Rabu, 27 November 2019

Sanggupkah Indonesia Menyalip di Tikungan Terakhir


Daya beli melemah?
Hari sabtu dan minggu yang lalu, Saya menyempatkan diri untuk mampir ke pusat perbelanjaan yang berada di sekitaran gubuk Saya. Sempat agak susah cari parkir saat itu, sehingga sempat terpikir kalau ekonomi nasional sudah membaik. Saat berada di dalam situasi memang ramai, namun yang menarik adalah pengunjung banyak yang mengerumuni restoran dan tempat bermain anak-anak. Sedang pusat belanja G***T yang Saya tuju, kondisinya sepi jali kalau orang betawi bilang.
.
Kondisi sepinya pusat belanja, banyak yang mengartikannya sebagai sinyal pelemahan daya beli, apakah benar demikian? Rilis BPS menyatakan, bahwa Inflasi per 31 Oktober 2019 adalah sebesar 3,13% (YoY) dengan inflasi di bulan Oktober berada di 0,02%. Secara tren, inflasi di semester 2 selalu mengalami pelemahan lalu diakhiri peningkatan di bulan Desember. Tapi sesuatu yang penting adalah, besaran inflasi cenderung ‘melemah’ di tahun 2019.
.
Inflasi dengan ‘tingkatan tertentu’ bisa dijadikan indikator ekonomi suatu negara, apakah sedang tumbuh atau mengalami perlambatan. Karena inflasi menggambarkan proses interaksi antara permintaan dan penawaran di masyarakat. Namun Inflasi yang terlalu tinggi (ingat krisis 1998) dan tidak stabil berdampak negatif karena menekan standar hidup sehari-hari masyarakat.
.
Kode dari inflasi
BPS menglasifikasi penyebab inflasi menjadi dua, yaitu inflasi inti dan inflasi non-inti. Inflasi non-inti adalah komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya, karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Inflasi non-inti salah satunya adalah komponen bergejolak (volatile food) yang sangat dipengaruhi dinamika di bahan pangan, seperti panen, gangguan alam, hingga faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.
.
Komponen inflasi non-inti selanjutnya adalah jenis barang yang harganya diatur pemerintah atau administered prices. Contoh dari barang administered prices ini antara lain BBM bersubsidi, tarif angkutan umum, hingga tarif listrik. 
.
Sedangkan inflasi Inti adalah komponen inflasi yang cenderung persisten pergerakannya karena dipengaruhi faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar), harga komoditas internasional, bahkan ekspektasi pedagang dan konsumen.
.
Inflasi nasional pada periode-periode yang lalu nature-nya selalu dipengaruhi oleh inflasi non-inti, yaitu harga bahan pangan yang terdisrupsi pasokan maupun gangguan alam. Tidak jarang kebijakan pemerintah ‘menyesuaikan’ subsidi, turut memberi kontribusi. Namun demikian keduanya saat ini relatif stabil, dimana harga pangan telah melewati puncak volatilitasnya di hari raya lalu dan relatif tidak ada perubahan kebijakan harga barang subsidi (BBM).
.
Bagaimana dengan inflasi inti, yang merupakan gambaran umum kondisi fundamental perekonomian? Data inflasi versi BPS menyebutkan, bahwa inflasi inti menjadi kontributor tertinggi baik dibulan Oktober, sepanjang tahun 2019, hingga dari tahun ke tahunnya. Alhasil terlihat jelas bahwa (pelemahan) inflasi terutama kuartal 3 tahun 2019 disebabkan oleh kondisi fundamental (perlambatan) perekonomian nasional. 
.
Kekhawatiran itu diperkuat dengan beberapa indikator ekonomi (konsumsi maupun investasi) yang menggambarkan turunnya demand masyarakat. Purchasing Manager’s Index (PMI) yang sejak bulan Juni 2019 terus turun dari level normal atau 50, dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang sejak bulan Mei 2019 konsisten turun meskipun masih di atas level 100. 
.
Gambaran beberapa indikator ekonomi di atas mau tidak mau menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi dunia, jelas sudah menginfiltrasi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di semester 1 tahun 2019 yang 5,05%, masih tertopang oleh tumbuhnya konsumsi rumah tangga (5,17%) yang merupakan kontributor utama PDB, dan Lembaga Non-Profit Rumah Tangga (LNPRT) yang tumbuh signifikan 15,27%. 
.
Saat itu pertumbuhan konsumsi rumah tangga, didorong momentum hari raya keagamaan dan juga libur anak sekolah. Sedangkan LNPRT, dipacu oleh hajatan nasional berupa Pemilu Presiden dan Legislatif yang mengakibatkan melonjaknya belanja partai-partai politik peserta pemilu. 
.
Tikungan terakhir di akhir tahun
Prognosa semester 2, perekonomian sepertinya tidak secerah semester 1 lalu. Hal itu disebabkan faktor-faktor pendorong ekonomi praktis tinggal mengharapkan peningkatan investasi dan belanja pemerintah. Karena mustahil mengharapkan perbaikan net ekspor atau neraca perdagangan yang merupakan penyakit kronis, dalam waktu singkat.
.
PR pemerintah adalah segera memaksimalkan belanjanya, yang hingga akhir Oktober 2019 baru mencapai 73%, sehingga dapat memberi suntikan energi pada ekonomi nasional. PR selanjutnya yaitu mengejar realisasi investasi di sisa tahun ini. Kelanjutan pembangunan infrastruktur yang merupakan program unggulan rezim saat ini, bisa menjadi mesin utamanya. Menteri Keuangan sendiri menggarisbawahi belum optimalnya PMTB, yang menurutnya terdampak oleh penurunan harga komoditas primer sehingga mempengaruhi kinerja investasi terutama mesin perlengkapan.  
.
Perlu dipahami memang, bahwa perekonomian nasional sangat terpengaruh oleh situasi ekonomi dunia. Harapan volatilitas situasi global, yang disebabkan antara lain oleh perang dagang AS-RRT dan Brexit di Eropa, segera mereda sangat penting karena mempengaruhi aktifitas perdagangan dan investasi. 
.
Namun Saya melihat ada (sedikit) peluang di sisa tahun ini, yaitu dengan ditandatanganinya kesepakatan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang terdiri dari 15 negara. RCEP yang para anggotanya merupakan pelaku ekonomi dunia, terlebih Asia, berpotensi dapat memperbaiki kondisi perdagangan dunia dan memberi dampak positif ke perekonomian nasional.  
.
Dinamika pertumbuhan yang selalu membaik di kuartal ke 4 sejak tahun 2017 juga menambah optimisme, paling tidak perekonomian bisa tumbuh di level 5,05%. Itupun berat lho, karena hanya menyisakan beberapa bulan. Alhasil Indonesia harus bisa seperti Valentino Rossi yang piawai memaksimalkan tikungan terakhir balapan, untuk menyalip lawan-lawannya.

Wallahu a’lam.  
 



Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...