen, sedangkan proyeksi pertumbuhan tahun 2020 adalah -5,2 persen. Penurunan tajam itu memperlihatkan kontraksi ekonomi yang diakibatkan hampir mencapai 9 persen.

Dampak ekonomi Flu Spanyol menurut RJ Barro, JF Ursua, dan J Weng pada paper-nya yang berjudul "The Coronavirus and the Great Influenza Pandemic: Lessons from the "Spanish Flu" for the Coronavirus's Potential Effects on Mortality and Economic Activity”, adalah sekitar 6 persen.  Angka itu didapat dengan menerjemahkan tingkat kematian saat itu (2,1 persen dari total populasi pada 1918-1920) menjadi sekitar 150 juta kematian di seluruh dunia pada populasi dunia yang sekitar 7,5 miliar pada tahun 2020. 

Mengapa Flu Spanyol tekanan ekonominya lebih besar? Menurut Noah Smith dari Stony Brook University, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan perbedaan dampak ekonomi antara keduanya. Pertama adalah perbedaan struktur ekonomi, kemudian Perang Dunia I, lalu jangkauan komunikasi, hingga varian opportunity cost.

Kebijakan me-lockdown daerah atau bahkan satu negara, dilakukan pada pandemi Covid-19. Kebijakan yang merupakan upaya meminimalisir penyebaran virus tersebut, melarang segala kegiatan atau interaksi di dalam maupun ke luar. Akibatnya adalah ekonomi ritel terutama sektor jasa terpukul hebat. Padahal saat ini sekitar 86 persen tenaga kerja atau ekonomi dunia bergerak di sektor jasa, bandingkan dengan saat Flu Spanyol yang diperkirakan tidak sampai 50 persen.      

Perang Dunia (PD) I yang berlangsung antara tahun 2014 hingga 2018 (versi Wikipedia), tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu pendorong ekonomi terutama sektor industri atau manufaktur. Saat PD I, negara atau pemerintah masih memberikan pengaruh yang luar biasa pada industri terutama industri peralatan perang guna memenuhi kebutuhan perangnya. Di satu sisi mungkin mengakibatkan wabah menjadi lebih buruk, namun efeknya yang mampu mengurangi tekanan pada ekonomi tidak bisa diabaikan. 

Faktor komunikasi juga memberi pengaruh yang cukup signifikan, mengingat terdapat perbedaan tingkat kemudahan mengakses informasi. Saat ini, semua orang dari semua kelas sosial dapat menemukan semua informasi yang mereka butuhkan tentang virus corona melalui ponsel atau televisi. Bandingkan hal yang sama pada tahun 1918 lalu, jangankan internet dan televisi, sekedar berita di koran pun aksesnya tidak mudah. Alhasil, kesadaran dan pengetahuan akan bahaya wabah tidak tersebar, sehingga orang masih (berani) berinteraksi dan melakukan kegiatan ekonomi (belanja). 

Kondisi dunia saat ini jauh lebih modern dibandingkan seabad yang lalu. Perbedaan teknologi hingga gaya hidup, membuat banyak hal-hal baru yang tidak ada dijaman dulu. Kebutuhan akan leisure seperti travelling ke tempat-tempat wisata di luar negeri, atau menonton langsung pertandingan olah raga hingga konser musik, tentu belum se-massive tahun 1918 yang masih harus bergelut dengan kebutuhan pokok. Padahal kebutuhan gaya hidup modern tadi turut mendorong roda perekonomian, sehingga saat terjadi pembatasan aktifitas dampak ekonominya jelas terasa.

