Selasa, 20 Februari 2018

Belanja atau Kerja?

Belanja atau Kerja?
Oleh: Gatot Priyoharto

International Monettery Fund (IMF) dalam policy paper-nya yang berjudul “Fiscal Policy and Long Term Growth”, menyatakan bahwa reformasi fiskal dan konsolidasi fiskal berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.  
.
Reformasi pada kebijakan fiskal, menurut IMF dapat menyumbang tambahan pertumbuhan hingga 0,75 persen poin lebih di negara berkembang. Sedangkan redistribusi belanja pada investasi infrastruktur dapat menambah pertumbuhan sekira 0,25 persen.
.
Dalam analisisnya juga disebutkan bahwa penurunan defisit terhadap pertumbuhan di negara berkembang dapat berpengaruf positif, namun hanya hingga ditingkat 1,5 persen terhadap PDB saja. Serta disinggung juga tentang tingginya utang yang dapat menghambat pertumbuhan.  
.
Presiden RI pada awal tahun 2018 kemarin sempat mengibaratkan Indonesia sebagai seorang yang sehat, kolesterol rendah, tekanan darah normal dan jantung baik. Sehingga timbul pertanyaan apakah dengan kondisi yang sehat tersebut, Indonesia dapat berlari mengejar ketertinggalannya, yaitu dengan mendorong investasi dan  meningkatkan ekspor. 
.
Indonesia sempat dibayang-bayangi perlambatan ekonomi pada tahun 2017 karena mengalami tekanan di sektor konsumsi masyarakat yang tumbuh dibawah 5 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih berkutat dikisaran 5 persen sejak tahun 2013, meskipun demikian Menteri Keuangan menolak dikatakan ekonomi Indonesia stagnan karena menurutnya negara dengan GDP di atas USD 1 Triliun dengan pertumbuhan rata-rata 5 persen adalah quite high
.
Ditambahkan lagi bahwa, pertumbuhan ekonomi tahun 2017 yang 5,07 persen adalah momentum dari perkuatan pemulihan ekonomi akibat tekanan pada perdagangan internasional dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Penyebabnya adalah jatuhnya harga-harga komoditas dan menurunnya perdagangan global yang akhirnya berpengaruh pada ekonomi Indonesia. 
.
Pemerintah tentu telah berusaha mengendalikan hal itu, khususnya dalam 3 (tiga) tahun terakhir dengan cara mengeluarkan beberapa kebijakan (stimulus ekonomi). Penerapan stimulus tersebut dilakukan terhadap semua faktor pendorong pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi, investasi hingga  belanja pemerintah. 
.
Namun akibat dari pemberian stimulus tersebut adalah semakin melebarnya tingkat defisit APBN. Pada tahun 2015 defisit APBN telah mencapai Rp 292,2 T atau -2,59 persen kemudian melebar pada tahun 2016 menjadi Rp. 307,7 T atau -2,46 persen. Pada akhirnya mencapai defisit tertinggi di tahun 2017 sebesar Rp. 345,8 T atau -2,57 persen.
.
Tren defisit memang terus mengalami peningkatan, tetapi bila dilihat kemana perginya kebijakan tersebut mungkin dapat sedikit menentramkan. Karena kebijakan fiskal menurut IMF dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui jalur labor supply, physical capital, human capital dan total factor productivity
.
Sejalan dengan hal tersebut Menteri Keuangan pun dengan tegas telah menyatakan bahwa, akan fokus  meningkatkan growth  dengan mendorong investasi dan ekspor serta menjaga konsumsi > 5 persen dengan mengerahkan semua instrumen policy
.
Lalu apa yang dapat dilakukan DJBC dalam membantu pemerintah menumbuhkan perekonomian nasional khususnya statement Menkeu di atas? Menurut hemat saya, ada 2 (dua) pilihan, yaitu dengan menggunakan kebijakan fiskal dan kebijakan prosedural. 
.
