Defeisit Neraca Perdagangan
.
Defisit neraca perdagangan (NP) nasional hingga bulan September 2018 versi Badan Pusat Statistik (BPS) adalah USD 3,8 miliar. Defisit itu disebabkan karena derasnya aktifitas impor yang tidak mampu diimbangi oleh kinerja ekspor. Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pertumbuhan impor hingga bulan September 2018 sebesar 15,01 persen, sedangkan pertumbuhan ekspor hanya mencapai 5,67 persen. Padahal defisit NP jelas membebani neraca transaksi berjalan, yang merupakan salah satu penyebab tidak berdayanya mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat.
.
Defisit neraca perdagangan (NP) nasional hingga bulan September 2018 versi Badan Pusat Statistik (BPS) adalah USD 3,8 miliar. Defisit itu disebabkan karena derasnya aktifitas impor yang tidak mampu diimbangi oleh kinerja ekspor. Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pertumbuhan impor hingga bulan September 2018 sebesar 15,01 persen, sedangkan pertumbuhan ekspor hanya mencapai 5,67 persen. Padahal defisit NP jelas membebani neraca transaksi berjalan, yang merupakan salah satu penyebab tidak berdayanya mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat.
.
Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi kekhawatiran itu, yaitu dengan
menyiapkan strategi pengendalian impor bersamaan dengan upaya mendorong ekspor
dan investasi. Penyesuaian tarif PPh pasal 22 dan kebijakan penggunaan
bio-diesel (B20) sebagai substitusi impor, adalah dua jenis strategi yang telah
dilakukan pemerintah dalam mengantisipasi kinerja impor yang luar biasa ini.
Hasilnya hingga akhir bulan Oktober 2018, kedua kebijakan pengendalian impor
itu telah mampu mengurangi laju impor nasional.
.
NP per bulan September 2018 mengalami surplus sebesar USD 227 juta
menurut BPS, surplus tersebut merupakan yang ketiga sepanjang tahun 2018 ini
setelah sebelumnya terjadi pada bulan Maret dan Juni lalu. Apakah surplus itu
merupakan dampak kebijakan pengendalian impor pemerintah memang masih belum
bisa diambil kesimpulan, meskipun secara month
to month (mtm) impor bulan September 2018 tumbuh negatif sebesar -4,48
persen dibanding bulan Agustus 2018.
.
Penyebab defisit
.
Bila diteliti per sektor berdasarkan data DJBC, sepanjang tahun 2018 sektor nonmigas mengalami surplus sebesar USD 3,53 miliar. Namun demikian surplus tersebut tidak dapat menutupi defisit yang terjadi di sektor migas yang mencapai USD 9,45 miliar.
.
Bila diteliti per sektor berdasarkan data DJBC, sepanjang tahun 2018 sektor nonmigas mengalami surplus sebesar USD 3,53 miliar. Namun demikian surplus tersebut tidak dapat menutupi defisit yang terjadi di sektor migas yang mencapai USD 9,45 miliar.
.
Indonesia telah menjadi importir minyak (net importer) sejak tahun 2003 karena tidak mampu memenuhi kuota
produksi yang ditetapkan OPEC (Organization
of the Petroleum Exporting Countries). Akibatnya Indonesia harus keluar
dari keanggotaan pada tahun 2008. Namun demikian, Indonesia hingga saat ini
masih tetap mengekspor sebagian hasil lifting
minyaknya.
.
Menurut data DJBC hingga bulan September tahun 2018 aktifitas ekspor
migas Indonesia adalah USD 12,09 miliar atau 9 persen dari total ekspor. Fakta
tersebut memunculkan alternatif strategi baru perbaikan defisit NP, yaitu pengenaan
bea keluar (BK) pada komoditas migas (minyak
bumi).
.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada suatu
kesempatan menyatakan bahwa kebutuhan BBM nasional adalah 1,5 juta barel per
hari (bph), dan akan meningkat hingga 2,2 juta bph pada tahun 2020. Padahal kemampuan
produksi dalam negeri (DN) adalah 775 ribu bph, sebagaimana asumsi lifting minyak pada APBN 2019. Akibatnya
negara harus melakukan impor atas kekurangan pasokan itu, padahal hasil lifting minyak tidak semuanya untuk
kebutuhan DN terbukti masih adanya aktifitas ekspor migas.
