Rabu, 19 Desember 2018

Cek Toko ... ehh Negara Sebelah



Peran Investasi dan Ekspor
.
 Sebagaimana disampaikan berkali-kali oleh para pejabat negara, pengamat ekonomi hingga akademisi, bahwa poin penting dari pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan investasi dan ekspor. Pemerintah sebenarnya telah merespon hal itu dengan mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi, meski hasilnya hingga kini bisa dibilang belum maksimal. Alhasil, penting untuk diteliti atau dievaluasi kembali kebijakan-kebijakan terkait investasi dan insentif perpajakan tadi. Agar berinvestasi di Indonesia menjadi lebih menarik ketimbang di negara lain, serta efektif dalam pelaksanaannya.
.
Presiden dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa investasi (asing) yang mendapatkan insentif haruslah berkaitan dengan sektor-sektor yang dapat memperkuat industri dan perekonomian nasional, yang mendorong transformasi ekonomi, hilirisasi, serta industri berorientasi ekspor dan bernilai tambah. Hal demikian itu penting sebagai upaya revitalisasi industri, mengurangi impor bahan baku, dan merangsang industri berbasis sumber daya ekonomi lokal.
.
Namun demikian, kebijakan investasi yang telah maupun yang akan dikeluarkan sebaiknya dapat didesain sedemikian rupa hingga sesuai dengan target kepentingan nasional, bukan semata-mata demi penciptaan lapangan kerja. Karena dengan memperkuat ekonomi domestik (UMKM) melalui pemanfaatan alih teknologi, dan kemitraan dengan pelaku usaha besar, dapat memberikan efek yang lebih besar pada perekonomian nasional.
.
Efektivitas kebijakan (investasi) Indonesia tergambar dalam kondisi struktural ekonominya, dimana (hard to say ) upaya industrialisasi dan hilirisasi yang dilakukan pemerintah belum berhasil. Kondisi defisit pada neraca transaksi berjalan (CAD) dan neraca perdagangan (NP) yang kronis adalah indikator makronya.
.
Daya tarik investasi
Kebijakan tax holiday merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menarik investasi. Akan tetapi apakah kebijakan itu sudah berhasil (efektif) dalam mempercantik wajah investasi Indonesia? Jangka waktu tax holiday Indonesia yang mencapai 20 tahun seharusnya menjadi daya tarik tersendiri bagi investor, dibanding negara ASEAN lain yang berkisar 4 sampai 10 tahun saja.
.
Pemberian tax holiday sudah berjalan lebih dari 15 tahun, tapi hingga saat ini belum ada ‘wow effect’ nya. Sepanjang lebih dari 15 tahun pelaksanaan kebijakan itu, harus diakui terjadi proses ‘deindustrialisasi’ di Indonesia. Sebagaimana terlihat pada industri kelapa sawit, dimana proses hilirisasi masih jalan di tempat. Hal itu dibuktikan dengan ekspor yang dilakukan masih (sebagian besar) berupa crude palm oil (CPO). Ataukah memang sepertinya kita cukup bangga sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar di dunia?
.
Bangsa ini bukannya tidak melakukan upaya perbaikan, karena beberapa perbaikan juga telah dilakukan, salah satunya pelaksanaan online single submission (OSS). Kementerian Keuangan (DJBC) sendiri juga telah menyiapkan berbagai macam fasilitas bagi industri, terutama industri berorientasi ekspor.
.
Kebijakan pemerintah terupdate adalah dengan membuka daftar negatif investasi (DNI), yang sejatinya dibuat untuk melindungi ekonomi Indonesia. Kebijakan yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid XVI tersebut telah membuka 54 bidang usaha baru bagi investor. Diharapkan UMKMK dan perusahaan nasional bisa meningkatkan kreativitas, sinergi, inovasi, dan kemampuan dalam menyerap teknologi baru dalam era keterbukaan sehingga dapat mengembangkan potensi geopolitik dan geoekonomi nasional.
.
Upaya pemerintah
.
Keinginan pemerintah untuk menyembuhkan penyakit ekonomi bangsa ini memang sudah di ubun-ubun kepala, tidak tanggung-tanggung Presiden menyatakan bahwa kebijakan atas investasi dan perpajakan bisa dikatakan berhasil kalau sudah (melompat) 2 sampai 3 kali lipat. Hal tersebut sangat beralasan, karena momen untuk melompat tersebut sedang terbuka (lebar). Perang dagang AS vs Tiongkok menyediakan peluang foreign direct investment (FDI) akibat banyaknya industri asing di Tiongkok yang ingin merelokasi pabriknya ke negara lain.
.
Indonesia yang dianugerahi sumber daya yang melimpah, baik tenaga kerja maupun bahan baku, seharusnya dapat mencuri peluang itu. Mindset dan persepsi dunia internasional tentang iklim investasi Indonesia yang buruk harus dihapus. Pemerintah harus melakukannya dengan cara-cara yang ekstrem, iya benar ekstrem. Presiden pernah bercerita pengalamannya saat melakukan perizinan investasi di Dubai yang hanya memakan waktu 30 menit untuk semua urusan, dan itu terjadi 17 tahun yang lalu. Bayangkan dan bandingkan dengan perizinan listrik di Indonesia yang 58 izin (semula 259 izin).
.
Belum lagi success story Vietnam yang mampu menyalip nilai ekspor meubel Indonesia melalui kemudahan perizinan. Nilai ekspor meubel Vietnam pada tahun 2017 adalah USD7 miliar, jauh meninggalkan Indonesia yang (hanya) USD2,6 miliar itupun sudah digabung dengan hasil kerajinan.  Salah satu regulasinya adalah terkait kewajiban sertifikasi ekspor berbahan baku kayu, padahal biayanya menjadi beban hampir Rp200 miliar setahun bagi industri itu. Di Vietnam ketentuan itu tidak ada, alhasil ekspor lebih leluasa dilakukan sepanjang negara penerima tidak menolak.
.
Isu tak kalah penting lainnya dalam upaya penguatan transaksi berjalan adalah permasalahan devisa hasil ekspor (DHE). Bagaimana upaya pengecekan dan pengontrolan dilakukan, terhadap jumlah yang diekspor dengan nilai DHE yang masuk bisa sinkron. Pemerintah perlu mewajibkan para eksportir komoditas sumber daya alam (SDA), khususnya pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan untuk menyimpan DHE mereka di dalam negeri.
.
Pemerintah juga harus memaksimalkan currency swap yang jumlahnya cukup besar, sekitar USD82,7 miliar. Karena kerja sama pertukaran mata uang (swap) Rupiah dengan Dolar Amerika Serikat (USD) tersebut pada dasarnya memang untuk mengatasi kesulitan likuiditas akibat permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.
.
Inti dari semua hal di atas adalah, bahwa Indonesia harus siap dan mampu berkompetisi dengan negara lain terutama negara kawasan ASEAN. Ibarat restoran, kita sudah memiliki bahan-bahan yang dibutuhkan, bahkan tersedia di pekarangan rumah sendiri, pekerjanya berasal dari keluarga sendiri, bahkan lokasi restoran strategis dan cukup nyaman. Kita hanya butuh resep yang cocok serta pelayanan yang sigap bagi para pelanggan, sehingga mereka tidak perlu mampir ke toko sebelah.
.
Wallhu a’lam

