Tren perbaikan akhir tahun
Tidak terasa
tahun 2020 yang penuh dengan tantangan (cobaan) tinggal menyisakan beberapa
hari lagi, dan kita akan segera memasuki tahun 2021 dengan membawa segudang harapan.
Pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh lini kehidupan di dunia, tidak
terasa juga sudah memasuki kuartal yang ke-empat dengan jumlah kasus dunia yang
mencapai 78.380.027 kasus dan korban meninggal sejumlah 1.724.394 jiwa versi worldometers
per tanggal 23 Desember 2020.
Dampak luar
biasa juga dirasakan pada kinerja perekonomian, dimana ekonomi dunia
diperkirakan melemah hingga -5,2 persen menurut World Bank dan -4,4 persen
versi IMF. Bagaimana dengan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Perkonomian nasional diperkirakan tertekan dikisaran -2,2 hingga -1,7 persen
menurut Kementerian Keuangan, dimana angka worst case-nya serupa
dengan perkiraan versi World Bank. Bila dibandingkan dengan perkiraan
pertumbuhan ekonomi nasional di awal masa sebelum pandemi yang 5,3 persen, maka
merosotnya nyaris 8 persen.
Ada harapan
dan optimisme perbaikan ekonomi tahun depan, terutama ekonomi nasional, yang berangkat
dari membaiknya indikator-indikator makro di penghujung tahun. Purchasing
Managers Index (PMI) manufaktur misalnya, yang merupakan suatu leading
indicator berbasis survei yang menggambarkan seberapa optimis pelaku bisnis
terhadap kondisi perekonomian kedepan. Nilai acuan indeks ini adalah 50, sehingga
bila indeksnya lebih rendah dapat dikatakan sektor manufaktur sedang mengalami
kontraksi dan sebaliknya.
Nilai PMI Indonesia
sempat merosot di titik terendah di bulan Maret lalu, namun bulan November
telah kembali berada di zona ekspansif dengan nilai 50,6. Tren perbaikan
tersebut inline dengan indeks PMI global yang juga telah berada di atas
50, yang didorong oleh ekspansi yang terjadi pada negara-negara maju dan
beberapa negara besar Asia seperti Tiongkok.
Indikator konsumsi
domestik pun mengalami hal serupa, seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK),
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE), dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK),
yang dilaporkan oleh Bank Indonesia (BI) kalau semuanya telah mengalami rebound.
Perlu dingat, bahwa penggerak utama ekonomi nasional dari sisi pengeluaran adalah
konsumsi rumah tangga.
Asa di akhir tahun 2020
Jelang pergantian
tahun, tren perbaikan akhir tahun 2020 seperti memberikan harapan akan
membaiknya kondisi ekonomi tahun depan. Tidak tanggung-tanggung Kementerian
Keuangan memperkirakan ekonomi nasional pada tahun 2021 tumbuh hingga 5 persen,
World Bank pun sependapat meskipun sedikit lebih rendah yaitu 4,4
persen. Beberapa hal menjadi penyebab tumbuhnya optimism menurut JP Morgan
adalah vaksinasi Covid-19, rotation to value, omnibus law, sovereign
wealth fund, hingga perkembangan pesat e-commerce.
Vaksinasi banyak
orang menyebutnya sebagai game of changer dari lesu darahnya ekonomi. Vaksin
diyakini akan menyelesaikan 2 masalah sekaligus yaitu kesehatan dan kepercayaan
masyarakat, menurut Menko Bidang Perekonomian. Apalagi Presiden telah
menyatakan kalau vaksinasi akan diberikan secara gratis kepada masyarakat. Namun
perlu diingat konsekuensi atas penggratisan, yaitu alokasi dana yang
dibutuhkan.
Merujuk harga
satuan vaksin (Sinovac) sebagaimana dilaporkan Pemerintah kepada Dewan
yang Rp211.282 per dosis, maka dibutuhkan sekitar Rp57 Triliun untuk sekitar
270 juta rakyat Indonesia. Bila vaksinasi direncanakan sebanyak 2 kali, maka
total dana yang dibutuhkan nyaris Rp120 Triliun. Padahal arahan Presiden terkait
program vaksinasi gratis, adalah agar tidak merubah asumsi pada APBN 2021 yang
salah satunya adalah defisit anggaran 5,7 persen. Alhasil, vaksinasi akan
mengakibatkan realokasi anggaran terutama belanja yang merupakan driver penggerak
ekonomi.
Rotation
to value atau
kembalinya aliran dana modal asing ke negara berkembang, sudah terjadi di
Indonesia. Hal itu tercermin dari Emerging Markets Bond Index (EMBI) dan
Credit Default Swap (CDS) yang dilaporkan trennya terus menurun oleh
Bank Indonesia pada Tinjauan Keuangan dan Moneter (TKM) edisi bulan Desember 2020.
