Rabu, 08 Mei 2019

Sinergi Demi Negeri dengan Joint Program DJP-DJBC-DJA


Kerjasama adalah keniscayaan
.
Fitrah manusia adalah makhluk sosial, sehingga tidak bisa bekerja sendirian. Berangkat dari fitrah itu, maka kami meyakini bahwa bekerja sama adalah suatu keniscayaan. Dengan perubahan informasi dan teknologi, terutama di era revolusi industri 4.0,  Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Bea cukai, telah membuat beberapa ukuran demi terciptanya proses yang mapan. Proses tersebut adalah konektivitas lintas sektor.
.
Ada beberapa ciri evolusi industri 4.0, seperti artificial inteligent, internet of things, hingga big data. Namun demikian yang terpenting dari semua ciri tersebut adalah konektivitas. Bea cukai menyadari bahwa tidak mungkin mencapai sesuatu tanpa melakukan kerjasama dengan pihak lain. Meskipun menjadi rahasia umum bahwa kerjasama atau koordinasi adalah hal yang mudah diwacanakan namun sulit implementasinya.
.
Menteri Keuangan dalam berbagai kesempatan kerap menyampaikan bahwa APBN adalah sebuah instrumen atau alat, bukan tujuan. APBN adalah instrumen negara untuk mencapai kesejahteraan. Karena hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat tersentuh oleh APBN, mulai dari kelahiran, kehidupan sehari-hari, hingga kematian.
.
Bea cukai sebagai salah satu unit vertikal di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), turut andil dalam pembentukan APBN tersebut. Akan tetapi, andil tersebut (dahulu) lebih diartikan bahwa Bea cukai bertanggung jawab semata-mata sebagai pengumpul penerimaan negara. Tanggung jawab itu menjadikan Bea cukai berlaku seperti layaknya pemanen buah. Kondisi pohon yang kering atau terkena hama tidak menjadi perhatian, selama dapat memanen buah sebanyak-banyaknya.
.

Perubahan paradigma
.
Bea cukai seharusnya dapat menempatkan diri di 2 posisi. Bea cukai harus dapat berlaku tidak hanya sebagai pemanen buah, tapi juga sebagai penanam pohon. Karena bila berpandangan sebagai pemanen buah, maka akan muncul fenomena pohon buah yang mati. 
.
Bea cukai juga harus mempunyai paradigma sebagai penanam pohon. Paradigma untuk menumbuhkembangkan pohon yang sehat, tidak ada hama, daunnya lebat, akarnya kuat sehingga menyerap air dan mencegah banjir, hingga di-generate sebagai revenue
.
Proses menjadi lebih penting dibandingkan produk, meskipun sebagai bagian Kemenkeu, output juga tetap menjadi perhatian. Namun demikian menumbuhkembangkan sebuah pohon itu jauh lebih penting. Terkadang saat menanam pohon, orang tidak lagi memikirkan siapa yang nanti mendapatkan manfaat dari pohon tersebut. Karena menanam pohon bukan semata-mata untuk dirinya, melainkan untuk dapat dinikmati anak cucunya.
.
Penanam pohon memilih betul jenis bibitnya, merawat dan mengairinya, memberi pupuk, serta menghalau hama. Hal itu dilakukan agar pohon dapat tumbuh lebat dan berbuah banyak. Sehingga datang investasi, industri dan perdagangan menjadi maju, lapangan kerja tersedia, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
.
Proses tadi tentunya tidak dapat dilakukan sendiri, sehingga perubahan cara pandang dari sama-sama bekerja menjadi bekerja sama mutlak diperlukan. Bea cukai telah memulai merubah paradigmanya, dari sebagai pemetik buah menjadi penanam pohon. Perubahan itu diharapkan dapat menjawab tantangan Bea cukai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
.

Konsep Joint Program
.
Cara kerja sendiri-sendiri, dengan mindset ‘yang penting kerjaan selesai’ sudah tidak bisa diterapkan di era revolusi industri 4.0 ini. Masing-masing pihak harus bisa bersinergi atau ‘take and give’, peduli satu sama lain. Berangkat dari kerangka inilah ‘Joint Program’ dibuat. Bea cukai memulai langkah itu dengan pencanangan program penguatan reformasi kepabeanan dan cukai (PRKC).
.
Dalam PRKC, implementasi Joint Program dimulai dengan bersinergi bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sinergi bersama DJP selama 2 tahun terakhir berhasil melewati target yang diamanatkan dengan capaian Rp3 triliun (Rp1,9 triliun) pada tahun 2017 dan Rp23 triliun (Rp20 triliun) pada tahun 2018. Sedangkan target joint program DJP-DJBC tahun 2019 meningkat menjadi Rp50 triliun.
.
Mempertimbangkan target yang terus meningkat, Direktur Jenderal Bea Cukai pun melakukan konsultasi bersama Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu. Bea cukai secara simultan juga melakukan sinergi bersama instansi-instansi di luar lingkungan Kemenkeu, seperti program penertiban impor berisiko tinggi (PIBT) yang dideklarasikan pada tanggal 12 Juli 2017. Pada program itu, Bea cukai bersinergi dengan Kejaksaan, TNI-Polri, KPK, hingga PPATK.
.