#investasi
#CAD
#neracaperdagangan
 

Senin, 17 Desember 2018

Perlukah Australia dan Dunia mewaspadai efek ‘Perang Dagang’ AS vs China?


Perang dagang
.

Janine Dixon, peneliti dari Universitas Victoria telah meneliti perang dagang AS dan Tiongkok serta dampaknya pada dunia khususnya Australia. Penelitiannya itu telah dimuat dalam Economic Paper, dengan temuan yang menarik untuk diketahui.
.
Perang dagang yang digagas Trump, sebenarnya mengakibatkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS dan Tiongkok turun, bahkan kebangkitan manufaktur yang digadang-gadang AS belum terwujud. Bagi Australia, dampaknya lebih kepada Terms of Trade (ToT) yang hanya menyebabkan dampak minor bagi makroekonominya.
.
ToT adalah indeks dari harga ekspor suatu negara dari segi impor (nilai ekspor suatu negara relatif terhadap impornya), jadi ToT dikatakan baik bila indeksnya naik. Indeks ini dihitung dengan membagi nilai ekspor dengan nilai impor, kemudian mengalikan hasilnya dengan 100. Jadi jika ToT suatu negara kurang dari 100%, maka ada lebih banyak modal keluar (untuk membeli impor) daripada jumlah yang masuk. Sebaliknya, jika TOT lebih besar dari 100% berarti lebih banyak modal yang masuk dari ekspor.
.
Alhasil, sengketa kedua negara tersebut diyakini tidak menyebabkan goncangan ekonomi global yang signifikan, namun dapat memicu tindakan balasan. Tindakan balasan dikhawatirkan menyebabkan kenaikan tarif di seluruh dunia, yang dikhawatirkan mengakibatkan resesi ekonomi akibat pengurangan volume perdagangan dunia yang hingga sepertiga.
.
Kebijakan Trump