Sebagaimana diketahui bahwa dana asing mulai keluar di awal pandemi seiring
kepanikan investor saat menyikapi eskalasi Covid-19 di seluruh dunia,
salah satunya dengan melepas aset keuangan dengan mengkonversinya ke dollar AS.
Efek ketersediaan
vaksin, mulai membaiknya mobilitas masyarakat, serta mulai dirasakannya manfaat
stimulus pemerintah pada kegiatan konsumsi dan investasi, cukup meyakinkan para
investor bahwa ketidakpastian sebagaimana terjadi di awal pandemi relatif berkurang
dan trennya terus membaik. Selain itu, efek Biden yang diyakini akan merubah
arah kebijakan ekonomi AS memberi dorongan pada para investor untuk
menggelontorkan dananya ke emerging market termasuk Indonesia.
Omnibus
Law atau
Undang-Undang Cipta Kerja, dipercaya akan memberikan kepastian bagi para investor,
terutama dalam bentuk investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).
Hal ini penting dalam mendorong perbaikan ekonomi terutama dalam rangka upaya
lepas dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau Middle Income Trap. Bila
pendorong ekonomi dari sisi pengeluaran adalah konsumsi masyarakat, maka
pendorong terbesar dari sisi produksi adalah industry atau manufaktur yang
celakanya kinerjanya terus turun dalam 10 tahun terakhir.
Modal asing
yang masuk tentu berbentuk portofolio sifatnya sangat mudah lepas (footloose),
meskipun fundamental ekonominya bagus. Berbeda dengan FDI yang mempunyai efek
multiplier, karena investasinya berbentuk pabrik atau aktifitas industri. Sehingga
pendetilan dari UU Cipta Kerja atau peraturan pelaksanaannya sangat penting
dalam mengaktualisasikan peluang itu. Jangan sampai konsepsi yang sempurna di
Pemerintah Pusat, tidak bisa diterjemahkan dilapangan sehingga hasilnya berbeda
dengan yang diharapkan.
Sovereign
Wealth Fund (SWF) menurut
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah kendaraan finansial negara, yang memiliki
atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan
beragam dengan fungsi untuk stabilisasi ekonomi. Peraturan Pemerintah (PP) terkait
SWF atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) telah dikeluarkan, yaitu PP73 dan
PP74 yang mengatur tentang modal awal dan kelembagaan LPI.
LPI bisa menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi penyediaan dana pembiayaan terutama
dalam rangka pembangunan infrastruktur. LPI sendiri diharapkan mampu mengelola
dana investasi menjadi lebih efektif, sehingga meningkatkan optimalisasi nilai
investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan
berkelanjutan, begitu kata Menko Perekonomian di suatu kesempatan.
Perkembangan
pesat e-commerce di Indonesia diharapkan menjadi lokomotif pemulihan
ekonomi. Transaksi elektronik hingga Kuartal III tahun 2020 menurut BI mencapai
lebih dari 150 juta transaksi, dengan nilai sekitar Rp22 triliun. Kinerja
positif e-commerce tergambar pada performa sektor informasi dan
teknologi, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Kuartal III kemarin
mencapai pertumbuhan tertinggi hingga 10,42 persen.
Kondisi New
Normal telah menjadi faktor utama penggerak ekonomi internet, menggeser
pola ekonomi masyarakat yang merupakan pendorong terbesar ekonomi nasional di
sisi pengeluaran. Kebiasaan baru pola konsumsi masyarakat tersebut diharapkan
terjaga bahkan terus meningkat, mengingat terdapat 5 unicorn di
Indonesia yaitu Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka hingga Ovo.
Menjaga keberlanjutan
momentum key drivers
Perekonomian
yang diperkirakan membaik di tahun depan bukan hanya menurut pemerintah, namun
juga menjadi prediksi lembaga-lembaga dunia. Kabar itu bisa menjadi tambahan energi
positif berupa optimisme dan kepercayaan diri bahwa bangsa ini mampu bangkit. Akan
tetapi prediksi itu harus disikapi dengan strategi-strategi yang dapat
mewujudkan prediksi tersebut.
Realisasi anggaran
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini yang belum maksimal, harus dijadikan
pengalaman berharga untuk program yang sama di tahun 2021. Kelancaran dan
sosialisasi vaksinasi menjadi krusial, mengingat vaksin menjadi kunci utama
kebangkitan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus terus berusaha memaksimalkan
momentum kembalinya modal asing serta investasi ke dalam negeri, dengan
mengaitkannya ke sektor riil terutama Usaha Kecil Menengah (UKM). Terakhir adalah
menyiapkan sarana dan prasarana informasi dan teknologi yang mumpuni, sehingga performa
meyakinkan sektor ini dapat dimaksimalkan.
Wallahu a’lam