Selasa, 19 Desember 2017

Bea Cukai dalam kaca mata awam

Bea Cukai dalam kaca mata awam
Oleh: gatotpriyoharto
.
Pak Gatot nanti tolong temani saya wawancara ya....... Siap, jawab saya dengan segera mempersiapkan materi yang sekiranya nanti akan dijadikan pertanyaan sang reporter salah satu stasiun radio swasta yang cukup ternama di Jakarta. Alhasil, selama kurang lebih satu jam saya mendampingi wawancara tersebut, membuat saya paham, bagaimana gambaran umum Bea Cukai di mata orang awam. Lha saya berarti orang apa donk, sok ngerti ente hehehe.
.
Pandangan pertama.... saat kita berjumpa... yaaah malah nyanyi lagu Alm. Arafiq hehehe. Serius ah, pandangan pertama tentang Bea Cukai adalah melulu hanya ngurusin penyelundupan alias ga jauh dari narkoba. Sebagai info awal gaes, Bea Cukai mempunyai 4 fungsi yaitu Trade Facilitator, Industrial Assistance, Revenue Collector dan Community Protector.
.
Mulai keliatan ya gaes bagaimana rumitnya Bea Cukai melaksanakan tugas dengan mengemban 4 fungsi sekaligus di atas. Ibu Menteri Keuangan saja sempat menyebut bahwa Bea Cukai melaksanakan hal yang mirip dengan apa yang beliau sebut The Impossible Trinity atau kira-kira hal-hal yang saling bertentangan lah. Karena mana ada di dunia ini yang bisa berjalan bersama-sama antara fungsi pengawasan (Community Protector) dan penerimaan (Trade Facilitator, Industrial Assistance, Revenue Collector). Kalau Saya dan istri bisa, saya sebagai suami melaksanakan fungsi penerimaan alias pencari nafkah dan istri saya melaksanakan fungsi pengawasan yang selalu mengawasi gerak gerik saya wkwkwkwkwwk.
.
Kembali ke laptop ya, jadi begini gaes, saat ini Bea Cukai memiliki pandangan dan filosofi (berat nih bahasanya) seperti penanam pohon, yang artinya Bea Cukai selalu merawat pohon tersebut agar dapat memetik buah dengan harapan mendapatkan hasil yang banyak dan manis (Revenue Collector). Sehingga untuk mendapat hasil yang diinginkan tersebut, Bea Cukai akan selalu memberi pupuk dan juga menyiraminya (Trade Facilitator, Industrial Assistance). Kemudian apabila ada gangguan hama atau pihak-pihak yang akan akan mencuri atau bahkan merusak pohon itu, maka Bea Cukai akan selalu sigap mengatasinya (Community Protector).
.
Pandangan kedua yaitu bahwa barang hasil tangkapan selundupan atau tegahan tidak semuanya diumumkan alias masih ada yang dimainkan, buktinya masih ada saja tawaran-tawaran (yang mengatasnamakan Bea Cukai) barang selundupan dengan harga di bawah pasar tentunya di masyarakat. Begini masbro, dalam penanganan barang hasil tangkapan atau selundupan itu sangat rigid alias ketat (legging kali ketat). Ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan yang pada akhirnya memang akan diputuskan apakah barang tersebut dimusnahkan atau ditetapkan dalam bentuk lain seperti dihibahkan atau bahkan dilelang. Karena kalau tidak, dikhawatirkan akan terjadi mal-administrasi yang nantinya berpotensi menggugurkan status hukum penindakan penyelundupan tadi. Lagi pula pengelolaan barang hasil tangkapan tidak dilakukan sendiri kok, melainkan bersama-sama dengan unit lain dari Kementerian Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Jadi kalu masih ada yang menawarkan barang alih-alih hasil tangkapan selundupan Bea Cukai, maka dapat dipastikan 101% itu HOAX...!!