Saat masih kampanye pemilihan Presiden AS, Donald Trump sudah mengindikasikan akan menghidupkan kembali kebijakan proteksionis. Janji itu benar dilaksanakan dengan menarik AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP) atau perjanjian perdagangan AS dan 11 negara lain di Pasifik. Selain itu, Trump juga berjanji akan mengenakan tarif 45 persen pada impor asal Cina.
.
Merujuk penelitian Peterson Institute (Petri & Plummer, 2016), disampaikan bahwa AS hanya mendapatkan keuntungan yang relatif sedikit dari TPP. Selain itu, TPP berpotensi mengurangi pertumbuhan lapangan kerja di sektor manufaktur, yang merupakan basis pendukung Trump. Berdasarkan penelitian itu, maka tidak sulit untuk memahami mengapa Trump menarik AS dari TPP.
.
Macro results
.
Dalam jangka panjang, dampak pengenaan tarif 45 persen oleh AS terhadap barang-barang manufaktur Cina berlangsung persis seperti teori. Dimana setelah pemberlakuan tarif, AS cenderung mengurangi impornya, kemudian berusaha mengalihkan sumber daya untuk memproduksi barang yang sebelumnya diimpor. Akibatnya adalah, ekspor AS menurun, tapi sepertinya Trump lebih fokus pada peningkatan ToT.
.
Pengalihan sumber daya dari kegiatan ekspor menjadi kegiatan substitusi impor (yang relatif kurang produktif) menyebabkan hilangnya efisiensi. Dixon menjelaskan bahwa pada tingkat tarif rendah, kenaikan ToT masih mungkin untuk bisa melebihi kerugian efisiensi. Tetapi pada tingkat yang tinggi (45 persen), maka kerugian efisiensinya akan lebih besar.
.
Keuntungan AS dalam ToT (mendekati 1 persen) berhasil meningkatkan purchasing power-nya, sehingga berkurangnya real income (PDB turun lebih karena consumer prices daripada producer prices) tidak lebih besar daripada penurunan PDB. (Real income di sini tidak memperhitungkan kepemilikan modal asing)
.
Hal sebaliknya terjadi pada Tiongkok, yang sekitar 20 persen ekspornya terdampak langsung kenaikan tarif impor. Tiongkok mengalami kerugian ToT hampir 3 persen, bahkan total ekspor Tiongkok turun lebih dari 4 persen. PDB Tiongkok juga turun lebih dari 1 persen. Alhasil, penurunan ToT tadi mengurangi purchasing power Tiongkok, bahkan penurunan real income-nya melebihi penurunan PDB, yaitu turun hampir 2 persen.
.
Mengingat kontribusi AS dan Tiongkok mencapai sekitar sepertiga perdagangan Australia, maka ada kemungkinan memberi dampak negatif pada ekonomi Australia. Namun karena tidak adanya perubahan tarif yang terhubung langsung dengan Australia, maka mekanismenya lebih kepada ToT.
.
Ekspor Australia ke China jatuh, tidak mengherankan mengingat ekonomi Tiongkok yang sedang melemah. Di sisi lain, ekspor Australia ke AS meningkat. Meskipun ekonomi AS juga sedang melemah, namun AS sedang berusaha bagaimana mengalihkan impor asal Tiongkok. Hence, Australia mampu memanfaatkan peluang itu dengan meningkatkan ekspornya ke AS.
.
Australia juga mampu meningkatkan ekspornya ke seluruh dunia, memanfaatkan momen disaat AS yang sedang fokus memenuhi pasar domestiknya. AS yang sedang membatasi ekspornya ke seluruh dunia, telah membuka ruang bagi Australia untuk memperluas ekspor ke seluruh dunia.
.
Pengenaan tarif tambahan atas produk manufaktur Tiongkok mengakibatkan turunnya demand di AS, hal itu tentu menekan tingkat upah di Tiongkok dalam jangka panjang. Penurunan harga barang manufaktur Tiongkok, berkontribusi pada penurunan c.i.f. indeks harga impor untuk Australia, consequently, meningkatkan ToT. Di sisi lain, tekanan biaya manufaktur di AS sebagai upaya subsitusi impor, mengakibatkan c.i.f. harga impor barang AS ke Australia meningkat. Namun demikian, impor barang-barang manufaktur dari AS bukan prioritas utama dibandingkan impor dari Tiongkok.
.
Netto ToT Australia atas situasi ‘Trade War’ relatif kecil saja, karena Australia hanya mendapat keuntungan dari impor lebih murah asal Tiongkok dan akses perdagangan yang lebih baik ke AS. Namun demikian masih ada kerugian, yaitu atas ekspor yang berkurang ke Tiongkok dan impor yang lebih mahal dari AS.
.
Sectoral result
.
Penurunan output terjadi di sektor-sektor di mana Tiongkok merupakan tujuan penjualan utama, seperti bijih logam (terutama bijih besi), pertanian, dan batu bara. Sedangkan ekspor makanan dan minuman cenderung untuk memenuhi pasokan kebutuhan dunia. Australia berhasil mengambil peluang itu, dengan memperluas ekspornya menggantikan pasokan yang sebelumnya diisi oleh AS.
.
Dampak sektor industri AS: The Wrong Policy
Pengenaan tarif tambahan ternyata hanya menyebabkan sedikit peningkatan output barang manufaktur AS. Seharusnya, kebijakan kenaikan tarif dapat meningkatkan aktivitas industri domestik, dengan memotong impor dan pertumbuhan industri untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (substitusi impor).
.
.
Riset memperlihatkan bahwa pengurangan impor AS yang diinduksi dengan kenaikan tarif asal Tiongkok, pada akhirnya dipenuhi oleh impor yang lebih tinggi dari seluruh dunia. Ekspor AS sendiri cenderung turun, domestic usage lebih rendah, dan hanya sedikit peningkatan dalam output.
.
Substitusi impor memiliki efek positif di sebagian besar sektor, dan penurunan ekspor memiliki efek negatif. Di sebagian besar sektor, ada juga kontribusi negatif yang kecil dari pertumbuhan domestik yang lebih rendah. Tarif memberikan dampak positif dalam textile, clothing and footwear (TCF) dan peralatan elektronik, yang mencakup peralatan komputasi dan komunikasi. Di sektor-sektor ini, dampak signifikan dari pengurangan impor memainkan peran besar.
.
AS bertindak secara sepihak saat mengubah tarif impor asal Tiongkok antara nol dan 45 persen. Tarif impor dari Tiongkok saat ini rata-rata sekitar 3 persen. Riset menunjukkan bahwa keadaan bisa menjadi lebih buruk dengan memotong tarif menjadi nol. Bila peningkatan tarif antara 5 dan 10 persen akan memberi keuntungan kesejahteraan kecil pada ekonomi AS. Namun bila peningkatan tarif hingga 45 persen, maka manfaat bagi ekonomi AS dapat dibilang tidak ada.
.
Retaliasi
.

