Minggu, 27 Desember 2020

Secercah Harapan di Tahun Depan

 Tren perbaikan akhir tahun

Tidak terasa tahun 2020 yang penuh dengan tantangan (cobaan) tinggal menyisakan beberapa hari lagi, dan kita akan segera memasuki tahun 2021 dengan membawa segudang harapan. Pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh lini kehidupan di dunia, tidak terasa juga sudah memasuki kuartal yang ke-empat dengan jumlah kasus dunia yang mencapai 78.380.027 kasus dan korban meninggal sejumlah 1.724.394 jiwa versi worldometers per tanggal 23 Desember 2020.

Dampak luar biasa juga dirasakan pada kinerja perekonomian, dimana ekonomi dunia diperkirakan melemah hingga -5,2 persen menurut World Bank dan -4,4 persen versi IMF. Bagaimana dengan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia? Perkonomian nasional diperkirakan tertekan dikisaran -2,2 hingga -1,7 persen menurut Kementerian Keuangan, dimana angka worst case-nya serupa dengan perkiraan versi World Bank. Bila dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional di awal masa sebelum pandemi yang 5,3 persen, maka merosotnya nyaris 8 persen.

Ada harapan dan optimisme perbaikan ekonomi tahun depan, terutama ekonomi nasional, yang berangkat dari membaiknya indikator-indikator makro di penghujung tahun. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur misalnya, yang merupakan suatu leading indicator berbasis survei yang menggambarkan seberapa optimis pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian kedepan. Nilai acuan indeks ini adalah 50, sehingga bila indeksnya lebih rendah dapat dikatakan sektor manufaktur sedang mengalami kontraksi dan sebaliknya.

Nilai PMI Indonesia sempat merosot di titik terendah di bulan Maret lalu, namun bulan November telah kembali berada di zona ekspansif dengan nilai 50,6. Tren perbaikan tersebut inline dengan indeks PMI global yang juga telah berada di atas 50, yang didorong oleh ekspansi yang terjadi pada negara-negara maju dan beberapa negara besar Asia seperti Tiongkok.

Indikator konsumsi domestik pun mengalami hal serupa, seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE), dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK), yang dilaporkan oleh Bank Indonesia (BI) kalau semuanya telah mengalami rebound. Perlu dingat, bahwa penggerak utama ekonomi nasional dari sisi pengeluaran adalah konsumsi rumah tangga.   

Asa di akhir tahun 2020

Jelang pergantian tahun, tren perbaikan akhir tahun 2020 seperti memberikan harapan akan membaiknya kondisi ekonomi tahun depan. Tidak tanggung-tanggung Kementerian Keuangan memperkirakan ekonomi nasional pada tahun 2021 tumbuh hingga 5 persen, World Bank pun sependapat meskipun sedikit lebih rendah yaitu 4,4 persen. Beberapa hal menjadi penyebab tumbuhnya optimism menurut JP Morgan adalah vaksinasi Covid-19, rotation to value, omnibus law, sovereign wealth fund, hingga perkembangan pesat e-commerce.      

Vaksinasi banyak orang menyebutnya sebagai game of changer dari lesu darahnya ekonomi. Vaksin diyakini akan menyelesaikan 2 masalah sekaligus yaitu kesehatan dan kepercayaan masyarakat, menurut Menko Bidang Perekonomian. Apalagi Presiden telah menyatakan kalau vaksinasi akan diberikan secara gratis kepada masyarakat. Namun perlu diingat konsekuensi atas penggratisan, yaitu alokasi dana yang dibutuhkan.

Merujuk harga satuan vaksin (Sinovac) sebagaimana dilaporkan Pemerintah kepada Dewan yang Rp211.282 per dosis, maka dibutuhkan sekitar Rp57 Triliun untuk sekitar 270 juta rakyat Indonesia. Bila vaksinasi direncanakan sebanyak 2 kali, maka total dana yang dibutuhkan nyaris Rp120 Triliun. Padahal arahan Presiden terkait program vaksinasi gratis, adalah agar tidak merubah asumsi pada APBN 2021 yang salah satunya adalah defisit anggaran 5,7 persen. Alhasil, vaksinasi akan mengakibatkan realokasi anggaran terutama belanja yang merupakan driver penggerak ekonomi.