Noah Smith juga mengutarakan kemungkinan tekanan ekonomi saat ini yang akan berlangsung lebih lama dibandingkan Flu Spanyol. Hal itu disebabkan karena rantai pasokan dunia yang terputus, padahal keterkaitan antar negara (demand-supply) seluruh dunia saat ini jauh lebih kuat leverage-nya. Bila begini kondisinya, maka pernyataan Menteri Keuangan tentang masih adanya risiko pada perekonomian bisa jadi benar. Karena dengan 4 faktornya Noah Smith tadi, mengakibatkan perekonomian tahun 2020 lebih rentan daripada perekonomian tahun 1918. 


mind your own business

Beberapa hari lalu seorang kawan lama mengirim sebuah video tentang kisah Rasulullah SAW. Kisahnya adalah saat Baginda SAW bersama anak angkatnya berdakwah ke Tha’if dan menerima penolakan bahkan diiringi dengan penyerangan yang mengakibatkan dirinya terluka. Menghadapi penolakan itu beliau pun berdoa di antaranya ‘Allahumma ilaika asykuu dho’fa quwwati, wa qillata hiilati, wa hawaanii ‘alan naas…..’. Artinya ‘Ya Allah aku mengadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku, dan rendahnya (diriku) dalam pandangan manusia…..’.

Ibrah yang diambil dari kisah ini adalah bagaimana Nabi SAW menyalahkan dirinya, kekuatannya, lemahnya usaha, atau semua tentang dirinya sendiri. Mengapa demikian? Karena memang hanya diri sendirilah yang masih bisa dalam kendali. Sementara orang lain di luar kendali, sehingga tidak dikeluhkan Nabi SAW kepada Tuhannya.  

Mengapa saya menukil kisah di atas, karena ibrah dari kisah itu relevan dengan kondisi kita saat ini yang dalam cobaan atau tekanan. Menteri Keuangan dalam suatu kesempatan menyampaikan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2020 yang diperkirakan berada diteritori negatif. Kondisi itu didorong oleh kasus Covid-19 yang masih eskalatif, dan ketidakpastian global yang memberi risiko pada perekonomian.

Kontraksi perekonomian yang sudah dimulai sejak Kuartal II atau bulan Maret, hingga saat ini masih belum jelas kapan akan berakhir. Lalu bagaimana caranya bangsa ini bisa lepas dari situasi sulit? Mari kita belajar dari doa Rasulullah SWA tadi. Selama ini terpuruknya ekonomi nasional selalu dikaitkan dengan kondisi global maupun pandemi. Hal itu memang benar, tapi jangan sampai kondisi di luar kendali tersebut mengunci upaya pemulihan ekonomi.

Syukurnya pemerintah concern dalam meningkatkan kontributor utama ekonomi nasional seperti konsumsi masyarakat di sisi demand, dan industry di sisi supply melalui program Pemulihan Ekonomi nasional (PEN) yang digagas sejak Maret lalu. Pemerintah berupaya menyelamatkan ekonomi nasional dengan meluncurkan stimulus yang mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha.

Upaya pemulihan ekonomi itu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sekitar Rp695 Triliun lho. Alhamdulillah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kompak untuk berbagi beban, dengan skema public goods yaitu menyangkut hajat hidup orang banyak seperti bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda, maupun nonpublic goods yang menyangkut dunia usaha seperti pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Sekarang apa yang ada dalam kendali diri kita masing-masing? Mari kita disiplin dengan diri sendiri dan yang berada di luar kendali diri kita biarkan. Kita bisa mulai dengan hal terkecil seperti berdisiplin 3 M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang.  Pemerintah-BI saja sudah membagi beban, jangan sampai diri kita malah menjadi tambahan beban.

Wallahu a’lam

Senin, 29 Juni 2020

(Jangan) Gagal Fokus Paska Stimulus


Efek Covid-19 pada ekonomi

Pandemi Covid-19 dampaknya kini bukan hanya kepada kesehatan sebagaimana awalnya virus itu menjalar ke Indonesia atau seluruh dunia. Worldometer per 23 Juni 2020 mencatat kasus terinfeksi virus corona seluruh dunia mencapai 9,186,153 kasus, dengan jumlah kematian 474,260 jiwa dan 4,936,778 jiwa sembuh.

Kekhawatiran dan ketakutan akan keselamatan, saat ini sudah bertransformasi menjadi ketakutan terjadinya resesi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri memang, bila pandemi sepanjang hampir satu semester ini telah merubah arah perekonomian secara drastis. Data yang diambil dari Bloomberg memperlihatkan tren pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), memiliki kecenderungan yang sama yaitu declining.