.
Ketiga tentang penerimaan, yang hingga saat ini mendekati akhir tahun (November) penerimaan baru (baru atau sudah nih enaknya) mencapai 75 persen padahal kalau dirata-rata seharusnya sudah (11 dibagi 12 dikali 100%) di atas 90 persen gitu loh. Ladies and gentlemen, perlu diketahui bahwa penerimaan Bea Cukai itu terdiri dari bea masuk, bea keluar dan cukai. Dari ketiganya, penerimaan cukailah yang mendominasi sebanyak 80 persen. Cukai sendiri terdiri dari 3 jenis, cukai hasil tembakau (rokok), minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol (EA). Nah cukai hasil tembakaulah yang mempunyai porsi terbesar baik dipenerimaan cukai sendiri ataupun penerimaan secara keseluruhan yaitu sekitar 75 persen. Mulai pusing nih kayaknya, tenang masih banyak lagi hehehe.
.
Sambung lagi ya, karakter penerimaan cukai itu 1/3 di semester I dan 2/3 di semester II mas bro. Tren itu timbul (bukan srimulat ya) semenjak terbitnya peraturan Menteri Keuangan No. 20/PMK.04/2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai yang mewajibkan pelunasan cukai hasil tembakau dilakukan tidak melewati tahun anggaran berjalan. Hal inilah kemudian yang mengakibatkan pembayaran cukai menumpuk diakhir tahun. Karena cukai hasil tembakau itu 75 persen, maka otomatis berimbas ke total penerimaan Bea Cukai. Ngerti ora son..?? hehehe.
.
Keempat dan terakhir adalah Bea Cukai itu masih seperti yang dulu, kayak lagu jadul “aku masih seperti yang dulu....” ehh ketahuan sudah tuwir nih saya. Dulu itu seperti apa? Yaa gitu deh, tukang minta-minta tips dan lain-lain yang jelek-jelek lah. Weits....woles cuy, for your information Bea Cukai telah mencanangkan Program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai (PRKC) pada tanggal 20 Desember 2016. Sebenarnya reformasi telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya namun Bea Cukai ingin menguatkan lagi reformasi tiu dengan PRKC. Pada program PRKC, integritas pegawai menjadi salah satu sasaran utama yang penting untuk dibenahi. Tindak lanjut programnya  yaitu dengan dilakukannya pengawasan melekat berbasis Automated Monitoring Tools (AMT) dan juga telah dilakukan tindakan disiplin ke sejumlah pegawai yang melakukan tindakan pelanggaran. Jadi Bea Cukai sekarang sudah membangun suasana kerja dimana pegawai akan merasa aneh dan susah untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, sudah ga jaman lagi minta-minta.....aamiin
.
Nah begitu kira-kira hasil pengamatan saya selama proses wawancara. Mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu menjelaskan ke mas bro dan mba sist yang belum tahu atau sedikit kepo tentang Bea Cukai. Siapa tahu ternyata nanti jodohnya sama pegawai Bea Cukai....iya gak....btw anggota saya masih banyak yang jomblo lho...halah kok jadi norak ... hehehehe 

