Kamis, 04 Maret 2021

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also wants shopping centers to provide space for Indonesian products, especially MSMEs, not to be filled with brands from abroad. Great instruction Mr. President, since we know that import contributes negatively to economic growth compared to export.

To stop buying foreign products, it means that we must provide substitute products that are produced domestically or also known as import substitution. To be able to produce substitutes for imported products means we must strengthen national manufacturing sector, which unfortunately (in my opinion) has not been successful so far.

Why did the import-substitution industrialization strategy fail to achieve its intended goal? In my opinion, this cannot be separated from the current or past national trade policies. Any (trade) policy applied usually has goal to surplus the trade (balance) then promotes the economy. So, it is important whether the trade policy to link with the trade system comprehensively to develop the economy optimally. The national trade policy usually related with the system of industrialization, such as outward-looking (export-oriented) policies and import substitution policies.

Outward-looking (export-oriented) policy is a policy that shift the focus from production for the domestic market to the products for export to foreign markets. The policies, reduces or even eliminates tariff, quotas and other trade barriers. So, domestic prices move closer to the world prices.

Import substitution policy is substitution of imports by products produced by domestic producers. The policies will be followed by other protective policies such as tariff, import quota, production subsidies and (sometime) exchange rate. Other than that, it usually only a certain period to foster infant industries until they are ready to compete globally.

Unfortunately, the policies fail to achieve the intended goal, since domestic producers enjoy of no competitors in domestic market. Government applies many trade barriers to protect domestic products, even though their products are in poor quality and expensive. So they forget or even omit to improve the technology and quality of the products.

The policies should gradually reduce the protection, but since the conditions above occurred, domestic producers would not be able to compete with foreign products that better quality and cheaper. Then eventually, the government has no choice to extend the policies. Well, it is a challenging instruction and quite hard to do Mr. President. But again, it is never wrong to do the right thing (Mark Twain).

Senin, 01 Maret 2021

Ulang Tahun atau Ulang Tha'un?

 

Peningkatan pembiayaan

Ulang tahun merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, baik anak-anak, remaja bahkan orang dewasa. Namun demikian menyikapi hari ulang tahun, tentu berbeda-beda pada diri setiap orang. Ulang tahun bagi anak-anak tentu disikapi dengan suka cita dan yang terbayang adalah kue ulang tahun serta kado berisi banyak mainan. Berbeda dengan anak remaja yang berarti saatnya mentraktir teman-teman dekat atau waktunya nge-date atau makan malam sama gebetan.

Berbeda dengan bagi orang dewasa, ulang tahun bisa jadi pengingat diri bahwa umur sudah tidak lagi muda. Terbayang masa pensiun sudah di depan mata, sedangkan anak-anak masih butuh biaya pendidikan yang tentu tidak sedikit. Alhasil, segala upaya yang dilakukan akan dilaksanakan dengan seefektif mungkin, dan berdaya guna bagi kehidupan dia maupun keluarganya.

Sekedar informasi, tamu tak diundang atau si Covid-19 sedang berulang tahun. Pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengumumkan kasus pasien positif Covid-19. Pemerintah sendiri menyatakan Covid-19 sebagai bencana nasional bukan alam pada tanggal 13 April 2020, seiring dikeluarkannya Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Terlepas dari tanggal berapa sebenarnya si Covid-19 ini masuk Indonesia, perlu dicermati seperti apakah bangsa ini menanggapi setahunnya kondisi pandemi.   

Pada tahun 2020, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp1.226,8 triliun atau setara 100,5 persen dari target pada Perpres 72/2020 yang sebesar Rp1.220,5 triliun. Melambungnya pembiayaan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi, yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pagunya mencapai Rp695,2 triliun.

Memasuki tahun 2021, pemerintah menyatakan tetap meneruskan program PEN-nya. Menteri Keuangan pada suatu kesempatan konferensi pers menyatakan bahwa anggaran PEN dinaikkan menjadi Rp699,43 triliun. Peningkatan anggaran PEN dimaksudkan agar menjadi daya dorong pemulihan ekonomi nasional di tahun 2021.