Negara-negara dengan ekonomi besar seperti Amerika Serikat, kuartal pertama tahun 2020 hanya bisa tumbuh 0,3 persen atau sangat jauh dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2019 yang 2,7 persen. Mitra dagang utama kita yaitu Tiongkok, negara pertama terjangkit, bahkan terjun bebas menjadi minus 6,8 persen. Bagaimana dengan Indonesia? Kuartal pertama tahun ini juga merosot ke 2,97 persen.

Perekonomian nasional mulai merasakan tekanan, saat sebagian besar aktivitas ekonomi terhenti beroperasi. Tidak tanggung-tanggung, pandemi ini mengancam Indonesia baik dari sisi demand dan supply sekaligus. Rilis ekonomi nasional kuartal pertama BPS memperlihatkan fakta pelemahan seluruh komponen demand, terutama konsumsi yang hanya tumbuh 2,7 persen padahal kontribusi PDB-nya adalah tertinggi (59,4 persen).       

Sisi supply kondisinya sebelas dua belas dengan sisi demand, dimana seluruh komponen pembentuknya bermufakat untuk melemah. Sektor-sektor dengan kontribusi terbesar seperti manufaktur (20 persen), perdagangan (13,2 persen), dan pertanian (12,8 persen), sepakat untuk tidak tumbuh di atas 2 persen bahkan pertanian tidak tumbuh sama sekali.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, beberapa kebijakan disiapkan untuk menyelamatkan dan memulihkan ekonomi nasional. Kebijakan seperti menjaga konsumsi masyarakat, mendukung dunia usaha dan mempertahankan investasi, hingga ekspor-impor telah serius dipersiapkan. Namun demikian, langkah tersebut tentu berimplikasi pada dana yang harus disediakan.

Mampukah bayar utang?

Pemerintah telah menyiapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan dana mencapai Rp582,15 triliun, bila biaya kesehatan dimasukkan angkanya membesar menjadi Rp669,7 triliun. Biaya sebanyak itu sudah pasti berdampak pada APBN, yang defisitnya melebar menjadi Rp1.039 triliun atau 6,34 persen PDB.

Kebijakan counter cyclical pemerintah dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi, memang harus dibayar dengan peningkatan utang. Rasio utang pemerintah diperkirakan berada di rentang 33,8 persen – 35,88 persen PDB di tahun 2020. Rasio tersebut memang masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam UU no 17/2013 tentang keuangan negara, yaitu 60 persen.

Rasio utang nasional memang masih aman bila dibandingkan dengan PDB, namun bagaimana bila menggunakan barometer lain? Para pengamat ekonomi mulai mengingatkan penambahan utang, terutama utang luar negeri (ULN) nasional, baik pemerintah maupun swasta. Salah satunya adalah  Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, yang mengingatkan pemerintah untuk mencermati risiko debt to service ratio (DSR).  

Definisi DSR menurut Bank Indonesia (BI) adalah rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan. Alhasil rasio DSR, mencerminkan kemampuan sebuah negara menyelesaikan kewajiban membayar utang. Jika rasio DSR semakin besar berarti beban utang yang ditanggung semakin besar, demikian pula sebaliknya. Sedangkan transaksi berjalan adalah semua transaksi ekspor dan impor barang-barang dan jasa-jasa.

Merujuk Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dirilis BI, DSR kuartal 1 tahun 2020 adalah 27,65 persen. Rasio tersebut meningkat bila dibandingkan DSR kuartal 4 tahun 2019 yang 18 persen. Peningkatan DSR (ULN) tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan Covid-19.

Apakah kita harus khawatir? Khawatir boleh tapi lebih tepat waspada karena meski DSR meningkat, tapi bila dilihat tren DSR kuartal 1 sejak 4 tahun terakhir memang selalu di atas 25 persen. Alhasil peningkatan itu (bisa dibilang) merupakan pola tahunan, bahkan bila disetahunkan (annualized) DSR tahun 2020 yang 21,99 persen masih yang terendah sejak tahun 2015 yang rata-rata 27,66 persen atau batas aman menurut International Monetary Fund (IMF) yang sebesar 25 persen.  