Potensi e-commerce Indonesia

Potensi e-commerce Indonesia
Oleh: gatotpriyoharto

Indonesia saat ini menurut e-marketer adalah negara dengan pengguna internet (utamanya smartphone) dengan jumlah yang cukup besar, yaitu 86.6 juta penggunanya. Angka ini meningkat 17.2 juta pengguna bila dibandingkan dengan tahun 2016 atau meningkat 24 persen. Bila dilihat perkembangannya dari 3 tahun kebelakang hingga saat ini, selalu terjadi peningkatan lho. Mulanya biasa saja.... eh kok malah nyanyi, mulanya hanya 38.3 juta pengguna saja di tahun 2014 lalu 52.2 juta pengguna di tahun 2015, kemudian menjadi 69.4 juta pengguna di tahun 2016 hingga akhirnya di tahun 2017 sebesar 86.6 juta pengguna. Dengan fakta tersebut tidak berlebihan tentunya bila Indonesia disebut sebagai“raksasa tekhnologi Asia Tenggara yang sedang tertidur” oleh TechiniAsia yaitu sebuah media teknologi. Kayak Putri Salju aja tertidur.

Kalau kata saya “gelar” itu memang agak mengejutkan bila dibandingkan dengan penetrasi internet Indonesia yang bisa dibilang biasa saja perkembangannya. Kenapa demikian? Karena di level Asia Tenggara saja, peringkat Indonesia versi wearesocial.sg masih dibawah Singapura (no komeng), Malaysia (apalagi) bahkan Vietnam (OMG sambil tepok jidat). Namun demikian dengan sumber daya manusianya yang jauh melebihi Singapura, sangat dimungkinkan potensi Indonesia sangat terbuka lebar. Program KB gagal nih kayaknya, hehehe. Potensi jumlah penduduk tersebut sepertinya sudah disadari oleh para investor ternyata, terbukti dengan pendanaan yang didapat oleh Tokopedia dari Softbank dan Sequoia Capital sebesar Rp. 1.4 T (duit semua itu??).

Pada tahun 2014 menurut survey Globalwebindex, jumlah masyarakat yang membeli sesuatu (tribute to Syahrini) secara online di Indonesia baru sekitar 14 persen dari populasi nasional. Meskipun tidak dipungkiri masih banyak pembelian online dilakukan via komputer pribadi ataupun laptop, bila dilihat di tahun yang sama (2014) pengguna smartphone Indonesia berkisar 38.3 juta pengguna (asumsi pembelian online dilakukan via smartphone), maka pada 2017 dimana pengguna smartphone sudah mencapai 86.6 juta, kebayang kan perkembangan jumlah penduduk Indonesia yang melakukan transaksi secara online.

Transaksi e-commerce secara global pada tahun 2014 masih sekitar USD 1.3 T, namun peningkatan tajam (tidak setajam silet tapi) terjadi seiring bertambah mudahnya akses teknologi dan komunikasi diberbagai belahan dunia. Terbukti hanya dalam kurun waktu 3 tahun saja transaksi global e-commerce pada tahun 2017 telah mencapai hampir 2 kali lipatnya, yaitu USD 2.3 T. Sekedar informasi aja mas bro, transaksi e-commerce Indonesia cukup membanggakan lho, alasannya adalah karena transaksi online Indonesia bisa mengalahkan Malaysia (akhirnya) yang di atas kertas lebih melek teknologi dari kita. Pangsa pasar e-commerce dibandingkan penjualan ritel di Indonesia versi katadata Indonesia sudah 1.2 persen pada tahun 2015, lebih tinggi dibanding Malaysia yang baru 1 persen saja (horeeeee). Peringkat pertama diduduki oleh Tiongkok dengan porsi 13.8 persen. Meskipun begitu, saya pikir Indonesia bisa berkembang jauh lebih besar mengalahkan paling tidak negara-negara se-Asia Tenggara seiring dengan potensi pengguna internet dan smartphone. Hal ini sudah terjadi pada Tiongkok yang pada tahun 2005 mencatatkan hanya 0.4 persen saja transaksi e-commercenya dari transaksi global, jauh dibandingkan Amerika yang sudah 35 persen. Tetapi dalam satu dekade Tiongkok mampu melompat menjadi 42.4 persen melewati Amerika yang hanya 24.1 persen saja (katadataIndonesia).

Saya merasa tidak bermimpi (gak pake basah) bahwa Indonesia bisa berubah menjadi penguasa e-commerce dunia, mengingat lompatan yang terjadi di Tiongkok bukan tidak mungkin dapat dicontoh Indonesia. Faktor pendorong Tiongkok melesat disektor digital  menurut Senior Fellow Mckinsey Global Institute Jeongmin Soeng adalah satu, cepatnya komersialisasi dalam skala besarnya pasar muda, kedua hadirnya raksaksa digital berkapitalisasi besar yang mampu membangun ekosistem secara digital seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent, dan ketiga pemerintah yang memberi ruang bagi pemain ekonomi digital bereksperimen sebelum diberlakukan peraturan resmi. Namun demikian digitalisasi ekonomi bisa berdampak disrupsi.

