Minggu, 10 Februari 2019

AADC: Ada Apa Dengan bbm - CAD

BBM turun harga

Horeeeee harga bensin turun.... mungkin rasa itu ada dibenak sebagian teman-teman terutama para pengukur jalan. Beberapa hari lalu memang tersiar kabar tentang penurunan bahan bakar minya (BBM) terutama pertamax dan kawan dekatnya. Pemerintah (Pertamina) beralasan penurunan tersebut disebabkan tren menurunnya harga minyak bumi di pasar dunia yang berada dikisaran USD 50-60 per barel, bandingkan dengan asumsi makro APBN 2019 yang sebesar USD 70 per barel.
.
Namun sepertinya juga banyak diantara kita yang melewatkan rilis defisit neraca berjalan atau current account defisit (CAD) kuartal IV tahun 2018 yang melebar menjadi 3,57 persen dari produk domestik bruto (PDB). Saya juga agak kaget mendengarnya, karena kalau tidak salah di kuartal III tahun 2018 masih di bawah 3 persen.
.
Saya sebenarnya mendapat kedua berita tersebut dari rekan kasie di PSMT yang kemudian menanyakan keterkaitan keduanya. Saya mencoba menganalisis keterkaitan keduanya dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas ini. Analisis bermula dari CAD, perlu diketahui bahwa neraca berjalan terbentuk dari neraca visible atau neraca perdagangan (balance of trade) dan neraca invisible. Neraca perdagangan terbentuk dari kegiatan perdagangan barang ekspor-impor, sedang neraca invicible berupa transaksi jasa seperti jasa logistik perkapalan, asuransi dan lain-lain.
.
Kondisi Neraca Perdagangan

Neraca perdagangan nasional tahun 2018 sebagaimana diketahui, defisit sebesar minus USD 8,57 miliar. Defisit tersebut didorong oleh anjloknya kinerja migas nasional yang minus USD 12,4 miliar, meskipun kinerja nonmigas masih surplus sebesar USD 3,87 miliar (versi BPS). Bila ditelisik lebih jauh, defisit migas ternyata sebagian besar disebabkan oleh impor hasil minyak yang defisit hingga minus USD 15,9 miliar, ngeri bukan? Jangan berharap pada perdagangan jasa, karena keadaannya juga tidak lebih baik dari neraca perdagangan.
.
Peran impor migas terutama hasil minyak bumi yang ugal-ugalan mengindikasikannya sebagai faktor utama penyebab CAD. Pemerintah padahal telah menyatakan tidak akan menyubsidi lagi bbm minyak (termasuk premium) menurut PP 191 tahun 2014, kecuali solar dan minyak tanah. Harga pertamax sebelumnya Rp10.200 dan pertalite Rp7.650, sedang premium diharga Rp6.450. Posisi harga tersebut mengakibatkan selisih harga Rp3.750 dengan pertamax dan Rp1.250 dengan pertalite.
.
Disparitas harga tersebut mengakibatkan beralihnya pengguna pertamax dan pertalite ke premium yang relatif terjangkau. Akibatnya permintaan premium otomatis meningkat, yang berdampak penyesuaian kebutuhan impornya. Belum lagi moral hazard yang timbul, yaitu kecenderungan penggunaan yang tidak efektif karena mudah dan murah mendapatkannya.
.
Husnudzan saya adalah, perintah berusaha memperkecil selisih harga premium dan pertamax (turun menjadi Rp9.850) dengan harapan banyak yang kembali mengonsumsi pertamax untuk ranmor (pribadi). Peralihan konsumsi bbm itu dimaksudkan dapat mengerem impor bbm yang mulai blong, dan memberi efek positif pada neraca perdagangan yaitu mengurangi (sedikit) posisi CAD nasional.
.
Mungkin ada juga yang berspekulasi ini bagian dari strategi di tahun politik, yaitu menjawab tudingan rezim yang selalu menaikkan harga bbm. Saya no komeng deh kalau yang ini takuuuuut, hehehe....
.
Urgensi Penurunan
Kalau Saya, dengan pengetahuan yang tidak seberapa, pertamina sebaiknya tidak perlu menyesuaikan harga bbm. Bukannya saya tidak pro rakyat (miskin), karena saat ini sektor riil sudah mengalami keseimbangan (perekonomian) atau telah beradaptasi. Khawatir pada saat harga minyak dunia kembali naik, seiring kondisi geopolitik yang masih gonjang-ganjing, harga bbm dalam negeri kembali disesuaikan (naik). Alhasil, tingkat inflasi bisa jadi ikut terkerek naik akibat sektor riil yang kembali mencari keseimbangan baru.
.
Apalagi pertamina bukan lagi perusahaan (minyak) hulu yang mengandalkan profit dari eksplorasi sumur minyaknya, terbukti dari kemampuan lifting yang terbatas di kisaran 700-750 bph. Pertamina tidak lagi bisa menikmati untung kala harga minyak bumi dunia tinggi, justru menjadi musibah karena terbebani di sektor hilirnya (menanggung selisih harga) karena pemerintah tidak memberi subsidi bbm lagi.
.
Pertamina jelas sudah beda kelas dengan Petronas yang mampu lifting hingga 2 juta bph atau bahkan lebih. Petronas mampu meraup profit maksimal saat terjadi kenaikan harga minyak bumi, karena tidak terbebani hilirnya. Apabila harga tidak disesuaikan maka pertamina dapat memaksimalkan profitnya untuk kemudian menginvestasikannya pada capex (capital expenditure), dengan peremajaan mesin dan mencari sumur minyak baru. Karena beban berat menanggung sektor hilir harus diantisipasi dengan menaikkan kemampuan sektor hulunya. Jangan sampai seperti sapi perahan yang diambil terus susunya, namun hanya diberi makan rumput lapangan, sedih bukan......
.
Wallhu a’lam 

#neracaperdagagan
#CAD
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...