Sebenarnya ada yang lebih penting untuk diwaspadai, yaitu bagaimana menjaga kinerja ekspor. Hal itu menjadi penting mengingat DSR erat kaitannya dengan ekspor yang merupakan (salah satu) andalan pemasukan devisa. Padahal menurut data Bea Cukai kinerja ekspor sepanjang tahun 2020 ini, trennya selalu negatif setiap bulannya (kecuali Februari) dengan penurunan tertajam di bulan Mei yang -28,96 persen (yoy) sehingga secara akumulatif tumbuh negatif 5,92 persen. Ngeri kan…?

Komoditas ekspor andalan nasional juga masih itu-itu saja, atau didominasi hasil alam dan olahan primer. Data bea cukai hingga bulan Mei 2020 menunjukkan bahwa komoditas utama ekspor ditempati batu bara diikuti minyak goring dan hasil alam lainnya. Kondisi ini rentan terhadap pergerakan harga global, yang saat ini cenderung melemah terdampak pandemi. Nah inilah PR utama, bagaimana Indonesia meningkatkan nilai tambah produk ekspornya, sehingga bisa meningkatkan kinerja ekspor sekaligus daya tahan industri dalam negeri.

Stimulus bisa jadi unfair trade

Hal lain yang juga perlu diperhatikan pemerintah sebagai dampak kebijakan penyelamatan dan pemulihan ekonomi, adalah stimulus bagi industri. Stimulus atau insentif dapat dipersepsikan negara mitra dagang sebagai tindakan curang Indonesia dalam melakukan perdagangan atau unfair trade sekaligus bentuk penerapan tax remedies.

Tax remedies sendiri adalah instrumen yang digunakan suatu negara untuk melindungi industrinya dari akibat praktik perdagangan tidak sehat. Instrument tersebut bisa berupa bea masuk antidumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards, termasuk juga stimulus atau fasilitasi.

Pada situasi pandemi, program PEN dengan stimulus industri mungkin bisa dikecualikan dari tuduhan kecurangan, karena lumrah juga dilakukan negara lain saat ini. Namun demikian perlu kehati-hatian dan kecermatan tentang berapa lama stimulus itu diberikan. Mengingat bila kondisi dianggap sudah masuk fase pemulihan, PEN bisa jadi dianggap sebagai kebijakan yang restriktif bahkan distortif terhadap perdagangan.

Tapi ada hal yang bisa dibilang lebih penting dibanding tuduhan unfair trade, yaitu guyuran impor asal negara lain yang juga memberikan stimulus pada industrinya. Ancaman terdekat mungkin datang dari Tiongkok, yang sudah mulai pulih industrinya disaat negara lain masih fokus pada penanganan Covid-19.

Tiongkok saat ini pasti sudah siap dengan persediaan barang ekspornya, dan melihat Indonesia sebagai tujuan ekspornya. Bila barang impor yang masuk merupakan produk andalan industri nasional dan sedang mengalami penurunan demand, tentu makin menambah tekanan meskipun belum dalam jumlah besar.

Kekhawatiran-kekhawatiran atas utang yang meningkat dan tuduhan tindakan kecurangan perdagangan memang suatu hal yang perlu dilakukan. Namun demikian jangan sampai semua kehawatiran itu, menutupi potensi masalah dan menjadi bom waktu yang tidak terdeteksi bagi ekonomi bangsa ini.

Wallahua’lam

 

 

 

 

 