Optimisme itu muncul karena ketiga faktor penunjang tersebut sebenarnya sudah ada di Indonesia, meskipun dalam skala yang masih relatif kecil (tapi paling tidak ada laaaah). Pertama tentang pasar anak muda yang mendominasi, sesuai survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 bahwa usia pengguna internet adalah direntang 35-44 tahun (29.2%) yang artinya adalah usia produktif. Ditambah lagi perilaku para pengguna internet yang dominan mengunjungi online shop, alhamdulillah berarti sudah banyak yang insyaf....ehh, sebesar 82.2 juta atau 62% dan rata-rata menggunakan smartphonenya untuk berselancar di dunia maya, yaitu 63.1 juta pengguna atau 47.6%.

Kedua adalah telah hadirnya mesin pencari buatan Indonesia seperti findtoyou.com, nowgoogle.com dan geevy. Mesin pencari jodoh kok gak dibikin, wah gak pro jomblo nih. Memang ketiganya masih sangat jauh untuk dibandingkan dengan google yang dipakai oleh 81.8 juta pengguna internet Indonesia sebagai browser utama, karena masih minim sumber daya (meskipun geevy sudah mulai mendapat sokongan investor lokal, RnB Fund). Namun kembali lagi, bila mimpinya adalah seperti apa yang dilakukan Tiongkok maka faktor ketiga yaitu peran pemerintah menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan.

Kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan (sebenarnya bukan hanya di industri e-commerce) adalah kemudahan dalam mendapatkan pendanaan terhadap usaha digital yang kebanyakan adalah UMKM. sebenarnya program pemerintah untuk kemudahan pendanaan saat ini sudah ada, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun demi mimpi kebangkitan ekonomi melalui momen e-commerce ini, tidak ada salahnya pemerintah membuat program pendanaan tersendiri.

Kebijakan lanjutan setelah itu dapat berupa kebijakan fiskal, seperti keringanan atau insentif pajak atas pelaku usaha digital. Logikanya adalah agar para pengusaha digital dapat lebih konsentrasi mengembangkan bisnisnya, hingga nantinya diharapkan berkembang pesat dan dapat memberikan sumbangsih lebih besar kepada negara.

Penyediaan pelatihan menjadi hal penting juga, mungkin saat ini sudah tersebar banyak Balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh Indonesia. Namun saya pribadi belum melihat tingkat efektifitasnya dalam meningkatkan kemampuan masyarakat dalam segi berwirausaha. Menurut saya pemerintah dapat menggunakan jaringan BLK di seluruh Indonesia sebagai kawah candradimuka (jadinya malah Gatot Kaca lagi...hahaha) dalam melatih dan mempersiapkan para usahawan/ti digital menjadi lebih tahan banting (piring kali tahan banting).

Nah kalau sudah begitu bagaimana, percaya atau tidak? Kalau saya sih iyes... kalau kamu....iya, kamu??
#lagiiseng

Tautan bermanfaat:

