Tidak terasa
tahun 2018 sudah memasuki fase semester pertama, tentunya capaian-capaian dan
kinerja yang telah dilakukan selama setengah tahun ini sudah sedikit banyak bisa
menggambarkan performa sebuah institusi. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang
merupakan salah satu institusi di bawah Kementerian Keuangan, mempunyai peranan
yang cukup penting dalam menggerakkan roda perekonomian negara terutama dalam
mengumpulkan penerimaan negara sesuai dengan salah satu fungsinya yaitu ‘revenue collector’.
Kinerja penerimaan DJBC dalam Semester I
tahun 2018, mencatatkan pertumbuhan tertinggi dalam tiga tahun terakhir yaitu 16,66 persen. Perdagangan internasional yang membaik dan
perbaikan kebijakan kepabeanan dan cukai, seperti penertiban impor berisiko
tinggi (PIBT) dan penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT) yang merupakan salah
satu program reformasi kepabeanan dan cukai (PRKC), ikut andil pada capaian
tersebut.
Penerimaan
kepabeanan dan cukai sepanjang Semester I tahun 2018 mencapai Rp71,95 triliun
atau 37,07 persen dari targetnya dalam APBN tahun 2018. Pertumbuhan positif
tersebut terdapat pada semua komponen penerimaannya, seperti bea masuk (BM),
bea keluar (BK) maupun cukai. Hal tersebut disebabkan oleh kebijakan tarif yang
efektif, membaiknya aktifitas ekspor impor, serta peningkatan harga komoditas di
pasar global.
Tren positif juga terjadi pada komponen penerimaan pajak
dalam rangka impor (PDRI) yang terdiri dari PPN Impor, PPn BM Impor, dan PPh
Pasal 22 Impor. Hingga akhir Juni 2018 total PDRI yang dihimpun DJBC sebesar Rp112,96
triliun, tumbuh 24,64 persen (yoy). Secara
total, jumlah penerimaan negara yang dihimpun DJBC sepanjang Semester I tahun
2018 adalah Rp184,92 triliun, tumbuh 21,41 persen dibanding capaian periode
serupa tahun lalu. Capaian penerimaan tersebut membuat DJBC berkontribusi
sekitar 30 persen dalam penerimaan perpajakan dan sekitar 23 persen dalam total
penerimaan pendapatan negara.
Komponen penerimaan
BM pada Semester I tahun 2018 telah mencapai Rp17,71 triliun atau 49,61 persen
dari target APBN 2018. Realisasi penerimaan BM tersebut, mengungguli realisasi
penerimaan BM pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp2,03 triliun. Pertumbuhan penerimaan BM sendiri sepanjang
Semester I tahun 2018 adalah 12,98 persen, merupakan yang
tertinggi bila dibandingkan pertumbuhan penerimaan BM dalam 3 tahun terakhir.
Penerimaan BM
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Salah satu faktor positif pendorong peningkatan penerimaan BM adalah
pertumbuhan devisa impor, yang merupakan imbas dari peningkatan aktifitas impor.
Devisa impor sepanjang Semester I tahun 2018 mencapai Rp87,47 triliun atau
tumbuh 8,35 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Aktifitas impor tersebut
didominasi oleh impor Bahan Baku/ Penolong dan Barang Modal, yang tumbuh masing-masing
sebesar 70,14 persen dan 17,42 persen. Hal ini mengindikasikan bergairahnya
aktifitas produksi nasional baik untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan barang
secara domestik maupun ekspor. Dari sisi sektor industri, industri pengolahan berkontribusi
terbesar pada devisa impor sebesar 87,95 persen dan mengalami pertumbuhan 7,05
persen. Bergairahnya aktifitas produksi dalam negeri tersebut memberikan
indikasi adanya ruang bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Adapun faktor
yang menekan pertumbuhan penerimaan BM adalah meningkatnya utilisasi Free Trade Agreement (FTA). Hal ini
menyebabkan banyak importasi yang mendapatkan tarif preferensial (tarif lebih
rendah maupun menjadi 0 persen), sehingga memberi pengaruh negatif terhadap
penerimaan BM.
Di sisi institusional,
kebijakan reformasi dibidang kepabeanan dan cukai turut memberikan kontribusi
positif terhadap peningkatan penerimaan negara dibidang impor. Program PIBT
yang digulirkan pada tanggal 12 Juli 2017, mampu mendorong peningkatan taxbase impor berisiko tinggi (IBT)
sebesar 59,68 persen. DJBC berusaha untuk terus menjaga momen perbaikan
kepatuhan ini dan terus dilanjutkan dalam rangka optimalisasi penerimaan negara.
Salah satu upayanya adalah dengan melakukan joint
program peningkatan pelayanan dan pengawasan bersama Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).
Perdagangan global yang mulai pulih dengan
ditandai membaiknya harga komoditas di pasaran dunia, berpengaruh positif
terhadap penerimaan bea keluar (BK). Ekspor komoditas minerba yang tumbuh
signifikan sebesar 181,46 persen, menjadi kontributor utama penerimaan BK yang
mencapai Rp3,28 triliun atau 109,41 persen dari target APBN 2018. Pertumbuhan
ekspor komoditas minerba tersebut tidak terlepas dari pengaruh tren membaiknya
harga komoditas di pasar internasional dan meningkatnya permintaan di
negara-negara tujuan utama.
