.
Perekonomian dunia mulai mengalami perbaikan pada tahun 2017 yang lalu dimana berhasil tumbuh sebesar 3,8 persen, sedang pada tahun 2018 ini pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai 3,9 persen. Hal tersebut seharusnya berpengaruh baik terhadap perkonomian Indonesia, meskipun hanya sanggup tumbuh 5,1 persen saja pada tahun 2017.
.
Namun demikian pertumbuhan ekonomi global tersebut masih
harus diwaspadai, karena dinamikanya yang tidak merata. Hal ini disebabkan
karena pertumbuhan ekonomi dunia dimotori hanya oleh Amerika Serikat
(AS) yang tahun ini diperkirakan tumbuh 2,8 persen atau lebih tinggi dari tahun
2017 yang hanya 2,3 persen. Sedangkan
negara (maju) lainnya seperti negara di Eropa, Jepang
bahkan Tiongkok rata-rata cenderung tertekan (menurun) pertumbuhannya.
.
Tumbuhnya ekonomi AS ditengarai
disebabkan normalisasi
kebijakan moneter, seperti kenaikan Federal Fund
Rate (FFR) yang mengakibatkan peningkatan imbal hasil di negeri Paman Sam itu. Iming-iming tingginya imbal hasil
itulah yang selanjutnya
mengakibatkan arus modal berbondong-bondong
keluar dari (rata-rata) negara emerging economies ke
AS dan mendorong penguatan nilai tukar
dolar AS.
.
Perekonomian nasional
.
Perekonomian Indonesia sedikit banyak juga terpengaruh kebijakan AS, akan tetapi perekonomian nasional masih akan sanggup tumbuh. Pemerintah telah menegaskan akan berkomitmen untuk terus melakukan penguatan fundamental dan stabilisasi ekonomi. Komitmen tersebut sangat penting karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih dikontribusi permintaan domestik yang berasal dari konsumsi rumah tangga (RT).
.
Perekonomian Indonesia sedikit banyak juga terpengaruh kebijakan AS, akan tetapi perekonomian nasional masih akan sanggup tumbuh. Pemerintah telah menegaskan akan berkomitmen untuk terus melakukan penguatan fundamental dan stabilisasi ekonomi. Komitmen tersebut sangat penting karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih dikontribusi permintaan domestik yang berasal dari konsumsi rumah tangga (RT).
.
Dalam upaya mendorong konsumsi RT, pemerintah nampak masih menggunakan
kebijakan stimulus fiskal, berupa bantuan sosial (bansos) yang jumlahnya
mengalami kenaikan 68 persen pada Triwulan II tahun 2018 ini. Tetapi jangan
lupa, pemerintah juga harus menjaga momen pelaksanaan pemilu karena pesta
demokrasi itu mampu mendorong pertumbuhan konsumsi. Terbukti pada pelaksanaan
pemilu tahun 2009 dan 2014, tidak hanya konsumsi RT saja yang tumbuh namun juga
konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani RT (LNPRT) masing-masing sebesar 24,1
persen dan 22,4 persen pada Pileg, serta 4,7 persen dan 5,8 persen pada
Pilpres.
.
Pemerintah berkali-kali meyakinkan masyarakat kalau
perkonomian nasional masih di kisaran aman, namun apakah
tercermin dalam transaksi berjalannya? Transaksi berjalan nasional sebenarnya defisit
sejak lama, seperti
pada tahun 2016 dan 2017. Pada kedua tahun itu, current account defisit (CAD) masing-masing adalah minus USD 17 miliar dan minus USD 17,3 miliar. Beruntungnya dikedua tahun
itu kondisi CAD masih dapat dibiayai oleh transaksi modal dan finansial yang
berupa investasi langsung atau foreign
direct investment (FDI) dan investasi portofolio, sehingga persentasenya terhadap PDB masih relatif kecil (dibawah 2 persen).
.
Kondisi saat ini, CAD Indonesia persentasenya sudah
berada di kisaran 3 persen terhadap PDB. Situasi ini disebabkan karena
transaksi modal dan finansial tidak sanggup menutup defisit pada transaksi
berjalan dikarenakan tergerusnya investasi portofolio yang disebabkan
tergiurnya para pemilik modal yang mencari imbal balik lebih tinggi (efek FFR).
.
Neraca Perdagangan (NP) yang mengalami defisit dan mulai
kronis menjadi sorotan akhir-akhir ini karena ditengarai menjadi kambing hitam CAD.
Pemerintah menganggap bahwa volume impor yang terlalu deras menjadi akar
masalah dari situasi tersebut. Bagaimana
tidak, sejak awal tahun 2018 ini, nilai impor berada rata-rata di atas
pertumbuhan ekspor. Tercatat hanya 2 kali saja nilai ekspor dapat mengungguli
nilai impor, yaitu di bulan maret dan juni sedang dibulan lainnya impor
merajalela.
.
