Daya beli melemah?
Hari sabtu dan minggu yang lalu, Saya menyempatkan
diri untuk mampir ke pusat perbelanjaan yang berada di sekitaran gubuk Saya.
Sempat agak susah cari parkir saat itu, sehingga sempat terpikir kalau ekonomi nasional
sudah membaik. Saat berada di dalam situasi memang ramai, namun yang menarik
adalah pengunjung banyak yang mengerumuni restoran dan tempat bermain
anak-anak. Sedang pusat belanja G***T yang Saya tuju, kondisinya sepi jali
kalau orang betawi bilang.
.
Kondisi
sepinya pusat belanja, banyak yang mengartikannya sebagai sinyal pelemahan daya
beli, apakah benar demikian? Rilis BPS menyatakan, bahwa Inflasi per 31 Oktober
2019 adalah sebesar 3,13% (YoY) dengan inflasi di bulan Oktober berada di
0,02%. Secara tren, inflasi di semester 2 selalu mengalami pelemahan lalu
diakhiri peningkatan di bulan Desember. Tapi sesuatu yang penting adalah,
besaran inflasi cenderung ‘melemah’ di tahun 2019.
.
Inflasi
dengan ‘tingkatan tertentu’ bisa dijadikan indikator ekonomi suatu negara,
apakah sedang tumbuh atau mengalami perlambatan. Karena inflasi menggambarkan
proses interaksi antara permintaan dan penawaran di masyarakat. Namun Inflasi
yang terlalu tinggi (ingat krisis 1998) dan tidak stabil berdampak negatif
karena menekan standar hidup sehari-hari masyarakat.
.
Kode dari inflasi
BPS menglasifikasi penyebab inflasi menjadi dua, yaitu
inflasi inti dan inflasi non-inti. Inflasi non-inti adalah komponen inflasi
yang cenderung tinggi volatilitasnya, karena dipengaruhi oleh selain faktor
fundamental. Inflasi non-inti salah satunya adalah komponen bergejolak (volatile food) yang sangat dipengaruhi dinamika di bahan pangan, seperti panen, gangguan alam, hingga faktor
perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.
.
Komponen
inflasi non-inti selanjutnya adalah jenis barang yang harganya diatur
pemerintah atau administered prices.
Contoh dari barang administered prices
ini antara lain BBM bersubsidi, tarif angkutan umum, hingga tarif listrik.
.
Sedangkan
inflasi Inti adalah komponen inflasi yang cenderung persisten pergerakannya
karena dipengaruhi faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran,
lingkungan eksternal (nilai tukar), harga komoditas internasional, bahkan
ekspektasi pedagang dan konsumen.
.
Inflasi
nasional pada periode-periode yang lalu nature-nya
selalu dipengaruhi oleh inflasi non-inti, yaitu harga bahan pangan yang terdisrupsi
pasokan maupun gangguan alam. Tidak jarang kebijakan pemerintah ‘menyesuaikan’
subsidi, turut memberi kontribusi. Namun demikian keduanya saat ini relatif
stabil, dimana harga pangan telah melewati puncak volatilitasnya di hari raya
lalu dan relatif tidak ada perubahan kebijakan harga barang subsidi (BBM).
.
Bagaimana
dengan inflasi inti, yang merupakan gambaran umum kondisi fundamental
perekonomian? Data inflasi versi BPS menyebutkan, bahwa inflasi inti menjadi
kontributor tertinggi baik dibulan Oktober, sepanjang tahun 2019, hingga dari
tahun ke tahunnya. Alhasil terlihat jelas bahwa (pelemahan) inflasi terutama
kuartal 3 tahun 2019 disebabkan oleh kondisi fundamental (perlambatan) perekonomian
nasional.
.
Kekhawatiran
itu diperkuat dengan beberapa indikator ekonomi (konsumsi maupun investasi)
yang menggambarkan turunnya demand masyarakat.
Purchasing Manager’s Index (PMI) yang
sejak bulan Juni 2019 terus turun dari level normal atau 50, dan Indeks
Keyakinan Konsumen (IKK) yang sejak bulan Mei 2019 konsisten turun meskipun
masih di atas level 100.
.
Gambaran
beberapa indikator ekonomi di atas mau tidak mau menunjukkan bahwa perlambatan
ekonomi dunia, jelas sudah menginfiltrasi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di
semester 1 tahun 2019 yang 5,05%, masih tertopang oleh tumbuhnya konsumsi rumah
tangga (5,17%) yang merupakan kontributor utama PDB, dan Lembaga Non-Profit
Rumah Tangga (LNPRT) yang tumbuh signifikan 15,27%.
.
Saat
itu pertumbuhan konsumsi rumah tangga, didorong momentum hari raya keagamaan
dan juga libur anak sekolah. Sedangkan LNPRT, dipacu oleh hajatan nasional
berupa Pemilu Presiden dan Legislatif yang mengakibatkan melonjaknya belanja
partai-partai politik peserta pemilu.
.
Tikungan terakhir di akhir tahun
Prognosa semester 2, perekonomian sepertinya tidak
secerah semester 1 lalu. Hal itu disebabkan faktor-faktor pendorong ekonomi
praktis tinggal mengharapkan peningkatan investasi dan belanja pemerintah.
Karena mustahil mengharapkan perbaikan net ekspor atau neraca perdagangan yang
merupakan penyakit kronis, dalam waktu singkat.
.
PR
pemerintah adalah segera memaksimalkan belanjanya, yang hingga akhir Oktober
2019 baru mencapai 73%, sehingga dapat memberi suntikan energi pada ekonomi
nasional. PR selanjutnya yaitu mengejar realisasi investasi di sisa tahun ini.
Kelanjutan pembangunan infrastruktur yang merupakan program unggulan rezim saat
ini, bisa menjadi mesin utamanya. Menteri Keuangan sendiri menggarisbawahi
belum optimalnya PMTB, yang menurutnya terdampak oleh penurunan harga komoditas
primer sehingga mempengaruhi kinerja investasi terutama mesin perlengkapan.
.
Perlu
dipahami memang, bahwa perekonomian nasional sangat terpengaruh oleh situasi
ekonomi dunia. Harapan volatilitas situasi global, yang disebabkan antara lain
oleh perang dagang AS-RRT dan Brexit di Eropa, segera mereda sangat penting
karena mempengaruhi aktifitas perdagangan dan investasi.
.
Namun Saya
melihat ada (sedikit) peluang di sisa tahun ini, yaitu dengan ditandatanganinya
kesepakatan Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP) yang terdiri dari 15 negara. RCEP yang para anggotanya
merupakan pelaku ekonomi dunia, terlebih Asia, berpotensi dapat memperbaiki
kondisi perdagangan dunia dan memberi dampak positif ke perekonomian nasional.
.
Dinamika pertumbuhan yang selalu membaik di kuartal ke 4
sejak tahun 2017 juga menambah optimisme, paling tidak perekonomian bisa tumbuh
di level 5,05%. Itupun berat lho, karena hanya menyisakan beberapa bulan.
Alhasil Indonesia harus bisa seperti Valentino Rossi yang piawai memaksimalkan tikungan
terakhir balapan, untuk menyalip lawan-lawannya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar