Kerjasama adalah
keniscayaan
.
Fitrah manusia adalah makhluk sosial, sehingga tidak bisa
bekerja sendirian. Berangkat dari fitrah itu, maka kami meyakini bahwa bekerja
sama adalah suatu keniscayaan. Dengan perubahan informasi dan teknologi,
terutama di era revolusi industri 4.0,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Bea cukai, telah membuat beberapa
ukuran demi terciptanya proses yang mapan. Proses tersebut adalah konektivitas
lintas sektor.
.
Ada beberapa ciri evolusi industri 4.0, seperti artificial inteligent, internet of things, hingga big data. Namun demikian yang
terpenting dari semua ciri tersebut adalah konektivitas. Bea cukai menyadari
bahwa tidak mungkin mencapai sesuatu tanpa melakukan kerjasama dengan pihak
lain. Meskipun menjadi rahasia umum bahwa kerjasama atau koordinasi adalah hal yang
mudah diwacanakan namun sulit implementasinya.
.
Menteri Keuangan dalam berbagai kesempatan kerap
menyampaikan bahwa APBN adalah sebuah instrumen atau alat, bukan tujuan. APBN
adalah instrumen negara untuk mencapai kesejahteraan. Karena hampir seluruh
sendi kehidupan masyarakat tersentuh oleh APBN, mulai dari kelahiran, kehidupan
sehari-hari, hingga kematian.
.
Bea cukai sebagai salah satu unit vertikal di bawah
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), turut andil dalam pembentukan APBN tersebut.
Akan tetapi, andil tersebut (dahulu) lebih diartikan bahwa Bea cukai
bertanggung jawab semata-mata sebagai pengumpul penerimaan negara. Tanggung
jawab itu menjadikan Bea cukai berlaku seperti layaknya pemanen buah. Kondisi pohon
yang kering atau terkena hama tidak menjadi perhatian, selama dapat memanen
buah sebanyak-banyaknya..
Perubahan paradigma
.
Bea cukai seharusnya dapat menempatkan diri di 2 posisi. Bea
cukai harus dapat berlaku tidak hanya sebagai pemanen buah, tapi juga sebagai
penanam pohon. Karena bila berpandangan sebagai pemanen buah, maka akan muncul
fenomena pohon buah yang mati.
.
Bea cukai juga harus mempunyai paradigma sebagai penanam
pohon. Paradigma untuk menumbuhkembangkan pohon yang sehat, tidak ada hama,
daunnya lebat, akarnya kuat sehingga menyerap air dan mencegah banjir, hingga di-generate sebagai revenue.
.
Proses menjadi lebih penting dibandingkan produk, meskipun
sebagai bagian Kemenkeu, output juga
tetap menjadi perhatian. Namun demikian menumbuhkembangkan sebuah pohon itu
jauh lebih penting. Terkadang saat menanam pohon, orang tidak lagi memikirkan
siapa yang nanti mendapatkan manfaat dari pohon tersebut. Karena menanam pohon bukan
semata-mata untuk dirinya, melainkan untuk dapat dinikmati anak cucunya.
.
Penanam pohon memilih betul jenis bibitnya, merawat dan
mengairinya, memberi pupuk, serta menghalau hama. Hal itu dilakukan agar pohon
dapat tumbuh lebat dan berbuah banyak. Sehingga datang investasi, industri dan
perdagangan menjadi maju, lapangan kerja tersedia, serta mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi.
.
Proses tadi tentunya tidak dapat dilakukan sendiri,
sehingga perubahan cara pandang dari sama-sama bekerja menjadi bekerja sama mutlak
diperlukan. Bea cukai telah memulai merubah paradigmanya, dari sebagai pemetik
buah menjadi penanam pohon. Perubahan itu diharapkan dapat menjawab tantangan Bea
cukai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya..
Konsep Joint Program
.
Cara kerja sendiri-sendiri, dengan mindset ‘yang penting kerjaan selesai’ sudah tidak bisa diterapkan
di era revolusi industri 4.0 ini. Masing-masing pihak harus bisa bersinergi
atau ‘take and give’, peduli satu
sama lain. Berangkat dari kerangka inilah ‘Joint
Program’ dibuat. Bea cukai memulai langkah itu dengan pencanangan program
penguatan reformasi kepabeanan dan cukai (PRKC).
.
Dalam PRKC, implementasi Joint
Program dimulai dengan bersinergi bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sinergi bersama DJP selama 2 tahun terakhir berhasil melewati target yang
diamanatkan dengan capaian Rp3 triliun (Rp1,9 triliun) pada tahun 2017 dan Rp23
triliun (Rp20 triliun) pada tahun 2018. Sedangkan target joint program DJP-DJBC tahun 2019 meningkat menjadi Rp50 triliun.
.