Pertumbuhan ekonomi memang menjadi titik kritis nasib bangsa ini. Bagaimana tidak, pandemi yang sudah di tahun kedua ini, telah mendongkrak utang luar negeri menjadi Rp6.233,14 triliun sebagaimana rilis Kementerian Keuangan per akhir Januari 2021. Angka itu menjadikan rasio utang terhadap PDB mencapai 40,28 persen, meskipun masih lebih rendah dari batasan maksimal rasio utang pada UU No.17 tahun 2003 yang 60 persen.

Ekonomi nasional harus sudah bisa tumbuh (positif) di tahun ini, setelah terperosok hingga minus 2,07 persen tahun lalu. Maka dari itu, tahun 2021 pemerintah memproyeksikan perekonomian (harus) tumbuh 5 persen, meskipun masih akan menghadapi ketidakpastian. Proyeksi pertumbuhan itu diharapkan dapat mengantarkan defisit anggaran ke level 5,7 persen terhadap PDB, dan menjadi langkah awal untuk kembali dikisaran 3 persen sebelum tahun 2024.

Tumbuh adalah keharusan

Tumbuhnya ekonomi penting dalam mengendalikan atau mengelola utang, karena dapat mendorong penerimaan (perpajakan). Pendapatan pemerintah tahun lalu bisa dibilang tertolong peningkatan harga komoditas di akhir tahun, sehingga memberi dorongan positif terutama pada penerimaan PNBP dan bea keluar. Tapi mahfum diketahui kalau harga komoditas itu volatile sifatnya, sehingga tidak bisa menjadi pijakan tetap.

Peran belanja pemerintah saat ini menjadi lokomotif dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Menjadi demikian mengingat penggerak utama ekonomi nasional, yaitu belanja atau konsumsi masyarakat saat ini belum bergerak optimal. Pertumbuhan ekonomi nasional bila didekomposisikan, maka konsumsi masyarakat meyumbang minus 1,43 persen dari minus 2,07 persen pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 versi BPS. Sepanjang tahun 2020 hanya konsumsi pemerintah yang masih memberi share positif yaitu 0,15 persen, meskipun belum mampu mengangkat ekonomi nasional dari jurang kontraksi.

Program PEN harus menjadi pendorong dan tepat sasaran dalam mengembalikan arah ekonomi, terutama yang menggerakkan konsumsi masyarakat. Anggaran perlindungan sosial seperti bantuan sosial hingga diskon listrik, diharapkan dapat menyelamatkan daya beli masyarakat terdampak pandemi sehingga tidak menjadi gejolak dan dapat tetap beraktifitas produktif.   

Insentif perpajakan diharapkan mampu menyelamatkan industri maupun dunia usaha, agar tidak mengurangi lapangan pekerjaan yang pada akhirnya menyelamatkan daya beli masyarakat. Bila daya beli masyarakat terjaga, tentu demand tumbuh dan industri maupun aktifitas perdagangan menggeliat. Insentif pada pemberdayaan UMKM dan industri kecil seperti subsidi bunga KUR, juga diharapkan dapat menghidupkan kembali usaha kecil yang menyasar masyarakat secara langsung.    

Namun demikian yang terpenting dan menjadi game changer dalam pemulihan ekonomi adalah sektor kesehatan. Pemerintah harus tetap memberikan perhatian khusus, terutama pengadaan vaksin dan alat penanganan medis. Fasilitas yang diberikan harus dapat memperlancar program vaksinasi nasional, sehingga aktifitas masyarakat maupun ekonomi dapat berjalan seperti sedia kala.

Intinya adalah belanja APBN tahun ini harus dapat menggerakkan seluruh potensi pendorong pertumbuhan ekonomi. Ngeri membayangkan bila pembiayaan (utang) yang dilakukan tidak terkonversi menjadi pertumbuhan, terutama penerimaan. Bila tahun ini tidak tumbuh, maka akan ada selisih gol antara penambahan utang dan pendapatan negara. Alhasil akan semakin sulit untuk mencapai target (paling tidak) kembali ke defisit 3 persen atau keseimbangan primer yang positif, apalagi keluar dari perangkap middle income trap. Kalau sudah begini mau seperti yang mana, anak kecil, remaja atau orang dewasa yang berulang tahun?

Wallahu alam

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...