Kamis, 21 Maret 2019

APBN 2019 dan Dampaknya pada Makro Ekonomi per Februari 2019



Penerimaan Perpajakan
.
Pertumbuhan dari seluruh perpajakan (termasuk bea cukai) hingga Februari 2019 adalah 10 persen. Pertumbuhan tersebut menghasilkan realisasi perpajakan sebesar Rp177,2 triliun atau 9,9 persen dari target APBN tahun 2019. Kinerja ini sedikit melambat bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 13,9 persen. Pertumbuhan tersebut didorong oleh performa PPh Nonmigas dan cukai.
.
PPh Nonmigas mampu tumbuh hingga 13,5 persen atau lebih baik dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2018 dan tahun 2017. Sedangkan penerimaan cukai tumbuh lebih dari 7 kali lipat. Pertumbuhan signifikan cukai tersebut disebabkan dari pergeseran pola pelunasan cukai hasil tembakau (CHT), sebagai dampak implementasi PMK 57 tahun 2017.
.
Penerimaan Pajak
.
Gambaran sekilas penerimaan pajak yang tumbuh salah satunya didorong oleh PPh Nonmigas, mengindikasikan bahwa ekonomi nasional masih menggeliat. Mengapa demikian? Mari dilihat karakter perusahaan yang melakukan restitusi. Perusahaan tersebut adalah industri sawit, pertambangan, industri logam dasar, kendaraan, hingga industri kertas. Industri-industri tersebut rata-rata restitusi dalam rangka melakukan ekspor.
.
Jenis pajak utama juga memberikan sinyal positif ekonomi. PPh 21 yang merupakan pajak karyawan tumbuh 15,7 persen. Hal ini menggambarkan kondisi perekonomian yang kondusif, karena perusahaan masih mampu membayar karyawannya atau menambah jumlah pekerjanya. PPh 21 impor tumbuh melambat tipis 4 persen, seiring kebijakan pengendalian impor. Namun demikian implikasinya terhadap dunia usaha harus dimonitor.
.
PPh OP (Orang Pribadi) sejauh ini tumbuh bagus, yaitu 28,2 persen atau lebih baik dari tahun lalu yang hanya 10,6 persen. Meskipun kontribusi terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan masih kecil (0,5 persen), namun tren ini cukup menggembirakan. Sedang PPh Badan pertumbuhannya (40,4 persen) jauh lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya 7,7 persen.
.
Dengan kinerja perusahaan atau badan, orang pribadi dan karyawan yang tinggi, maka gambaran kondisi perekonomian dari sisi penyerapan ketenagakerjaan cukup menggembirakan. Hal itu konsisten dengan pertumbuhan jumlah laporan SPT yang tumbuh 15,32 persen.
.
PPh 26 tumbuh negatif, sedang PPh Final yang berkaitan dengan simpanan masyarakat di bank tumbuh tipis 3,7 persen. PPN Dalam Negeri kontraksi minus -18,3 persen. Lonjakan restitusi adalah penyebabnya, jadi bukan ketidakkonsistenan dengan PPh. Sedang PPN Impor konsisten dengan PPh Impor yang melambat, akibat dari penurunan kegiatan impor.
.
Pada sisi sektoral, terjadi pertumbuhan yang menarik. Dimana pajak dari industri pengolahan pertumbuhannya negatif. Namun demikian, penurunan ini juga disebabkan oleh lonjakan restitusi (kebijakan percepatan restitusi), terutama PPN dari otomotif, sawit, hingga pertambangan. Alhasil, pajak dari industri pengolahan tidak serta merta ditafsirkan mengalami kontraksi.
.
Sektor perdagangan mengalami perlambatan, karena hanya tumbuh 1,7 persen. Tapi berbeda dengan sektor jasa keuangan, yang tahun lalu kontraksi menjadi tumbuh hingga double digits. Peningkatan ini disebabkan karena kenaikan suku bunga, dan peningkatan profit para penyedia jasa sektor keuangan.
.
Sektor konstruksi dan real estate mengalami kontraksi tipis. Sedang sektor transportasi dan pergudangan tumbuh 27,6 persen, seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital. Sektor pertambangan tumbuh kuat sebesar 30,7 persen, setelah mengalami kontraksi pada periode yang sama tahun lalu.
.
Penerimaan Kepabeanan dan Cukai
.
