Rabu, 27 Maret 2019

Berharap pada Ekspor yang mulai Gempor


Defisit Terburuk

Menggenjot ekspor, adalah target utama negara saat ini. Neraca perdagangan (NP) yang menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) hingga bulan Februari 2019 masih defisit mencapai USD0,73 miliar dolar. Padahal pada tahun 2018 sendiri, defisit NP Indonesia sudah menjadi yang terburuk dalam sejarah yaitu minus USD8,57 miliar.
.
Menggenjot ekspor tentu bukan urusan mudah, karena berkaitan erat dengan kapasitas produksi dalam negeri dan negara mitra. Komoditas ekspor nasional masih setia dengan komoditas primer alias minim value added. Sedangkan saat ini harga komoditas primer terus mengalami tekanan. Terbukti dengan indeks harga komoditas ekspor Indonesia (IHKEI) secara total masih negatif yakni per 1 Maret 2019 masih -0,6.
.
Mitra dagang (konvensional) saat ini juga dalam kondisi yang memprihatinkan. Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), sebagai 2 negara tujuan utama ekspor Indonesia masih bergulat satu sama lain. Imbasnya keduanya mulai mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. 
.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi AS melambat dari semula 2,8 persen menjadi 2,5 persen. Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Service, juga memprediksi perlambatan ekonomi Tiongkok yang hanya di level 6 persen. Imbasnya tentu ekspor nasional ke kedua negara tersebut menjadi tersendat.
.
Indikator Ekonomi Eksternal

AS sebagai ekonomi terbesar dunia saat ini juga sedang dibayangi resesi. Kekhawatiran berasal dari keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga acuannya di rentang 2,25-2,5 persen. Seharusnya keputusan itu menjadi berkah karena tentu para investor akan mencari aset-aset di luar AS, salah satunya Indonesia. 
.
Akan tetapi, saat ini yield obligasi pemerintah AS dengan tenor 3 bulan (2,45 persen) lebih tinggi daripada tenor 10 tahun (2,43 persen). Kondisi dimana yield tenor pendek yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang atau inversi, kerap kali dijadikan indikasi bahwa resesi akan terjadi paling tidak dalam waktu 18 bulan ke depan. Wah, sepertinya siklus resesi 10 tahunan bisa jadi terbukti.
.
Indikator lain seperti purchasing managers index (PMI) manufaktur menambah terjalnya tantangan ekspor. PMI adalah indikator ekonomi yang menggambarkan keyakinan para manajer di sektor manufaktur. PMI manufaktur AS menurut Markit terpuruk di 52,5 pada periode Maret, atau yang terendah sejak Juni 2017. Tiongkok lebih parah lagi, PMI-nya 49,4 (Desember 2018) atau berada di area terindikasi kontraksi. Kondisi PMI kedua negara tersebut menggambarkan melandainya permintaan dan tekanan pada perekonomiannya. 
.
Bagaimana dengan pasar eropa? Kondisi eropa saat ini belum stabil benar, mengingat kegalauan Inggris terkait wacana ‘brexit’. Pemerintah Inggris akan melakukan voting dalam waktu dekat ini untuk mengambil keputusan. Apakah masih berada dalam ikatan Uni-Eropa atau bercerai.
.
Ulasan beberapa kondisi negara-negara tujuan ekspor (utama) di atas memberi gambaran betapa sulitnya mendorong ekspor nasional. Pemerintah harus berfikir keras bagaimana menyiasati situasi ini. Masalahnya kali ini bukan hanya bagaimana meningkatkan kapasitas produksi maupun nilai tambah komoditas ekspor. Akan tetapi bertambah kusut dengan situasi ekonomi negara mitra dagang yang mulai kisut.
.
Wallhu a’lam.  

#neracaperdagangan
#eksporimpor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...