Rabu, 22 Mei 2019

Tradewar Jilid II


Ekonomi AS Ekspan
.
Genderang perang belum selesai ditabuh oleh Paman Sam kepada Sang Naga. Terbukti beberapa waktu kemarin, Presiden Trump mengeluarkan pernyataan pengenaan bea masuk tambahan kepada produk-produk asal China, terutama yang belum terkena dampak perang dagang jilid 1. Trump mungkin merasa kebijakan perang dagang jilid 1 telah berhasil mengangkat perekonomian Amerika Serikat (AS). Tidak salah memang bila melihat rilis Departemen Perdagangan AS, yang menyatakan pertumbuhan ekonomi AS berekspansi 3,2 persen secara tahunan pada kuartal I tahun 2019.
.
AS mampu berkelit dari dampak turunnya konsumsi pribadi, akibat penutupan layanan pemerintahan (government shut down) selama sebulan lebih. Padahal konsumsi pribadi merupakan dua pertiga dari Produk Domestik Brutonya (PDB), bandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar 55 persenan.
.
Perang dagang jilid 2 ini, AS mengenakan bea masuk senilai 25% untuk impor asal China senilai US$ 325 miliar. Produk sebanyak lebih dari 5.000 jenis, mulai dari modem internet hingga bahan bangunan terancam semakin susah masuk ke AS. Padahal nilai perdagangan impor AS dengan China mencapai USD526 miliar atau 21 persen dari total impornya, versi World Bank pada tahun 2017 lalu.

.
Efek Berantai
.
Buah dari perang dagang, membuat AS harus mensubstitusi impor asal China. Padahal barang yang terkena kebijakan bukan hanya terdiri barang konsumsi, namun juga bahan baku dan penolong. Alhasil, AS juga harus mengurangi ekspor dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestiknya.
.
Akibat bagi China tentu menekan kinerja ekspornya, apalagi pasar AS porsinya mencapai 19 persen. Tekanan pada ekspor mengakibatkan China harus mencari pasar baru, seperti ke emerging countries. Perlambatan pada ekspor, akan membuat China mengurangi kapasitas produksinya industrinya. Sehingga berdampak pada impor, terutama bahan baku, yang akan berkurang.
.

.
Sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, gejolak ekonomi kedua negara bersengketa tersebut, sudah tentu berpengaruh pada perekonomian dunia tidak terkecuali Indonesia. Sebab nilai perdagangan kedua negara itu dengan Indonesia hampir seperempat total ekspor nasional, menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) per April 2019.  
.
Ekspor nasional ke kedua negara itu juga sudah pasti akan melambat, kecuali Indonesia dapat memanfaatkan celah dari kebutuhan barang yang sebelumnya diperdagangkan kedua negara. Padahal pengalaman perang dagang jilid 1 sebelumnya, Indonesia tidak bisa mengambil kesempatan emas itu.
.
Indonesia gagal bersaing diproduk tekstil dan alas kaki yang merupakan komoditas utama ekspor ke AS. Jangan berharap dengan China, karena produk andalan ekspor nasional ke sana berupa batubara dan olahan primer, yang notabene dikurangi akibat penurunan kapasitas produksi. Padahal disaat yang sama Indonesia harus mewaspadai potensi spillover ekspor China. Limpahan ekspor itu diindikasi mulai terjadi, dimana impor nasional asal China per April 2019 versi BPS tumbuh paling pesat diantara negara asal impor lainnya.
 .

.
Perlambatan ekspor dan tumpahan ekspor dari China tadi, mengakibatkan pendalaman defisit pada Neraca Perdagangan (NP). Bahkan apabila dikombinasikan dengan Neraca Jasa yang tidak lebih baik, maka ancaman defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit) yang melebar ada di depan mata.
.

Tekanan pun merembet ke nilai tukar Rupiah, yang berpotensi terdepresiasi. Tekanan datang dari kondisi Capital Market yang volatile akibat situasi perang dagang. Karena investor akan condong mencari investasi Safe Haven, seperti berinvestasi ke Dolar AS atau Yen Jepang. Akibatnya, Neraca Pembayaran terancam terdorong ke teritori negatif. Ujung dari semua sequences tadi adalah, pertumbuhan ekonomi nasional yang kontraksi.
.
Tindakan Preventif Nasional
Pemerintah jelas harus mengambil tindakan konkrit menghadapi situasi emergency perkonomian nasional. Kebijakan mendorong ekspor jelas wajib, namun komoditas ekspor nasional minim value added dan less competitive, serta pasar ekspor yang tidak variatif. Sepertinya perlu mendisain ulang jenis investasi yang tahun-tahun sebelumnya didominasi infrastruktur.
.
Pemerintah yang mulai memriotaskan bentuk PMTB berupa mesin dan perlengkapan, dapat mengombinasikan insentif fiskal yang berserak di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan investasi non bangunan (infrastruktur ) seperti mesin. Penguatan barang modal atau mesin pada industri besi dan baja, bisa menjadi langkah awal.
.
 


Ekstensifikasi pasar ekspor juga perlu dikuatkan. Peneliti INDEF Bima Yudistira juga menyatakan, bahwa sudah waktunya untuk memperluas pasar ke negara alternatif seperti Rusia, Afrika, dan Amerika Latin. Peran atase perdagangan atau kedutaan di negara-negara tujuan eskpor alternatif harus diperkuat. Apabila permintaan tiap negara diketahui sampai detail, maka dapat membantu eksportir menembus pasar baru.
.
Kaitannya dengan alihan impor China, perlu dilakukan assessment atas barang-barang impor. Peningkatkan utilitas produksi lokal perlu ditingkatkan, seperti melalui kebijakan penggunaan komponen lokal dalam industri (TKDN). Masyarakat bisa berkontribusi dengan mengurangi aktivitas konsumtif terhadap barang buatan luar negeri, naif memang tapi harus bagaimana lagi?
.
Menaikkan PPh impor sebagaimana dilakukan di tahun lalu (PMK 110) bisa menjadi opsi. Namun demikian, measure ini harus dilakukan terhadap komoditas yang:
1.       Memiliki efek berantai relatif kecil;
2.       Keterkaitan dengan industri rendah;
3.       Bukan komoditas sektor hulu;
4.       Konten impor yang tinggi, dan
5.       Merupakan produk akhir.
.
Komoditas primer, seperti minyak kelapa sawit, pasarnya saat ini dalam tekanan karena terkena kampanye negatif, penambahan tarif, hingga harga yang terpuruk. Kebijakan biodisel yang telah dimulai tahun lalu bisa diperkuat. Perkembangan teknologi, mungkin mampu meningkatkan kebijakan B-20 hingga menjadi B-100?
.
Negara memang sedang menghadapi situasi yang tidak gampang. Gonjang-ganjing politik di dalam negeri belum selesai, ditambah perkonomian dunia yang tidak menguntungkan. Jangan sampai Indonesia seperti kata pepatah, ‘gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah’.
.
Wallahu a’lam

#tradewar
#tradewarjilidII
#neracaperdagangan
#perangdagang
 
 

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...