Pengenaan tarif tambahan AS atas Tiongkok relatif tidak memiliki implikasi negatif bagi Australia atau seluruh dunia. Bahaya atas kebijakan proteksionis Trump sendiri tidak terletak pada dampak langsung dari tarif yang dikenakan, akan tetapi lebih pada risiko tindakan pembalasan (retaliasi).
.
Kemungkinan retaliasi terjadi dalam dua skenario: pertama, Tiongkok membalas dengan tarif 45 persen atas AS; dan kedua, seluruh dunia ikut dalam perang dagang dengan memberlakukan tarif 20 persen (sedang AS dan Tiongkok bertahan dengan tarif 45 persen).
a.    Tiongkok membalas dengan tarif 45 persen atas AS
Strategi Tiongkok untuk mencegah AS menerapkan tarif dengan tindakan balasan sebenarnya kurang tepat. Tiongkok dapat melakukan tidakan yang lebih efektif dengan memaksimalkan posisinya sebagai kreditor terbesar dunia, dengan menahan modal dari AS.
b.    Dunia ikut dalam perang dagang (memberlakukan tarif 20 persen)
AS dan China memberlakukan tarif 45 persen satu sama lain, dan 20 persen terhadap yang lain. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi perubahan kerangka peraturan WTO. Hal ini mengingatkan pada tarif Smoot Hawley di era Great Depression, masa sebelum WTO dan GATT. Jika ini terjadi, maka volume perdagangan dunia turun lebih dari sepertiga, disusul dengan penurunan PDB di seluruh dunia.
.
Kesimpulan
.
1.    Bagi AS, pengenaan tarif tinggi atas Tiongkok tidak akan memberikan stimulus bagi sektor manufaktur. Sebaliknya, kebijakan tersebut akan menyebabkan lebih banyak impor dari tujuan lain, menurunkan ekspor, dan menurunkan permintaan.
2.    Bagi Australia, kondisi perang dagang antara dua negara mitra dagang terbesarnya tidak memberikan dampak serius. Bahkan efek terhadap ToT cenderung netral.
3.    Bagi dunia, kebijakan tarif AS atas Tiongkok tidak menjadi hal serius apabila tidak ditanggapi dengan ikut dalam situasi itu. Tiongkok mungkin merasa berhak untuk membalas, meskipunmungkin itu tidak perlu. Karena kebijakan AS itu hanya akan menimbulkan tekanan pada ekonomi AS dan Tiongkok saja, dan sedikit sekali bahayanya pada ekonomi dunia.
Bahwa efek Trump ini (proteksionisme) seharusnya tidak diikuti negara lain, dengan melemahkan WTO dan ikut menaikkan tarif. Karena hanya akan menimbulkan proteksionisme global, tekanan pada perdagangan dunia hingga akhirnya membawa ekonomi dunia ke dalam resesi.

#perangdagang

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...