.
Impor migas hingga bulan September 2018 telah mencapai USD 21,54 miliar,
impor tersebut seharusnya bisa (sedikit) ditutupi oleh migas hasil DN yang
diekspor. Apalagi pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55
tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor, disebutkan
bahwa pengenaan BK terhadap barang ekspor dapat dilakukan salah satunya dengan
tujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan DN.
.
Bahkan pada pasal 3 Peraturan Menteri ESDM nomor 42 tahun 2018 tentang Prioritas
Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan DN, disebutkan bahwa dalam rangka
pemenuhan minyak bumi yang berasal dari DN, kontraktor atau afiliasinya wajib menawarkan
minyak bumi bagiannya kepada PT Pertamina (Persero) dan/atau Badan Usaha Pemegang
Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi.
.
Namun demikian, ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan seperti
kapasitas kilang DN, jenis minyak bumi yang dapat diolah di DN, dan spesifikasi
minyak bumi mana yang akan dikenakan. Pengenaan BK pada Crude Palm Oil (CPO) dan hasil turunannya mungkin dapat dijadikan contoh,
dimana tujuan pengenaannya adalah juga dalam rangka memastikan keamanan pasokan
industri DN.
.
Saat ini, Pertamina mempunyai 6 kilang yang berkapasitas produksi
hingga 900 ribu bph. Menurut Vice
President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito, bahwa kilang
yang dimiliki Pertamina bisa mengelola seluruh jenis minyak yang diproduksi DN.
Kilang Pertamina mampu mengolah minyak dari Afrika yang kualitasnya lebih
rendah, apalagi minyak hasil produksi DN yang berkategori bagus. Alhasil,
seharusnya Pertamina mampu mengolah seluruh hasil lifting minyak bumi DN.
.
strategi pengendalian
.
Strategi pengendalian impor sebelumnya sebenarnya cukup berhasil, namun memang dampaknya kurang maksimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya volume komoditas impor yang dikendalikan. Kebijakan penyesuaian PPh pasal 22 hanya terhadap 1.147 pos tarif, meskipun menurut data DJBC hingga 26 Oktober 2018 telah berhasil menurunkan rata-rata impor hariannya sebesar -38,94 persen. Sedangkan kebijakan bio-diesel (B20) telah berhasil menurunkan rata-rata harian volume impor solar sebesar -32.44 persen. Akan tetapi hanya mempunyai porsi sekitar 20 persen saja dari volume impor BBM.
.
Strategi pengendalian impor sebelumnya sebenarnya cukup berhasil, namun memang dampaknya kurang maksimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya volume komoditas impor yang dikendalikan. Kebijakan penyesuaian PPh pasal 22 hanya terhadap 1.147 pos tarif, meskipun menurut data DJBC hingga 26 Oktober 2018 telah berhasil menurunkan rata-rata impor hariannya sebesar -38,94 persen. Sedangkan kebijakan bio-diesel (B20) telah berhasil menurunkan rata-rata harian volume impor solar sebesar -32.44 persen. Akan tetapi hanya mempunyai porsi sekitar 20 persen saja dari volume impor BBM.
.
Upaya pengenaan BK atas minyak bumi mungkin tidak akan mudah, mengingat
sifat komoditas tersebut yang sangat strategis dan menyangkut kontrak kerja
dengan perusahaan eksplorasi yang rata-rata dari luar negeri. Harus dilakukan
kajian lebih rinci tentang mana lebih menguntungkan, apakah untuk keperluan DN
atau ternyata lebih menguntungkan diekspor. Akan tetapi demi perbaikan defisit
NP opsi pengenaan BK atas ekspor minyak bumi layak menjadi pilihan, mengingat
sifat komoditasnya dan volume yang dikendalikan terbilang signifikan.
.
Wallahu a’lam
#beakeluar
#defisit
#neracaperdagangan
#pengendalianimpor