Mempertimbangkan target yang terus meningkat, Direktur
Jenderal Bea Cukai pun melakukan konsultasi bersama Inspektorat Jenderal (Itjen)
Kemenkeu. Bea cukai secara simultan juga melakukan sinergi bersama
instansi-instansi di luar lingkungan Kemenkeu, seperti program penertiban impor
berisiko tinggi (PIBT) yang dideklarasikan pada tanggal 12 Juli 2017. Pada
program itu, Bea cukai bersinergi dengan Kejaksaan, TNI-Polri, KPK, hingga
PPATK..
Bea cukai sadar bahwa tidak mungkin melakukan penertiban
tanpa kerjasama dengan instansi lain, bahkan dengan instansi yang nature businessnya bukan penerimaan. Hal
itu dilakukan karena lingkungan strategis yang kondusif sangat penting pada pelaksanaan
dan kesuksesan program PIBT tersebut.
.
Program
sinergi atau Joint Program di
lingkungan Kemenkeu yang terdiri dari DJP, DJBC, dan Direktorat Jenderal
Anggaran (DJA), perlu penyamaan langkah atau harmonisasi. Ketiga instansi
tersebut harus mempunyai kesamaan pandangan:
1.
Tujuan dari Joint
Program adalah kepatuhan atau compliance,
bukan melulu pencapaian target.
Pengalaman pelaksanaan Joint
Program DJP-DJBC 2 tahun terakhir, saat pengguna jasa patuh maka target
penerimaan akan mengikuti dengan sendirinya. Target compliance adalah bagaimana para wajib pajak memenuhi ketentuan
perpajakan, ketentuan keuangan (PNBP), dan kepabeanan cukai. Bila dianalogikan
sebagai siswa, maka Joint Program
harus memastikan mereka masuk ke dalam kelas. Dalam proses itu disiapkan 2 skema
pelaksanaan. Pertama diberikan insentif setelah patuh. Kedua diberikan hukuman
atau disinsentif, kepada yang masih melanggar aturan.
2.
Kesamaan sasaran.
Sasaran
diistilahkan dengan wajib bayar (WB) high
risk. Dalam konteks kepabeanan, Bea cukai menyebutnya importir berisiko
tinggi (IBT). WB high risk ditargetkan
untuk masuk kelas, atau menjadi patuh. Hal dimaksudkan agar tidak ada lagi
istilah ‘berburu di kebun binatang’ atau mengandalkan penerimaan dari obyek relatif
patuh atau itu-itu saja. Karena hasilnya tidak besar, namun membuat gaduh
karena terkadang dibarengi oleh abuse of
power.
.
Basis dari pelaksanaan Joint
Program adalah PIBT yang merupakan bagian dari program PRKC. Dikarenakan Joint Program ini melibatkan instansi
DJP dan DJA, maka disesuaikan menjadi Penertiban Wajib Bayar Berisiko Tinggi
(PWBBT).
.
Pencapaian
sasaran Joint Program diimplementasikan
dalam bentuk:
1.
Joint System
yang terdiri dari Joint Proses Bisnis,
Joint Data, dan Secondment;
2.
Joint Operasional,
yang terdiri dari Joint Analisis,
Joint Audit, Joint Investigasi, dan Joint Collection.
.
Pelaksanaan Joint Program
.
Pelaksanaan Joint System dan Joint Operational, dilakukan dalam tahap-tahap yang berkelanjutan
(siklus), meliputi:
1.
Identifikasi dan Pemetaan.
Harus ada kriteria yang pasti, jangan sampai seperti dokter yang membuat resep
tanpa diagnosis. Definisi berisiko tinggi pada program PWBBT harus mempunyai
kriteria yang pasti dan detil, sehingga dapat terbentuk kesamaan persepsi.
Contohnya kriteria berisiko tinggi ada pada nilai pabean, tarif, harga
dasar, prosedur, atau bahkan personalnya.
2.
Strategi dan Program.
Contoh pada PIBT, Bea cukai menyusun beberapa inisiatif strategis (IS)
yang totalnya mencapai 19 buah. IS tersebut mencakup fungsi penerimaan,
pelayanan dan fasilitasi, pengawasan, hingga kultur organisasi.
3.
Diseminasi dan Konsolidasi.
Pemahaman program hingga ke bawah, harus tersampaikan sempurna. Kantor
vertikal yang banyak dan tersebar di seluruh nusantara, menjadi tantangan
tersendiri. Pemahaman program juga harus memperhatikan keunikan masing-masing
daerah atau kearifan lokal.
4.
Implementasi dan Asistensi.
Pelaksanaan yang baik ditahap sebelumnya, bisa membuat implementasi
program terlaksana sempurna. Peran Itjen dan Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak)
diperlukan dalam memonitor pelaksanaan program.
5.
Monitoring Evaluasi dan Rekomendasi.
.Sebagai sebuah program besar dan relatif terobosan, tentu tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan. Tahap ini diharapkan dapat menemukan celah tersebut dan menjadikannya sebagai masukan perbaikan di masa depan.
.