Bea cukai sadar bahwa tidak mungkin melakukan penertiban tanpa kerjasama dengan instansi lain, bahkan dengan instansi yang nature businessnya bukan penerimaan. Hal itu dilakukan karena lingkungan strategis yang kondusif sangat penting pada pelaksanaan dan kesuksesan program PIBT tersebut. 
.
Program sinergi atau Joint Program di lingkungan Kemenkeu yang terdiri dari DJP, DJBC, dan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), perlu penyamaan langkah atau harmonisasi. Ketiga instansi tersebut harus mempunyai kesamaan pandangan:
1.         Tujuan dari Joint Program adalah kepatuhan atau compliance, bukan melulu pencapaian target. 

Pengalaman pelaksanaan Joint Program DJP-DJBC 2 tahun terakhir, saat pengguna jasa patuh maka target penerimaan akan mengikuti dengan sendirinya. Target compliance adalah bagaimana para wajib pajak memenuhi ketentuan perpajakan, ketentuan keuangan (PNBP), dan kepabeanan cukai. Bila dianalogikan sebagai siswa, maka Joint Program harus memastikan mereka masuk ke dalam kelas. Dalam proses itu disiapkan 2 skema pelaksanaan. Pertama diberikan insentif setelah patuh. Kedua diberikan hukuman atau disinsentif, kepada yang masih melanggar aturan.
2.         Kesamaan sasaran.
Sasaran diistilahkan dengan wajib bayar (WB) high risk. Dalam konteks kepabeanan, Bea cukai menyebutnya importir berisiko tinggi (IBT). WB high risk ditargetkan untuk masuk kelas, atau menjadi patuh. Hal dimaksudkan agar tidak ada lagi istilah ‘berburu di kebun binatang’ atau mengandalkan penerimaan dari obyek relatif patuh atau itu-itu saja. Karena hasilnya tidak besar, namun membuat gaduh karena terkadang dibarengi oleh abuse of power. 
.
Basis dari pelaksanaan Joint Program adalah PIBT yang merupakan bagian dari program PRKC. Dikarenakan Joint Program ini melibatkan instansi DJP dan DJA, maka disesuaikan menjadi Penertiban Wajib Bayar Berisiko Tinggi (PWBBT).
.
Pencapaian sasaran Joint Program diimplementasikan dalam bentuk:
1.       Joint System yang terdiri dari Joint Proses Bisnis, Joint Data, dan Secondment;
2.       Joint Operasional, yang terdiri dari Joint Analisis, Joint Audit, Joint Investigasi, dan Joint Collection.
.
Pelaksanaan Joint Program
.
Pelaksanaan Joint System dan Joint Operational, dilakukan dalam tahap-tahap yang berkelanjutan (siklus), meliputi:
1.       Identifikasi dan Pemetaan.
Harus ada kriteria yang pasti, jangan sampai seperti dokter yang membuat resep tanpa diagnosis. Definisi berisiko tinggi pada program PWBBT harus mempunyai kriteria yang pasti dan detil, sehingga dapat terbentuk kesamaan persepsi.
Contohnya kriteria berisiko tinggi ada pada nilai pabean, tarif, harga dasar, prosedur, atau bahkan personalnya.
2.       Strategi dan Program.
Contoh pada PIBT, Bea cukai menyusun beberapa inisiatif strategis (IS) yang totalnya mencapai 19 buah. IS tersebut mencakup fungsi penerimaan, pelayanan dan fasilitasi, pengawasan, hingga kultur organisasi.
3.       Diseminasi dan Konsolidasi.
Pemahaman program hingga ke bawah, harus tersampaikan sempurna. Kantor vertikal yang banyak dan tersebar di seluruh nusantara, menjadi tantangan tersendiri. Pemahaman program juga harus memperhatikan keunikan masing-masing daerah atau kearifan lokal.
4.       Implementasi dan Asistensi.
Pelaksanaan yang baik ditahap sebelumnya, bisa membuat implementasi program terlaksana sempurna. Peran Itjen dan Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) diperlukan dalam memonitor pelaksanaan program.
5.       Monitoring Evaluasi dan Rekomendasi.
.
Sebagai sebuah program besar dan relatif terobosan, tentu tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan. Tahap ini diharapkan dapat menemukan celah tersebut dan menjadikannya sebagai masukan perbaikan di masa depan.
.


Ruang lingkup Joint Program telah berkembang, kini meliputi DJP-DJBC-DJA. Ketiga instansi tersebut saat ini sudah mempunyai basis data, seperti Bea cukai dengan Ciesa, DJP dengan Core Tax, dan DJA dengan Simfoni. Pada Joint Program, diharapkan ketiga basis data tersebut akan dapat diharmonisasikan dalam bentuk Joint Data. Harmonisasi atau konektivitas data dilakukan agar Joint Program berjalan efektif. 
.
Kondisi data yang tidak terhubung satu sama lain, dikhawatirkan mengakibatkan perbedaan perlakuan WB, antara satu instansi dengan yang lain. Jangan sampai WB disediakan karpet merah di satu sisi, namun di sisi lain mendapatkan jalur merah. Atau sebaliknya, di satu sisi mendapatkan jalur hijau, namun di sisi lain diseret ke meja hijau.
.
Konektivitas data sebenarnya sudah mulai berjalan sejak beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, efektivitas serta output yang dihasilkan belum maksimal. Hal itu disebabkan karena masing-masing instansi belum mempunyai kapasitas untuk mengolahnya. Data perpajakan dari DJP untuk Bea cukai belum tentu dapat diolah maksimal, begitu pula sebaliknya. Bahkan ketidaktahuan pengolahan data bisa mengakibatkan perbedaan persepsi, yang menimbulkan perbedaan perlakuan (jalur merah vs karpet merah).
.
Menghindari hal itu, maka Joint Proses Bisnis (Probis) harus dilakukan sebelum Joint Data. Diharapkan Joint Probis menghasilkan suatu proses bisnis yang mapan dan baku. Bea cukai saat ini tengah mengembangkan dan mencoba membangun sistem yang dinamakan ‘Smart Customs’. Sistem tersebut mengintegrasikan informasi, fungsi, dan kepentingan baik internal maupun eksternal. Alhasil, sebagian proses pada Smart Customs, dapat menjadi bagian pada program Joint Data. 

.

Joint Data yang basisnya adalah kesisteman, kemudian dilanjutkan secara operasional dengan:
1.       Joint Analysis
2.       Joint Audit
3.       Joint Collection, dan
4.       Joint Investigation
.
Joint Analysis berfungsi menentukan kriteria WB yang merupakan berisiko tinggi atau sebaliknya. Penentuannya tidak menitikberatkan pada entitas, melainkan lebih kepada perilaku terutama yang tidak biasa/normal. Penilaian perilaku tersebut dilakukan dengan membangun alert system yang disebut Automate Monitoring Tool (AMT). 
.
Sistem tersebut bekerja sesuai parameter yang sudah ditentukan, untuk kemudian meneliti dan mengidentifikasi WB. Namun demikian, AMT masih perlu back up dengan pendekatan intelijen oleh unit pengawasan agar lebih optimal. Harapannya, alert system akan mendapat tambahan informasi dari DJP dan DJA, sehingga dapat bekerja maksimal.
.
Informasi dari Joint Analysis selanjutnya akan dilakukan penanganan awal dalam kerangka Joint Program atau secara mandiri. Penanganan awal sendiri adalah penciptaan prakondisi dalam rangka proses tindak lanjut Joint Analysis, sehingga dapat diselesaikan optimal. Contohnya adalah pemblokiran oleh DJBC terhadap importir, karena terindikasi belum melaporkan SPT meski telah memenuhi kewajiban impor.
.
Tindakan pada penanganan awal akan memudahkan proses berikutnya. Bila menggunakan pendekatan fiscal recovery, maka dilanjutkan dengan Joint Audit. Opsi Joint Collection, dilaksanakan apabila diputuskan melakukan penagihan. Namun apabila masuk ranah pidana, maka dilakukan penegakan hukum atau enforcement melalui Multidoor Investigation System (MIS) pada Joint Investigation.  
.
Dalam rangka menjamin terlaksananya Joint Program, maka diperlukan monitoring dan evaluasi (monev). Peran monev tersebut dilakukan oleh Itjen, Komwasjak, bahkan Unit Pengendalian Internal (UKI). Bea cukai juga mendorong program Secondment di internal Kemenkeu. Program Secondment tersebut dilakukan dengan cara:
1.       Sharing informasi;
2.       Penempatan sementara (mediasi);
3.       Asistensi pemahaman proses bisnis.
.
DJBC yakin, bahwa Joint Program DJP-DJA-DJBC baru memasuki tahap (sangat) awal dan masih perlu penyempurnaan di beberapa tahapannya. Sehingga kemungkinan penyesuaian masih akan terjadi, terutama setelah mendapatkan masukan dari DJP atau DJA, bahkan unit pengawasan Kemenkeu.
.
wallahu a'lam
   
#beacukai
#jointprogram
#reformasibeacukai
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...