Kelancaran
pemberian ijin/kuota ekspor komoditas (minerba) dan minimnya kendala dalam
penyediaan pasokan (supply disruption)
komoditas ekspor minerba di situs tambang juga memberikan andil positif
terhadap peningkatan kinerja ekspor minerba sejak awal Semester I tahun 2018.
Kinerja positif dalam aspek fundamental tersebut secara keseluruhan mendorong
pertumbuhan penerimaan BK secara signifikan sebesar 93,75 persen.
Aktifitas ekspor
juga mengalami pertumbuhan sebesar 4 persen, dengan ekspor nonmigas yang masih
mendominasi sebesar 90,36 persen. Sektor manufaktur memberikan kontribusi terbesar
pada ekspor nonmigas yaitu 74,94 persen atau tumbuh 4 persen dibandingkan
periode serupa tahun lalu, dengan kinerja industri besi dan baja dasar sebagai
kontributor utamanya.
Kebijakan cukai yang tepat dan efektif
mampu meningkatkan pendapatan cukai yang hingga Semester I tahun 2018
mencapai Rp50,96 triliun atau tumbuh 15,02 persen dibandingkan periode yang
sama tahun lalu. Capaian pendapatan cukai juga merupakan yang tertinggi dalam
tiga tahun terakhir. Penerimaan cukai masih didominasi oleh cukai hasil tembakau
(CHT), disusul kemudian oleh minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil
alkohol (EA).
Penerapan
kebijakan peningkatan tarif cukai hasil tembakau (CHT) melalui
PMK-146/PMK.010/2017 di tahun 2018, telah mampu meningkatkan capaian penerimaan
CHT yang pada Semester I tahun 2018 mencapai Rp48,50 triliun atau tumbuh 32,79
persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kebijakan
peningkatan tarif cukai tersebut didasarkan atas upaya pengendalian konsumsi rokok
guna meningkatkan kesehatan masyarakat dengan tetap memperhitungkan aspek
penyerapan tenaga kerja pada industri rokok, optimalisasi penerimaan cukai
serta peredaran rokok ilegal.
Kebijakan
reformasi kepabeanan dan cukai juga turut memberikan kontribusi positif
terhadap peningkatan penerimaan cukai. Program penertiban cukai beresiko tinggi
(PCBT) yang digulirkan pada tanggal 12 Juli 2017, telah mendorong penurunan
peredaran rokok ilegal dari 12,1 persen menjadi 7,04 persen (survei P2EB –
UGM).
DJBC terus
berusaha mempertahankan momen perbaikan kepatuhan tersebut, salah satunya
dengan melakukan joint program peningkatan
pelayanan dan pengawasan bersama
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam rangka optimalisasi penerimaan negara.
Bagaimana dengan
proyeksi atau outlook penerimaan DJBC
hingga akhir tahun 2018? Melihat kinerja penerimaan DJBC sepanjang Semester I serta
faktor fundamental yang mempengaruhinya, diperkirakan penerimaan DJBC pada
akhir tahun 2018 akan mampu mencapai target yang dibebankan pada APBN 2018 yaitu
Rp194,10 triliun.
Kinerja penerimaan
DJBC memang masih akan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasional, inflasi,
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar serta kebijakan pemerintah lainnya. Sebagaimana
secara spesifik BM dipengaruhi oleh pertumbuhan devisa impor, utilisasi FTA,
serta kebijakan pemerintah dalam hal impor seperti kuota impor, pembatasan
impor komoditas tertentu dan program PIBT. Namun demikian hal-hal tersebut telah
memperlihatkan sinyal yang menjanjikan sepanjang Semester I tahun 2018, sehingga
penerimaan BM diproyeksikan dapat sesuai target di akhir tahun 2018 nanti.
Bagaimana dengan
penerimaan BK yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor bersifat exogenous seperti kebijakan pemerintah
dalam hal izin ekspor dan kuota ekspor, perkembangan harga komoditas di pasar
internasional, dan kelancaran pasokan komoditas ekspor di situs tambang? Faktor-faktor
pendorong tersebut yang hingga semester I tahun 2018 ternyata memperlihatkan
indikasi yang menjanjikan, sehingga mampu menumbuhkan optimisme pencapaian yang
melebihi target tahun 2018.
Sedang penerimaan
cukai dengan aspek kapasitas produksi, respon terhadap kebijakan penyesuaian tarif
cukai, dan keberhasilan upaya reformatif (PCBT) secara keseluruhan memberikan
pengaruh terhadap kinerja penerimaan di bidang cukai. Pengenaan cukai sendiri
pada dasarnya adalah untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap barang
kena cukai (BKC) yang dianggap memiliki eksternalitas negatif, sehingga cukup
memberikan tantangan tersendiri dalam upaya memaksimalkan penerimaannya. Namun
demikian, dengan kinerja yang lebih keras ditambah kondusifnya aspek-aspek fundamental
cukai maka diperkirakan penerimaan cukai masih dapat mencapai targetnya.
#apbn2018
#kinerjadjbc
#beacukai