Ruang lingkup Joint
Program telah berkembang, kini meliputi DJP-DJBC-DJA. Ketiga instansi
tersebut saat ini sudah mempunyai basis data, seperti Bea cukai dengan Ciesa,
DJP dengan Core Tax, dan DJA dengan Simfoni. Pada Joint Program, diharapkan ketiga basis data tersebut akan dapat
diharmonisasikan dalam bentuk Joint Data.
Harmonisasi atau konektivitas data dilakukan agar Joint Program berjalan efektif.
.
Kondisi data yang tidak terhubung satu sama lain,
dikhawatirkan mengakibatkan perbedaan perlakuan WB, antara satu instansi dengan
yang lain. Jangan sampai WB disediakan karpet merah di satu sisi, namun di sisi
lain mendapatkan jalur merah. Atau sebaliknya, di satu sisi mendapatkan jalur
hijau, namun di sisi lain diseret ke meja hijau.
.
Konektivitas data sebenarnya sudah mulai berjalan sejak
beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, efektivitas serta output yang dihasilkan belum maksimal. Hal itu disebabkan karena masing-masing
instansi belum mempunyai kapasitas untuk mengolahnya. Data perpajakan dari DJP untuk
Bea cukai belum tentu dapat diolah maksimal, begitu pula sebaliknya. Bahkan
ketidaktahuan pengolahan data bisa mengakibatkan perbedaan persepsi, yang
menimbulkan perbedaan perlakuan (jalur merah vs karpet merah).
.Menghindari hal itu, maka Joint Proses Bisnis (Probis) harus dilakukan sebelum Joint Data. Diharapkan Joint Probis menghasilkan suatu proses bisnis yang mapan dan baku. Bea cukai saat ini tengah mengembangkan dan mencoba membangun sistem yang dinamakan ‘Smart Customs’. Sistem tersebut mengintegrasikan informasi, fungsi, dan kepentingan baik internal maupun eksternal. Alhasil, sebagian proses pada Smart Customs, dapat menjadi bagian pada program Joint Data.
.
Joint Data yang basisnya adalah kesisteman,
kemudian dilanjutkan secara operasional dengan:
1.
Joint
Analysis
2.
Joint
Audit
3.
Joint
Collection, dan
4.
Joint
Investigation
.
Joint Analysis berfungsi
menentukan kriteria WB yang merupakan berisiko tinggi atau sebaliknya.
Penentuannya tidak menitikberatkan pada entitas, melainkan lebih kepada
perilaku terutama yang tidak biasa/normal. Penilaian perilaku tersebut
dilakukan dengan membangun alert system yang disebut Automate Monitoring Tool (AMT).
.
Sistem tersebut bekerja sesuai parameter yang sudah
ditentukan, untuk kemudian meneliti dan mengidentifikasi WB. Namun demikian,
AMT masih perlu back up dengan
pendekatan intelijen oleh unit pengawasan agar lebih optimal. Harapannya, alert system akan mendapat tambahan informasi dari DJP dan DJA, sehingga
dapat bekerja maksimal.
.
Informasi dari Joint
Analysis selanjutnya akan dilakukan penanganan awal dalam kerangka Joint Program atau secara mandiri.
Penanganan awal sendiri adalah penciptaan prakondisi dalam rangka proses tindak
lanjut Joint Analysis, sehingga dapat
diselesaikan optimal. Contohnya adalah pemblokiran oleh DJBC terhadap importir,
karena terindikasi belum melaporkan SPT meski telah memenuhi kewajiban impor.
.
Tindakan pada penanganan awal akan memudahkan proses berikutnya.
Bila menggunakan pendekatan fiscal
recovery, maka dilanjutkan dengan Joint
Audit. Opsi Joint Collection, dilaksanakan
apabila diputuskan melakukan penagihan. Namun apabila masuk ranah pidana, maka dilakukan
penegakan hukum atau enforcement melalui
Multidoor Investigation System (MIS) pada
Joint Investigation.
.
Dalam rangka
menjamin terlaksananya Joint Program,
maka diperlukan monitoring dan evaluasi (monev). Peran monev tersebut dilakukan
oleh Itjen, Komwasjak, bahkan Unit Pengendalian Internal (UKI). Bea cukai juga
mendorong program Secondment di
internal Kemenkeu. Program Secondment tersebut
dilakukan dengan cara:
1.
Sharing informasi;
2.
Penempatan sementara (mediasi);
3.
Asistensi pemahaman proses bisnis.
.DJBC yakin, bahwa Joint Program DJP-DJA-DJBC baru memasuki tahap (sangat) awal dan masih perlu penyempurnaan di beberapa tahapannya. Sehingga kemungkinan penyesuaian masih akan terjadi, terutama setelah mendapatkan masukan dari DJP atau DJA, bahkan unit pengawasan Kemenkeu.
.
wallahu a'lam
#beacukai
#jointprogram
#reformasibeacukai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar