Rabu, 24 Juli 2019

Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarku


"Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya,” begitu pernyataan Presiden terpilih saat menyampaikan pidato Visi Indonesia di Sentul beberapa waktu yang lalu.
.
Investasi memang salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 yang diasumsikan 5,2 sampai 5,5, masih menjadikan investasi sebagai pendorong yang dominan, ungkap Menteri Keuangan disela-sela Rapat Komisi XI membahas RAPBN 2020.
.
Kita tahu ada 5 Visi Presiden terpilih,seperti melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), investasi, reformasi birokrasi, dan APBN tepat sasaran. Dari kelimanya itu, pembangunan infrastruktur masih menempati posisi atau prioritas pertama Presiden. Alhasil, investasi sangat penting peranannya dalam mengakomodir Visi pertama.
.
Anggaran pembangunan infrastruktur di dalam 5 tahun terakhir, trennya selalu naik setiap tahun. Mulai dari tahun 2015 yang sebesar Rp 256,1 triliun, tahun 2016 menjadi Rp 269,1 triliun. Kemudian ditahun 2017 bertambah menjadi Rp 388,3 triliun, dan tahun 2018 tumbuh menjadi Rp 410,7 triliun. Angka di tahun 2019 sendiri telah dianggarkan sebesar Rp 415 triliun.
.
Dilihat dari Visinya, Presiden sangat yakin kalau investasi terutama Penanaman Modal Asing (PMA), selain mendorong pertumbuhan ekonomi juga akan menyerap banyak lapangan pekerjaan. Namun sebenarnya bila melihat faktanya, investasi yang meningkat dari tahun ke tahun tidak berpengaruh signifikan kepada penyediaan lapangan pekerjaan.
.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), paling tidak dalam 3 tahun terakhir, memperlihatkan bahwa penyerapan tenaga kerja dari investasi asing semakin turun rasionya. Bila di tahun 2016 dengan nilai investasi USD 28,96 miliar menyerap 951.939 tenaga kerja, maka di tahun 2017 dengan nilai USD 32,24 miliar malah hanya menyerap 767.352 tenaga kerja. Pada Triwulan I tahun 2019 juga tidak lebih baik, karena dengan investasi USD 29,31 miliar, hanya 490.368 tenaga kerja yang terserap.
.
Fenomena rasio investasi terhadap tenaga kerja yang terus turun bisa disebabkan karena beberapa hal. Dalam riset Asian Development Bank (ADB) dinyatakan bahwa perlambatan lapangan kerja merupakan konsekuensi dari dua faktor. Pertama, pertumbuhan ekspor manufaktur yang lebih lambat paska krisis. Kedua, perubahan komposisi ekspor, dari Light Industries (TPT dan pengolahan kayu) menjadi industri pengolahan makanan dan industri kimia yang cenderung lebih padat modal.
.
Ekspor manufaktur memang masih sebagai kontributor utama ekspor nasional. Data Bea Cukai per 30 Juni 2019 menggambarkan bahwa ekspor dari sektor manufaktur masih mendominasi ekspor nasional, yaitu sekitar 70 persen. Namun demikian, angka tersebut tumbuh negatif bila dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Kondisi ini seakan mengonfirmasi kontribusi manufaktur atas pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah membaik sejak tahun 2008.  
.
Pengangguran terbuka nasional versi Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018 mencapai 7 juta orang lebih, dengan komposisi terbesar (87 persen) berpendidikan sampai setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU). Demografi tenaga kerja seperti itu jelas cenderung cocok dengan kategori Light Industries, yang sayangnya jumlahnya tidak tumbuh membaik.
.
Bila menilik komposisi ekspor beberapa jenis barang utama nonmigas di tahun 2018, menurut rilis BPS ekspor hasil industri yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah besi baja (69,4 persen) dan kimia dasar (16,9 persen). Bandingkan dengan hasil industri pakaian jadi yang tumbuh 8,5 persen, meskipun secara kontribusi masih yang tertinggi.
.
Perkembangan realisasi investasi PMA yang dikeluarkan BKPM, memperlihatkan kondisi yang serupa. Sejak tahun 2010, realisasi investasi PMA selalu tertinggi di industri makanan disusul industri kimia dan farmasi. Realisasi investasi PMA disektor industri tekstil, tidak pernah lebih tinggi dari USD 750 juta di tahun 2013, bandingkan dengan industri makanan serta industri kimia dan farmasi yang masing-masing USD 2,12 miliar dan USD 3,14 miliar ditahun yang sama.
.
Permasalahan menciutnya peran manufaktur dalam pertumbuhan ekonomi, bila dibiarkan dapat berlanjut menjadi deindustrialisasi atau malah bisa jadi saat ini deindustrialisasi tengah berlangsung. Visi Presiden dalam menggenjot investasi sebenarnya sudah tepat, hanya saja lebih mantap lagi bila investasi yang digenjot cocok dengan sektor industri penyerap tenaga kerja.
.
Indonesia memang sudah tertinggal dari negara-negara tetangganya, apalagi ‘si bintang kejora’ Vietnam. Ketertinggalan tampak dari komoditas ekspor Vietnam yang relatif lebih value added dibanding Indonesia yang masih mengandalkan komoditas primer. Vietnam juga telah melewati era perpindahan industri dari Light Industries menuju industri padat modal. Alhasil, investasi industri padat modal Vietnam merupakan jalan keluar dari ketersediaan tenaga kerja ’blue collar’ yang jumlahnya semakin terbatas.
.
Produk pakaian jadi dan alas kaki Vietnam yang menjadi pengekor China di ‘Global Market Share’, sebagaimana disampaikan Hal Hill dari Australia National University (ANU), jadi bukti kesuksesan melewati fase perpindahan. Namun Indonesia, menurut riset ADB fase perpindahan industrinya tidak demikian. Indonesia telah memulai membangun industri padat modalnya disaat pasar tenaga kerja berketerampilan rendahnya masih tinggi. 
.
Kebijakan mengembangkan industri padat modal memang tidak salah, namun (kesan) meninggalkan industri penyerap tenaga kerja juga tidak bijak. Indonesia yang Foreign Direct Investment (FDI) inflow-nya di tahun 2018 versi United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) ternyata masuk 18 besar dunia, lebih baik dari Vietnam di posisi 21, harus bisa memanfaatkannya dengan maksimal.
.
Efektifitas investasi nasional penting untuk ditingkatkan, tercermin dari indeks ICOR Indonesia yang dibawah negara-negara tetangga. ICOR merupakan suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output. Sehingga semakin rendah indeksnya, semakin efektif investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2018, ICOR Indonesia masih di angka 6,3 dan masih dibawah Malaysia (4.6), Filipina (3.7), Thailand (4.5), dan Vietnam (5.2), no wonder investasi jor-joran beberapa tahun ini belum ‘nendang’ efeknya.
.
Ada baiknya Pemerintah mulai lebih memberi perhatian lagi kepada industri padat karya. Karena pengangguran terbuka dan angkatan kerja dengan keterampilan rendah masih cukup menganga. Mungkin lebih baik kita mundur selangkah, untuk kemudian bisa berjalan lebih jauh. Karena seharusnya Sumber Daya Manusia, Investasi, dan Pertumbuhan Ekonomi tidak berjalan sendiri-sendiri. Jangan sampai kita menjadi seperti judul lagu Iwan Fals, ‘Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarku’, yang tidak mungkin bersatu.
.
Wallahu a’lam








