Selasa, 19 Desember 2017

Potensi e-commerce Indonesia

Potensi e-commerce Indonesia
Oleh: gatotpriyoharto

Indonesia saat ini menurut e-marketer adalah negara dengan pengguna internet (utamanya smartphone) dengan jumlah yang cukup besar, yaitu 86.6 juta penggunanya. Angka ini meningkat 17.2 juta pengguna bila dibandingkan dengan tahun 2016 atau meningkat 24 persen. Bila dilihat perkembangannya dari 3 tahun kebelakang hingga saat ini, selalu terjadi peningkatan lho. Mulanya biasa saja.... eh kok malah nyanyi, mulanya hanya 38.3 juta pengguna saja di tahun 2014 lalu 52.2 juta pengguna di tahun 2015, kemudian menjadi 69.4 juta pengguna di tahun 2016 hingga akhirnya di tahun 2017 sebesar 86.6 juta pengguna. Dengan fakta tersebut tidak berlebihan tentunya bila Indonesia disebut sebagai“raksasa tekhnologi Asia Tenggara yang sedang tertidur” oleh TechiniAsia yaitu sebuah media teknologi. Kayak Putri Salju aja tertidur.

Kalau kata saya “gelar” itu memang agak mengejutkan bila dibandingkan dengan penetrasi internet Indonesia yang bisa dibilang biasa saja perkembangannya. Kenapa demikian? Karena di level Asia Tenggara saja, peringkat Indonesia versi wearesocial.sg masih dibawah Singapura (no komeng), Malaysia (apalagi) bahkan Vietnam (OMG sambil tepok jidat). Namun demikian dengan sumber daya manusianya yang jauh melebihi Singapura, sangat dimungkinkan potensi Indonesia sangat terbuka lebar. Program KB gagal nih kayaknya, hehehe. Potensi jumlah penduduk tersebut sepertinya sudah disadari oleh para investor ternyata, terbukti dengan pendanaan yang didapat oleh Tokopedia dari Softbank dan Sequoia Capital sebesar Rp. 1.4 T (duit semua itu??).

Pada tahun 2014 menurut survey Globalwebindex, jumlah masyarakat yang membeli sesuatu (tribute to Syahrini) secara online di Indonesia baru sekitar 14 persen dari populasi nasional. Meskipun tidak dipungkiri masih banyak pembelian online dilakukan via komputer pribadi ataupun laptop, bila dilihat di tahun yang sama (2014) pengguna smartphone Indonesia berkisar 38.3 juta pengguna (asumsi pembelian online dilakukan via smartphone), maka pada 2017 dimana pengguna smartphone sudah mencapai 86.6 juta, kebayang kan perkembangan jumlah penduduk Indonesia yang melakukan transaksi secara online.

Transaksi e-commerce secara global pada tahun 2014 masih sekitar USD 1.3 T, namun peningkatan tajam (tidak setajam silet tapi) terjadi seiring bertambah mudahnya akses teknologi dan komunikasi diberbagai belahan dunia. Terbukti hanya dalam kurun waktu 3 tahun saja transaksi global e-commerce pada tahun 2017 telah mencapai hampir 2 kali lipatnya, yaitu USD 2.3 T. Sekedar informasi aja mas bro, transaksi e-commerce Indonesia cukup membanggakan lho, alasannya adalah karena transaksi online Indonesia bisa mengalahkan Malaysia (akhirnya) yang di atas kertas lebih melek teknologi dari kita. Pangsa pasar e-commerce dibandingkan penjualan ritel di Indonesia versi katadata Indonesia sudah 1.2 persen pada tahun 2015, lebih tinggi dibanding Malaysia yang baru 1 persen saja (horeeeee). Peringkat pertama diduduki oleh Tiongkok dengan porsi 13.8 persen. Meskipun begitu, saya pikir Indonesia bisa berkembang jauh lebih besar mengalahkan paling tidak negara-negara se-Asia Tenggara seiring dengan potensi pengguna internet dan smartphone. Hal ini sudah terjadi pada Tiongkok yang pada tahun 2005 mencatatkan hanya 0.4 persen saja transaksi e-commercenya dari transaksi global, jauh dibandingkan Amerika yang sudah 35 persen. Tetapi dalam satu dekade Tiongkok mampu melompat menjadi 42.4 persen melewati Amerika yang hanya 24.1 persen saja (katadataIndonesia).

Saya merasa tidak bermimpi (gak pake basah) bahwa Indonesia bisa berubah menjadi penguasa e-commerce dunia, mengingat lompatan yang terjadi di Tiongkok bukan tidak mungkin dapat dicontoh Indonesia. Faktor pendorong Tiongkok melesat disektor digital  menurut Senior Fellow Mckinsey Global Institute Jeongmin Soeng adalah satu, cepatnya komersialisasi dalam skala besarnya pasar muda, kedua hadirnya raksaksa digital berkapitalisasi besar yang mampu membangun ekosistem secara digital seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent, dan ketiga pemerintah yang memberi ruang bagi pemain ekonomi digital bereksperimen sebelum diberlakukan peraturan resmi. Namun demikian digitalisasi ekonomi bisa berdampak disrupsi.

Optimisme itu muncul karena ketiga faktor penunjang tersebut sebenarnya sudah ada di Indonesia, meskipun dalam skala yang masih relatif kecil (tapi paling tidak ada laaaah). Pertama tentang pasar anak muda yang mendominasi, sesuai survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 bahwa usia pengguna internet adalah direntang 35-44 tahun (29.2%) yang artinya adalah usia produktif. Ditambah lagi perilaku para pengguna internet yang dominan mengunjungi online shop, alhamdulillah berarti sudah banyak yang insyaf....ehh, sebesar 82.2 juta atau 62% dan rata-rata menggunakan smartphonenya untuk berselancar di dunia maya, yaitu 63.1 juta pengguna atau 47.6%.

Kedua adalah telah hadirnya mesin pencari buatan Indonesia seperti findtoyou.com, nowgoogle.com dan geevy. Mesin pencari jodoh kok gak dibikin, wah gak pro jomblo nih. Memang ketiganya masih sangat jauh untuk dibandingkan dengan google yang dipakai oleh 81.8 juta pengguna internet Indonesia sebagai browser utama, karena masih minim sumber daya (meskipun geevy sudah mulai mendapat sokongan investor lokal, RnB Fund). Namun kembali lagi, bila mimpinya adalah seperti apa yang dilakukan Tiongkok maka faktor ketiga yaitu peran pemerintah menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan.

Kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan (sebenarnya bukan hanya di industri e-commerce) adalah kemudahan dalam mendapatkan pendanaan terhadap usaha digital yang kebanyakan adalah UMKM. sebenarnya program pemerintah untuk kemudahan pendanaan saat ini sudah ada, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun demi mimpi kebangkitan ekonomi melalui momen e-commerce ini, tidak ada salahnya pemerintah membuat program pendanaan tersendiri.

Kebijakan lanjutan setelah itu dapat berupa kebijakan fiskal, seperti keringanan atau insentif pajak atas pelaku usaha digital. Logikanya adalah agar para pengusaha digital dapat lebih konsentrasi mengembangkan bisnisnya, hingga nantinya diharapkan berkembang pesat dan dapat memberikan sumbangsih lebih besar kepada negara.

Penyediaan pelatihan menjadi hal penting juga, mungkin saat ini sudah tersebar banyak Balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh Indonesia. Namun saya pribadi belum melihat tingkat efektifitasnya dalam meningkatkan kemampuan masyarakat dalam segi berwirausaha. Menurut saya pemerintah dapat menggunakan jaringan BLK di seluruh Indonesia sebagai kawah candradimuka (jadinya malah Gatot Kaca lagi...hahaha) dalam melatih dan mempersiapkan para usahawan/ti digital menjadi lebih tahan banting (piring kali tahan banting).

Nah kalau sudah begitu bagaimana, percaya atau tidak? Kalau saya sih iyes... kalau kamu....iya, kamu??
#lagiiseng

Tautan bermanfaat:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...