Mematut Pertumbuhan Ekonomi 2018

Mematut Pertumbuhan Ekonomi 2018
Oleh : Gatot Priyoharto
.
Menghitung hari...... mungkin sebagian kita mengingatnya sebagai judul lagu yang dipopulerkan oleh salah satu diva musik Indonesia yang sekarang sudah jarang tampil dipublik lagi. Namun menghitung hari yang saya maksud adalah menghitung hari yang tersisa di tahun 2017.
.
Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir dipastikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (hanya) sebesar 5.1 persen saja. Angka tersebut memang masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam yang tumbuh sebesar 7.46 persen, Filipina 6.9 persen, Malaysia 6.2 persen dan Singapura yang unggul tipis di 5.2 persen. Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Thailand yang terpuruk di 4.3 persen.
.
Banyak alasan diutarakan (kok ga diselatankan ya?) dalam menganalisis persoalan di atas. Pertama karena lesunya ekonomi dunia yang berdampak pada kegiatan perdagangan antar negara, ditambah lagi pasar komoditas dunia yang belum menggairahkan. Memang harga komoditi sempat menjanjikan di awal tahun, dengan indikasi kenaikan harga komoditas kelapa sawit dan beberapa hasil olahannya. Sehingga penerimaan negara mendapat berkah alias windfall (angin jatuh? apanya angin duduk nih?) sebagai imbas kenaikannya yaitu menaiknya penerimaan bea keluar. Namun belakangan geliat itu kembali ke suasana semula yang cenderung melemah. Harus ke On Clinic nih, rahasia terjamin kok, hehehe.
.
Investasi sempat menjadi andalan terkait dengan prestasinya yang meningkat sebesar 7 persen atau tertinggi selama 7 tahun terakhir (boleh bilang wow nih). Namun pengaruh volatilas (ketidakstabilan) global cukup berpengaruh. Suasana geopolitik sebagaimana diketahui cenderung memanas, seperti kondisi di semenanjung Korea dan suhu politik di jazirah Arab utamanya bumi Palestina. Selain itu perlambatan ekonomi Tiongkok dan pengetatan (kolor kali ketat) moneter bank sentral Amerika diyakini mempengaruhi minat investor menanamkan modalnya di Indonesia.
.
Konsumsi rumah tangga menjadi isu yang sempat hangat dan menjadi kandidat penyebab melemahnya pertumbuhan ekonomi di tahun 2017. Hal itu menjadi trending topic di masyarakat karena dikaitkan dengan penutupan sejumlah gerai retail ternama di beberapa tempat di Indonesia.
.
Konsumsi rumah tangga adalah faktor penting dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) karena kontribusinya yang mencapai kurang lebih 50%. Pembahasan konsumsi atau belanja rumah tangga erat kaitannya dengan daya beli, dan untuk melihat kemampuan daya beli tentunya dapat dilihat dari berbagai macam indikator.
.
Pertama konsumsi masyarakat, menurut katadata, perusahaan media, data dan riset online di bidang ekonomi dan bisnis, pada tahun 2017 pertumbuhannya selalu berada dibawah pertumbuhan ekonomi dan di akhir tahun hanya mampu mencapai 4.93 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2016 yaitu 4.95 persen.
.
Kedua adalah penurunan daya beli, katadata yang merujuk kepada rilis pertumbuhan ekonomi BPS menunjukkan bahwa hampir semua komponen konsumsi utama mengalami penurunan. Konsumsi makanan minuman hanya tumbuh 5.04 persen atau turun dibanding tahun lalu yang 5.23 persen. Kemudian yang mungkin ada kaitannya dengan fenomena (agak lebay sedikit) tutupnya gerai-gerai ritel, yaitu konsumsi pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya yang pertumbuhannya merosot hanya 2 persen dibanding tahun lalu yang 2.24 persen. Ada indikasi bahwa terjadi pergeseran konsumsi ke belanja leisure, dengan kenaikan konsumsi restoran dan hotel yang meningkat 5.52 persen atau lebih tinggi dari tahun lalu yang 5.01 persen.   
.
Sekarang yuk kita berandai-andai ke tahun 2018. Asumsi pertumbuhan ekonomi telah ditetapkan diangka 5.4 persen pada APBN 2018, dan beragam komentar bermunculan menanggapi optimisme pemerintah tersebut. Chatib Basri yang juga mantan Menteri Keuangan di era Presiden SBY berpendapat bahwa angka 5.4 persen tidak mudah namun ada harapan untuk tumbuh di 5.2-5.3 persen. Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Penelitian LIPI Agus Eko Nugroho yang malah cenderung pesimis menanggapi asumsi APBN tersebut. LIPI memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5.22 persen, dikarenakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diperkirakan masih tertahan.
