Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan lagi
.
Pandemi
Covid-19 yang telah menjalar ke lebih dari 200 negara di seluuh dunia, kini
bukan lagi melulu masalah kesehatan namun telah menjadi ancaman ekonomi. Pun demikian
dengan Indonesia, setelah pemerintah berupaya menanggulangi masalah kesehatan
dan penyebarannya, kini problematika ekonomi sudah mulai membayangi.
.
Pendapatan negara
diperkirakan terkena dampak yang cukup berat, mengingat melemahnya ekonomi
mempengaruhi kemampuan industri dan masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Alhasil, diperkirakan pendapatan negara melorot menjadi Rp1.760
Triliun dari sebelumnya yang diperkirakan Rp2.233 Triliun.
.
Padahal disaat
yang sama, pemerintah harus melakukan upaya penanganan Covid-19 yang berimbas
pada bertambahnya belanja negara. Presiden telah menyatakan bahwa tambahan
belanja yang diperlukan guna penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1
Triliun. Perlu diingat, bahwa pembiayaan anggaran pada APBN Tahun 2020 adalah
Rp307,2 Triliun. Nah dengan mengombinasikan penurunan pendapatan negara,
belanja tambahan, dan anggaran pembiayaan pada APBN 2020, kebayang kan betapa
berat beban pembiayaan negara.
.
Upaya penyelamatan pemerintah
.
Kementerian
Keuangan sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas
moneter, adalah dua lembaga negara yang bertanggung jawab menjaga dan mengelola
stabilitas dan sustainabilitas ekonomi nasional. Alhasil, peran penting
keduanya menjadi harapan bangsa ini dalam upaya melepaskan tekanan yang begitu
kuat pada ekonomi nasional saat ini.
.
Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1
tahun 2020. Salah satu poinnya adalah tindakan antisipasi kemungkinan
melebarnya defisit anggaran menjadi 5,07 persen. Beban pembiayaan yang begitu besar, bahkan
sepertinya terbesar dalam sejarah, bisa dilakukan dalam bentuk pembiayaan
anggaran yang diperlebar. Namun memang kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada biaya atau beban bunga yang
bertambah besar, sebagaimana terjadi pada tahun 1997/1998.
.
Opsi lain adalah
dengan mencetak uang, yang sudah barang tentu berisiko pada tingginya inflasi. Pasti
kita tidak ingin kejadian hiperinflasi di tahun 1965 yang mencapai 600% terulang
lagi kan. Alhasil pemerintah sangat perlu untuk mempertimbangkan seluruh
indikator untuk kemudian mencari policy
mix atau bauran kebijakan, dalam rangka mencari solusi yang dianggap paling
tepat saat ini.
.
Menjaga pasokan dolar
.
Kebijakan
pertama adalah dengan memperlebar pembiayaan melalui issuing bond. Hal itu dilakukan karena selain untuk membiayai defisit
anggaran, pemerintah mempunyai kewajiban
pembayaran utang luar negeri (ULN) dalam bentuk dolar, dan posisi cadangan
devisa BI yang semakin merosot. Logikanya adalah bila pemerintah melakukan ULN,
namun disaat yang sama tidak ada masukan dolar yang memadai, maka otomatis
cadangan devisa tentu berkurang. Belum lagi upaya intervensi yang dilakukan BI
dalam rangka penyelamatan ekonomi beberapa waktu lalu, menekan cadangan devisa hingga
level 124 miliar dolar.
.
Menteri
Keuangan dalam suatu kesempatan menyatakan, bahwa dalam kondisi perekonomian
global yang tidak menentu (volatile)
saat ini, suplai atas dolar menjadi sangat peka. Ekstrimnya adalah kekurangan
rupiah masih bisa diatasi dengan melakukan pencetakan, namun tentu berbeda
dengan dolar. Alhasil, opsi issuing bond pun
menjadi pilihan meskipun dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemilihan waktu
yang tepat sangat penting, bahkan terkadang window-nya
sangat kecil untuk mendapatkan suku bunga yang dirasa masih masuk akal atau reasonable.
.
Cetak uang lebih mudah?
.
Bagaimana dengan
opsi mencetak rupiah, apakah feasible?
Pada dasarnya salah satu wewenang BI adalah melakukan pencetakan uang. Tindakan
mencetak uang dilakukan sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan BI yang lain,
misalnya kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikeluarkan beberapa
waktu lalu. Bahkan kebijakan defisit pembiayaan yang dipenuhi dengan penerbitan
Surat Berharga Negara (SBN), juga berimplikasi pada pencetakan uang.
.
Namun perlu
dipahami bahwa kebijakan BI dalam mencetak uang, mempunyai basis atau underlying. Karena bila BI melakukan
pencetakan uang tanpa ada underlying
atau basisnya, maka dapat dipastikan akan terjadi inflasi yang relatif sulit
dikendalikan. Mudah-mudahan hal itu musykil terjadi, sepanjang BI masih
menjalankan tujuannya yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
.
Jadi anda setuju mana, melebarkan utang atau
mencetak uang……?? Wallahu a’lam