Minggu, 03 Mei 2020

Tambah Utang vs Cetak Uang

Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan lagi
.
Pandemi Covid-19 yang telah menjalar ke lebih dari 200 negara di seluuh dunia, kini bukan lagi melulu masalah kesehatan namun telah menjadi ancaman ekonomi. Pun demikian dengan Indonesia, setelah pemerintah berupaya menanggulangi masalah kesehatan dan penyebarannya, kini problematika ekonomi sudah mulai membayangi.
.
Pendapatan negara diperkirakan terkena dampak yang cukup berat, mengingat melemahnya ekonomi mempengaruhi kemampuan industri dan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Alhasil, diperkirakan pendapatan negara melorot menjadi Rp1.760 Triliun dari sebelumnya yang diperkirakan Rp2.233 Triliun.
.
Padahal disaat yang sama, pemerintah harus melakukan upaya penanganan Covid-19 yang berimbas pada bertambahnya belanja negara. Presiden telah menyatakan bahwa tambahan belanja yang diperlukan guna penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1 Triliun. Perlu diingat, bahwa pembiayaan anggaran pada APBN Tahun 2020 adalah Rp307,2 Triliun. Nah dengan mengombinasikan penurunan pendapatan negara, belanja tambahan, dan anggaran pembiayaan pada APBN 2020, kebayang kan betapa berat beban pembiayaan negara.
.
Upaya penyelamatan pemerintah
.
Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter, adalah dua lembaga negara yang bertanggung jawab menjaga dan mengelola stabilitas dan sustainabilitas ekonomi nasional. Alhasil, peran penting keduanya menjadi harapan bangsa ini dalam upaya melepaskan tekanan yang begitu kuat pada ekonomi nasional saat ini.
.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020. Salah satu poinnya adalah tindakan antisipasi kemungkinan melebarnya defisit anggaran menjadi 5,07 persen.  Beban pembiayaan yang begitu besar, bahkan sepertinya terbesar dalam sejarah, bisa dilakukan dalam bentuk pembiayaan anggaran yang diperlebar. Namun memang kebijakan tersebut tentu akan  berdampak pada biaya atau beban bunga yang bertambah besar, sebagaimana terjadi pada tahun 1997/1998.
.
Opsi lain adalah dengan mencetak uang, yang sudah barang tentu berisiko pada tingginya inflasi. Pasti kita tidak ingin kejadian hiperinflasi di tahun 1965 yang mencapai 600% terulang lagi kan. Alhasil pemerintah sangat perlu untuk mempertimbangkan seluruh indikator untuk kemudian mencari policy mix atau bauran kebijakan, dalam rangka mencari solusi yang dianggap paling tepat saat ini.
.
Menjaga pasokan dolar
.
Kebijakan pertama adalah dengan memperlebar pembiayaan melalui issuing bond. Hal itu dilakukan karena selain untuk membiayai defisit anggaran, pemerintah  mempunyai kewajiban pembayaran utang luar negeri (ULN) dalam bentuk dolar, dan posisi cadangan devisa BI yang semakin merosot. Logikanya adalah bila pemerintah melakukan ULN, namun disaat yang sama tidak ada masukan dolar yang memadai, maka otomatis cadangan devisa tentu berkurang. Belum lagi upaya intervensi yang dilakukan BI dalam rangka penyelamatan ekonomi beberapa waktu lalu, menekan cadangan devisa hingga level 124 miliar dolar.
.
Menteri Keuangan dalam suatu kesempatan menyatakan, bahwa dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu (volatile) saat ini, suplai atas dolar menjadi sangat peka. Ekstrimnya adalah kekurangan rupiah masih bisa diatasi dengan melakukan pencetakan, namun tentu berbeda dengan dolar. Alhasil, opsi issuing bond pun menjadi pilihan meskipun dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting, bahkan terkadang window-nya sangat kecil untuk mendapatkan suku bunga yang dirasa masih masuk akal atau reasonable.
.
Cetak uang lebih mudah?
.
Bagaimana dengan opsi mencetak rupiah, apakah feasible? Pada dasarnya salah satu wewenang BI adalah melakukan pencetakan uang. Tindakan mencetak uang dilakukan sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan BI yang lain, misalnya kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikeluarkan beberapa waktu lalu. Bahkan kebijakan defisit pembiayaan yang dipenuhi dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), juga berimplikasi pada pencetakan uang.
.
Namun perlu dipahami bahwa kebijakan BI dalam mencetak uang, mempunyai basis atau underlying. Karena bila BI melakukan pencetakan uang tanpa ada underlying atau basisnya, maka dapat dipastikan akan terjadi inflasi yang relatif sulit dikendalikan. Mudah-mudahan hal itu musykil terjadi, sepanjang BI masih menjalankan tujuannya yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
.
Jadi anda setuju mana, melebarkan utang atau mencetak uang……??  Wallahu a’lam

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...