Penerimaan cukai yang menjadi salah satu pendorong pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun ini, tumbuh signifikan. Hal itu disebabkan oleh normalisasi pola pelunasan cukai hasil tembakau (CHT), implementasi PMK 57 tahun 2017. Pada tahun 2018 lalu, para pabrik rokok (PR), diberikan relaksasi pelunasan hingga ke tahun berikutnya. Sedang sebelumnya pelunasan harus dilakukan di tahun berjalan.
.
Bea masuk (BM) mengalami perlambatan, hal ini diakibatkan oleh penurunan aktifitas impor dan pengaruh pelemahan kurs. Pun demikian dengan penerimaan bea keluar (BK), mengalami penurunan terutama pada perusahaan tambang besar yang sedang melakukan shifting operasinya.
.
Pajak dalam rangka impor (PDRI), seperti PPN Impor dan PPh Impor tumbuh tipis. Bahkan untuk PPN Barang Mewah Impor, kontraksinya cukup dalam (-23,58 persen). Kondisi tersebut bagus bagi pemerintah, dalam upayanya mengendalikan impor untuk memperbaiki neraca perdagangan (NP).
.
Penerimaan Negara Bukan Pajak
.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), realisasinya relatif sama dengan realisasi tahun lalu. Penerimaan PNBP dari sumber daya alam (SDA) turun tipis -1,4 persen). Realisasi harga yang lebih rendah dari asumsi, seperti ICP dan harga batubara acuan (HBA) menjadi penyebabnya.
.
Asumsi ICP adalah USD 70, pada kenyataannya terealisasi di harga USD58,9/barel. Realisasi kurs rupiah juga realisasinya hanya Rp14.300 dari asumsi Rp15.000. Sedang realisasi HBA hanya sebesar USD92,1/ton, padahal tahun lalu mencapai USD98,1/ton. PNBP lainnya, kekayaan negara yang dipisahkan (KND), dan pendapatan badan layanan umum (BLU), kondisinya relatif cukup baik. 
.
Realisasi Belanja
.
Realisasi Belanja Pemerintah Pusat sampai dengan Februari 2019 secara nominal lebih tinggi dari realisasi 2018. Hal ini diakibatkan karena realisasi bantuan sosial (bansos) dari program keluarga harapan (PKH) yang meningkat 2 kali lipat, sesuai yang disampaikan pada APBN tahun 2019. Selain itu juga karena adanya akselerasi pencairan penerima bantuan iuran (PBI) untuk BPJS Kesehatan.
.
Bila dilihat komponennya, belanja pegawai realisasi sebesar Rp57,5 triliun atau 15,1 persen dari target APBN 2019. Jumlah itu hampir sama dengan realisasi tahun lalu, namun karena nominalnya lebih tinggi maka pertumbuhannya naik menjadi 6,2 persen.
.
Belanja barang sudah terealisasi Rp15,2 triliun, tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Belanja modal sedikit lebih kecil dari tahun lalu, karena hanya mencapai Rp4,3 triliun atau negative growth.
Pembayaran utang juga mengalami pertumbuhan negatif. Sedang subsidi tumbuh 19,7 persen, yang disebabkan oleh subsidi BBM dan LPG yang meningkat Rp6,2 triliun atau tumbuh 21,5 persen.
.
Realisasi Pembiayaan
.
Realisasi pembiayaan anggaran hingga 28 Februari 2019 meningkat, antara lain meningkatnya realisasi surat berharga negara (SBN) (neto) sebesar Rp197,1 dibanding tahun lalu yang sebesar Rp49,2 triliun. Hal tersebut disebabkan karena kebijakan prefunding dan rendahnya jatuh tempo SBN.
.
Kesimpulan
.
Secara umum kondisi realisasi APBN tahun 2019 hingga bulan Februari menggambarkan kondisi makro ekonomi nasional yang menunjukkan momentum yang cukup kuat, ditengah pelemahan lingkungan global. Hal itu nampak dari realisasi penerimaan negara, terutama perpajakan dimana PPh mengalami perbaikan, dan PPN yang mampu tumbuh positif meskipun mengalami lonjakan restitusi.
.
Selain itu perbaikan serapan belanja juga turut memperlihatkan kondisi makro ekonomi yang kondusif. Defisit juga masih sesuai dengan yang direncanakan pada APBN 2019. Sehingga denganperforma hingga bulan Februari ini, maka pelaksanaan APBN masih relatif terjaga meskipun beberapa asumsi dasar sedikit bergeser. Penerimaan negara masih diperkiraan tercapai dan belanja sesuai target, serta pembiayaan yang masih relatif terkendali.  
.
wallahu a'lam 

#APBN2019
#makroekonomi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...