Kebijakan memperkuat belanja, memang terbukti efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan efek multipliernya pada konsumsi masyarakat. Lebih lanjut lagi, penguatan belanja negara mampu memperlihatkan hasilnya dalam jangka waktu yang relatif cepat, karena dapat dinikmati segera.  
.
Akan tetapi, kebijakan ini tentunya mempunyai konsekuensi pada postur APBN yang saat ini mengalami budget constraint kalau boleh dibilang demikian. Karena dalam postur APBN 2018 ini, pendapatan negara yang diprediksi Rp. 1.894,7 T belum dapat menutupi belanja negara yang mencapai Rp. 2.220,7 T. Sehingga tentunya pilihan untuk memperbesar porsi belanja pemerintah sangat sulit dilakukan, bahkan dengan belanja yang berkualitas sekalipun. 
.
Belum lagi pemerintah diharuskan mempertimbangkan batasan defisit APBN yang ditetapkan maksimal sebesar 3 persen dari PDB. Meskipun menurut saya agak sedikit tidak imbang apabila membandingkan kenaikan pendapatan perpajakan dengan kenaikan belanja pemerintah. Target penerimaan perpajakan pada tahun 2018 yang naik hampir 10 persen tidak sebanding dengan kenaikan belanja pemerintah yang hanya sekitar 6 persen. 
.
Ketidakseimbangan kenaikan di atas ada yang mengartikan dengan, apa yang masyarakat berikan ke negara tidak sebanding dengan apa yang diberikan negara kepada rakyatnya. Meskipun pemerintah memang beralasan menaikkan target penerimaan perpajakan dimaksudkan untuk menaikkan rasio perpajakan Indonesia yang hanya 10,3 persen. Angka rasio yang menurut Menkeu adalah salah satu yang terendah di dunia, bahkan yang terendah di Asia Tenggara dimana rasio pajaknya rata-rata 15-16 persen dari PDB. 
.
Penguatan atau perbaikan kebijakan prosedural, tentunya menjadi lebih feasible bila melihat gambaran umum kondisi makro ekonomi negara di atas. Meskipun tidak berdampak seketika, namun bisa dibilang pilihan ini dapat lebih menguatkan fundamental perekonomian negara melalui pertumbuhan investasi dan ekspor. 
.
DJBC yang telah memulai langkah reformasinya sejak 1995, yaitu saat ditetapkannya Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai, mempunyai banyak terobosan yang inline dengan isu ini.
.
Penyederhanaan Perizinan Fasilitas adalah salah satunya, dimana program ini dirancang untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas layanan pemberian fasilitas. Ada lagi Pengembangan Otomasi Pelayanan, yang bertujuan mewujudkan pelayanan yang efektif dan efisien dengan mengurangi tatap muka dengan pengguna jasa serta meningkatkan kecepatan layanan.
.
Contoh terakhir adalah Pengembangan Sistem Kepatuhan Pengguna Jasa. Program ini menurut saya yang paling menjual, karena di program ini DJBC akan mempunyai profil pengguna jasa yang komprehensif dan bisa digunakan oleh calon investor pada saat mencari counterpart bisnisnya. DJBC dapat menyediakan informasi entitas-entitas yang dirasa sesuai dengan kategori yang diinginkan calon investor lengkap dengan profil resiko, nature of business maupun akuntabilitasnya.
.
Beberapa contoh di atas mungkin dapat menjadi gambaran bagaimana penguatan atau perbaikan prosedural dapat menjadi alternatif yang efektif dalam membantu mengatasi permasalahan ekonomi nasional. Contoh kontribusi perbaikan prosedural yang dilakukan DJBC adalah pada sistem single billing/payment dalam pembayaran BM dan PDRI yang menjadi salah satu faktor membaiknya peringkat EODB Indonesia. 
.
Tentunya faktor kemudahan dalam berinvestasi, disamping kondisi makro ekonomi suatu negara, menjadi pertimbangan tersendiri bagi para investor. Selanjutnya diharapkan mau menanamkan modalnya di Indonesia untuk kemudian berkontribusi menggerakkan roda ekspor nasional. 

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...