Minggu, 03 Mei 2020

Tambah Utang vs Cetak Uang

Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan lagi
.
Pandemi Covid-19 yang telah menjalar ke lebih dari 200 negara di seluuh dunia, kini bukan lagi melulu masalah kesehatan namun telah menjadi ancaman ekonomi. Pun demikian dengan Indonesia, setelah pemerintah berupaya menanggulangi masalah kesehatan dan penyebarannya, kini problematika ekonomi sudah mulai membayangi.
.
Pendapatan negara diperkirakan terkena dampak yang cukup berat, mengingat melemahnya ekonomi mempengaruhi kemampuan industri dan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Alhasil, diperkirakan pendapatan negara melorot menjadi Rp1.760 Triliun dari sebelumnya yang diperkirakan Rp2.233 Triliun.
.
Padahal disaat yang sama, pemerintah harus melakukan upaya penanganan Covid-19 yang berimbas pada bertambahnya belanja negara. Presiden telah menyatakan bahwa tambahan belanja yang diperlukan guna penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1 Triliun. Perlu diingat, bahwa pembiayaan anggaran pada APBN Tahun 2020 adalah Rp307,2 Triliun. Nah dengan mengombinasikan penurunan pendapatan negara, belanja tambahan, dan anggaran pembiayaan pada APBN 2020, kebayang kan betapa berat beban pembiayaan negara.
.
Upaya penyelamatan pemerintah
.
Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter, adalah dua lembaga negara yang bertanggung jawab menjaga dan mengelola stabilitas dan sustainabilitas ekonomi nasional. Alhasil, peran penting keduanya menjadi harapan bangsa ini dalam upaya melepaskan tekanan yang begitu kuat pada ekonomi nasional saat ini.
.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020. Salah satu poinnya adalah tindakan antisipasi kemungkinan melebarnya defisit anggaran menjadi 5,07 persen.  Beban pembiayaan yang begitu besar, bahkan sepertinya terbesar dalam sejarah, bisa dilakukan dalam bentuk pembiayaan anggaran yang diperlebar. Namun memang kebijakan tersebut tentu akan  berdampak pada biaya atau beban bunga yang bertambah besar, sebagaimana terjadi pada tahun 1997/1998.
.
Opsi lain adalah dengan mencetak uang, yang sudah barang tentu berisiko pada tingginya inflasi. Pasti kita tidak ingin kejadian hiperinflasi di tahun 1965 yang mencapai 600% terulang lagi kan. Alhasil pemerintah sangat perlu untuk mempertimbangkan seluruh indikator untuk kemudian mencari policy mix atau bauran kebijakan, dalam rangka mencari solusi yang dianggap paling tepat saat ini.
.
Menjaga pasokan dolar
.
Kebijakan pertama adalah dengan memperlebar pembiayaan melalui issuing bond. Hal itu dilakukan karena selain untuk membiayai defisit anggaran, pemerintah  mempunyai kewajiban pembayaran utang luar negeri (ULN) dalam bentuk dolar, dan posisi cadangan devisa BI yang semakin merosot. Logikanya adalah bila pemerintah melakukan ULN, namun disaat yang sama tidak ada masukan dolar yang memadai, maka otomatis cadangan devisa tentu berkurang. Belum lagi upaya intervensi yang dilakukan BI dalam rangka penyelamatan ekonomi beberapa waktu lalu, menekan cadangan devisa hingga level 124 miliar dolar.
.
Menteri Keuangan dalam suatu kesempatan menyatakan, bahwa dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu (volatile) saat ini, suplai atas dolar menjadi sangat peka. Ekstrimnya adalah kekurangan rupiah masih bisa diatasi dengan melakukan pencetakan, namun tentu berbeda dengan dolar. Alhasil, opsi issuing bond pun menjadi pilihan meskipun dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting, bahkan terkadang window-nya sangat kecil untuk mendapatkan suku bunga yang dirasa masih masuk akal atau reasonable.
.
Cetak uang lebih mudah?
.
Bagaimana dengan opsi mencetak rupiah, apakah feasible? Pada dasarnya salah satu wewenang BI adalah melakukan pencetakan uang. Tindakan mencetak uang dilakukan sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan BI yang lain, misalnya kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikeluarkan beberapa waktu lalu. Bahkan kebijakan defisit pembiayaan yang dipenuhi dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), juga berimplikasi pada pencetakan uang.
.
Namun perlu dipahami bahwa kebijakan BI dalam mencetak uang, mempunyai basis atau underlying. Karena bila BI melakukan pencetakan uang tanpa ada underlying atau basisnya, maka dapat dipastikan akan terjadi inflasi yang relatif sulit dikendalikan. Mudah-mudahan hal itu musykil terjadi, sepanjang BI masih menjalankan tujuannya yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
.
Jadi anda setuju mana, melebarkan utang atau mencetak uang……??  Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...