Selasa, 02 Juli 2019

Blue economy is the cure

World Bank (WB) projects Indonesia GDP easing for 5.1 only in 2019, despite of private and government consumption that still grow by 5.2 and 5.1. The softer economy projected, is mainly influenced by global trade (trade war), global economy (slower growth in some advanced countries), and even commodity prices.
.
In additions, WB advices that Indonesia must prepare its economy in 2020. Indonesia should be able to manage the economy polices by creating better human capital, building more infrastructures, inviting job creators (investment), collecting more, better spending, and utilizing the natural resources.
.
Let’s concentrate in to the last advice. It is amazing that Indonesia has tremendous natural resources, and that’s why ‘wonderful Indonesia’ is become national brand in tourism. We should proud that 76 percent of the world’s coral species are in Indonesia. But the wonderful and tremendous is facing problems. Infrastructure gaps is still the major issue, climate change worsts the situation, and over-tourism such as in Bali and Lombok completes the problems.
.
Indonesia get USD3.1 billion annually from coral reef tourism. In fishery sector, 7 millions people are involved and contribute USD26.9 billion or 2.6 percent of GDP. But actually, those economy effects have not yet been maximum since over-fishing is existed. WB believes that if Indonesia reforms the management of fisheries, it could gain until USD3.3 billion more per year within 10 years. Tourism and fisheries sectors even could have USD171 billion more, if marine pollution is successfully tackled.
.
The situation now, marine (plastic) debris is a common problem in entire Indonesia ocean and coastline. No wonder, Indonesia is the world 2nd-largest marine debris producer. It is humiliating and annoying, isn’t it?  
.
Tourism sector should be able to help the current account deficit (CAD). So, dollar spent by tourists is the subject. Sadly, WB captures that reef expenditure per foreign and domestic tourist in Indonesia is quit low, only USD165. This amount is so far away from what Vietnam and Thailand get, which is more than USD2,200 per tourist.
.
Indonesia may start by focusing in plastic garbage eradication program. The revenue lost because of plastic garbage is about USD170 million annually, through tourism and fisheries sectors. If the government is serious in taking tourism and fisheries as the alternative revenue resource, several actions should be taken.
.
Government should build a stronger framework, such as data and knowledge for monitoring and decision making. Later on, better management is required. Visitors flow and waste water treatment may become the priorities to handle. Eventually, plastic bag excise must be implemented.
.
Indonesia customs already promoted the plastic bags issue couple years ago, even it had become one of revenue targets since 2017. We do believe by implementing the policy, we are doing our main duties, ‘to protect the community and to collect revenue’.         
.
Written as a report of attending the World Bank’s Economic Quarterly

#blueeconomy
#plasticexcise
#cukaiplastik
#kantongplastik

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...