.
Namun beda halnya dengan Rodrigo Chavez (mirip petinju ya), perwakilan Bank Dunia di Indonesia, yang sedikit optimis memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan meskipun hanya sebesar 5.3 persen. Keoptimisannya didasari atas peningkatan konsumsi yang sudah terlihat saat ini yang memang tidak terlalu besar, tetapi akan berlanjut hingga tahun depan ditambah lagi pertumbuhan konsumsi yang lebih tinggi akan didukung oleh harga komoditas yang kuat, inflasi yang rendah, nilai rupiah yang stabil, pasar tenaga kerja yang kuat, dan penurunan biaya pinjaman.
.
Bagaimana dengan saya? Dengan ilmu ekonomi saya yang pas-pas an (salah ra pa pa yo, wong ra dibiji kok), saya mencoba berangkat dari konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Saya melihat dari kaca mata orang kebanyakan atau apa yang terjadi pada saya sendiri.
.
Menurut Data Analyst dan Statistician Katadata Nazmi Haddyat Tamara, daya beli masyarakat dikatakan menurun apabila pendapatan turun atau harga meningkat atau keduanya. Dengan kata lain, sepanjang kenaikan pendapatan lebih cepat dibanding kenaikan harga, daya beli akan meningkat.
.
Barang-barang yang harga jualnya diatur oleh pemerintah (administered price) pada tahun 2017 mengalami kenaikan, seperti tarif listrik dengan daya 900VA yang mayoritas masyarakat menggunakannya. Sesuai kebijakan pemerintah yang lebih memilih mengalihkan subsidi  ke masyarakat yang membutuhkan daripada ke komoditasnya. Ekonom Faisal Basri mengungkapkan bahwa salah satu penyebab pelemahan daya beli pada kelompok bawah adalah pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan 900VA, yang berdampak bagi 19 juta konsumennya. Akibatnya, pengeluaran rerata kelompok ini untuk listrik naik tajam dari Rp 80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan.
.
Pendapatan bulanan juga menjadi faktor penting dalam belanja masyarakat. Apalagi pemerintah kembali memutuskan untuk tidak menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) di tahun 2018 yang berarti sudah 2 tahun tidak ada kenaikan (kok nada-nadanya Saya curcol ya). Padahal dengan jumlah PNS yang mencapai lebih dari 4 juta orang Saya pikir dapat memicu tingkat belanja masyarakat.
.
Bagaimana dengan event Asian Games 2018 yang dihelat di dua tempat, Jakarta dan Palembang. Kemungkinan besar hajatan besar itu diharapkan akan sanggup mendorong porsi belanja masyarakat. Tapi apakah efeknya akan berkelanjutan, atau hanya sanggup bertahan di bulan penyelenggaraan saja?
.
Pemerintah memang mengharapkan peningkatan konsumsi di tahun 2018 yang merupakan tahun politik. Namun perlu disadari bahwa sekarang adalah era teknologi dimana banyak kampanye (politik) sudah mulai bergeser ke dunia maya. Mengingat fakta pengguna smartphone yang tahun ini mencapai hampir 90 juta dan diperkirakan menembus angka 100 juta pengguna di tahun 2018. Hal ini diyakini membuat para pelaku politik akan berpikir ulang untuk menghabiskan dana kampanyenya hanya dengan cara konvensional.
.
Tapi paling tidak rakyat Indonesia selama 2 tahun ke depan akan lebih tenang. Karena Wakil Presiden Yusuf Kalla pernah menyampaikan, bahwa di tahun-tahun politik suatu pemerintahan biasanya cenderung untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang populis, salah satunya mungkin tidak menaikkan harga barang-barang subsidi (administered price). Aamiin.......
.
Well, bagaimanapun juga pemerintah telah menetapkan angka 5.4 persen sebagai target pertumbuhan ekonomi, kita sebagai anak bangsa harus tetap mendukung sesuai porsinya masing-masing. Saya sejujurnya tidak pesimis dengan angka tersebut dan lebih nyaman pertumbuhan ekonomi 2018 di angka 5.3 persen. Namun berangkat dari faktor fundamental yang diperkirakan terjadi, kita perlu mematut diri apa iya?.........dan yang pasti kita perlu kerja lebih keras....jadi semangat kakak !!

#opinipribadi
#keterbatasanpengetahuan

link bermanfaat:
https://databoks.katadata.co.id/
https://www.bps.go.id/
http://nasional.kontan.co.id/news/asumsi-makro-diperkirakan-meleset-dari-target

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...