Rotation to value atau kembalinya aliran dana modal asing ke negara berkembang, sudah terjadi di Indonesia. Hal itu tercermin dari Emerging Markets Bond Index (EMBI) dan Credit Default Swap (CDS) yang dilaporkan trennya terus menurun oleh Bank Indonesia pada Tinjauan Keuangan dan Moneter (TKM) edisi bulan Desember 2020. Sebagaimana diketahui bahwa dana asing mulai keluar di awal pandemi seiring kepanikan investor saat menyikapi eskalasi Covid-19 di seluruh dunia, salah satunya dengan melepas aset keuangan dengan mengkonversinya ke dollar AS.

Efek ketersediaan vaksin, mulai membaiknya mobilitas masyarakat, serta mulai dirasakannya manfaat stimulus pemerintah pada kegiatan konsumsi dan investasi, cukup meyakinkan para investor bahwa ketidakpastian sebagaimana terjadi di awal pandemi relatif berkurang dan trennya terus membaik. Selain itu, efek Biden yang diyakini akan merubah arah kebijakan ekonomi AS memberi dorongan pada para investor untuk menggelontorkan dananya ke emerging market termasuk Indonesia.

Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja, dipercaya akan memberikan kepastian bagi para investor, terutama dalam bentuk investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). Hal ini penting dalam mendorong perbaikan ekonomi terutama dalam rangka upaya lepas dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau Middle Income Trap. Bila pendorong ekonomi dari sisi pengeluaran adalah konsumsi masyarakat, maka pendorong terbesar dari sisi produksi adalah industry atau manufaktur yang celakanya kinerjanya terus turun dalam 10 tahun terakhir.

Modal asing yang masuk tentu berbentuk portofolio sifatnya sangat mudah lepas (footloose), meskipun fundamental ekonominya bagus. Berbeda dengan FDI yang mempunyai efek multiplier, karena investasinya berbentuk pabrik atau aktifitas industri. Sehingga pendetilan dari UU Cipta Kerja atau peraturan pelaksanaannya sangat penting dalam mengaktualisasikan peluang itu. Jangan sampai konsepsi yang sempurna di Pemerintah Pusat, tidak bisa diterjemahkan dilapangan sehingga hasilnya berbeda dengan yang diharapkan.

Sovereign Wealth Fund (SWF) menurut Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah kendaraan finansial negara, yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam dengan fungsi untuk stabilisasi ekonomi. Peraturan Pemerintah (PP) terkait SWF atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) telah dikeluarkan, yaitu PP73 dan PP74 yang mengatur tentang modal awal dan kelembagaan LPI.

LPI bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi penyediaan dana pembiayaan terutama dalam rangka pembangunan infrastruktur. LPI sendiri diharapkan mampu mengelola dana investasi menjadi lebih efektif, sehingga meningkatkan optimalisasi nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan, begitu kata Menko Perekonomian di suatu kesempatan.

Perkembangan pesat e-commerce di Indonesia diharapkan menjadi lokomotif pemulihan ekonomi. Transaksi elektronik hingga Kuartal III tahun 2020 menurut BI mencapai lebih dari 150 juta transaksi, dengan nilai sekitar Rp22 triliun. Kinerja positif e-commerce tergambar pada performa sektor informasi dan teknologi, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Kuartal III kemarin mencapai pertumbuhan tertinggi hingga 10,42 persen.

Kondisi New Normal telah menjadi faktor utama penggerak ekonomi internet, menggeser pola ekonomi masyarakat yang merupakan pendorong terbesar ekonomi nasional di sisi pengeluaran. Kebiasaan baru pola konsumsi masyarakat tersebut diharapkan terjaga bahkan terus meningkat, mengingat terdapat 5 unicorn di Indonesia yaitu Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka hingga Ovo.

Menjaga keberlanjutan momentum key drivers  

Perekonomian yang diperkirakan membaik di tahun depan bukan hanya menurut pemerintah, namun juga menjadi prediksi lembaga-lembaga dunia. Kabar itu bisa menjadi tambahan energi positif berupa optimisme dan kepercayaan diri bahwa bangsa ini mampu bangkit. Akan tetapi prediksi itu harus disikapi dengan strategi-strategi yang dapat mewujudkan prediksi tersebut.

Realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini yang belum maksimal, harus dijadikan pengalaman berharga untuk program yang sama di tahun 2021. Kelancaran dan sosialisasi vaksinasi menjadi krusial, mengingat vaksin menjadi kunci utama kebangkitan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus terus berusaha memaksimalkan momentum kembalinya modal asing serta investasi ke dalam negeri, dengan mengaitkannya ke sektor riil terutama Usaha Kecil Menengah (UKM). Terakhir adalah menyiapkan sarana dan prasarana informasi dan teknologi yang mumpuni, sehingga performa meyakinkan sektor ini dapat dimaksimalkan.

Wallahu a’lam

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...