Kondisi perekonomian nasional
bisa digambarkan situasinya sebagai seseorang yang sedang sakit. Kondisi sakit
itu diketahui dari gejala yang ditimbulkan berupa demam atau panas tinggi. Kondisi
negara saat ini memperlihatkan gejala-gejala (sakit) yang apabila diabaikan berpotensi
mengakibatkan krisis. Beruntung pemerintah sadar dan segera
mengambil tindakan pengobatan terhadap gejala-gejala tadi sambil secara
berkelanjutan mengobati penyakit utamanya yang sudah tentu tidak dapat
dilakukan segera.
.
Situasi ekonomi nasional
.
Penyakit perekonomian nasional adalah kondisi transaksi berjalan yang selalu defisit, namun hal itu tidak dapat disembuhkan dalam waktu yang singkat karena bersifat struktural. Akan tetapi diwaktu yang sama pemerintah harus segera menurunkan demam (gejala) akibat penyakitnya, dalam hal ini defisit neraca perdagangan dimana pertumbuhan impor yang jauh meninggalkan pertumbuhan ekspor.
.
Penyakit perekonomian nasional adalah kondisi transaksi berjalan yang selalu defisit, namun hal itu tidak dapat disembuhkan dalam waktu yang singkat karena bersifat struktural. Akan tetapi diwaktu yang sama pemerintah harus segera menurunkan demam (gejala) akibat penyakitnya, dalam hal ini defisit neraca perdagangan dimana pertumbuhan impor yang jauh meninggalkan pertumbuhan ekspor.
.
Pemerintah mengklaim telah
mempersiapkan obat untuk demam tersebut seperti melalui kebijakan Biodiesel (B-20)
yang dilaksanakan per 1 September 2018, serta menyusul kemudian adalah dengan pengendalian derasnya impor
melalui instrumen Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor.
.
Masuk akal bila pemerintah
memilih untuk mengendalikan arus impor, terutama barang
konsumsi. Hal tersebut didasari bahwa sepanjang semester 1 tahun 2018,
pertumbuhan impor barang konsumsi melejit sebesar 13,59 persen di antara impor
barang produktif lainnya seperti barang modal yang 13,14 persen dan bahan
baku/penolong yang 12,05 persen.
.
Namun demikian, tindakan preventif (pengendalian impor) tersebut bisa dibilang sangat
berani (riskan) mengingat 90 persen lebih aktivitas impor memiliki keterkaitan
dengan industri. Bahkan pada akhir bulan Juli 2018 lalu, pertumbuhan impor yang
12,43 persen, sebanyak 10,64 persennya berasal dari sektor industri pengolahan.
Pertumbuhan sektor industri pengolahan tersebut tentunya termasuk semua
kategori impor BEC.
.
Kemudian, apabila dikatakan bahwa kinerja impor melejit
terlalu tinggi dimana pada bulan
Agustus 2018 ini
nilai devisa impor mencapai USD 16,93
miliar. Padahal apabila dirata-rata kinerja impor bulanan
sepanjang tahun 2018 ini sebesar USD 15,46 miliar, sehingga bisa dikatakan impor pada bulan Agustus 2018 sedikit saja di atas rata-rata.
Karea bila
dibandingkan secara month to month (mtm), kinerja impor Agustus 2018
turun drastis dibanding bulan Juli 2018 yang mencapai USD 18.23 miliar.
.
Walaupun langkah pengendalian impor hanya terhadap impor
barang konsumsi saja, tetap harus menjadi perhatian bahwa industri tidak hanya
mengimpor bahan baku/penolong dalam menjalankan produksinya. Sebagai contoh
pada industri barang logam, yang merupakan salah satu Top 10 Performers industri pengolahan, 23 persen
impornya merupakan barang konsumsi. Industri
mesin bahkan 60 persen impornya berupa barang konsumsi, mengalahkan impor
bahan bakunya yang hanya 35,95 persen.
.
Melihat tingginya ketergantungan terhadap
impor, tidak mengherankan jika keputusan pemerintah untuk mengendalikan impor menarik
perhatian khususnya dunia industri. Beberapa waktu setelah pengumuman kebijakan
itu, tumbuh berbagai spekulasi tentang komoditas-komoditas yang termasuk
dikendalikan.
.
Harus disadari bahwa aktivitas impor merupakan konsekuensi dari tumbuhnya perekonomian suatu negara bahkan inflasi pun juga termasuk di
dalamnya, hanya memang harus terkendali. Kinerja impor Indonesia terus
meningkat sejak tahun 2015, dimana tahun tersebut merupakan pertumbuhan terendah
dalam 6 tahun terakhir.
.
Tercatat
pertumbuhan impor tahun 2015 minus -22,86 persen. Namun kemudian beranjak
membaik menjadi -10,91 persen di tahun 2016, 15,74 persen di tahun 2017 dan 13,40
persen hingga bulan Agustus 2018. Pertumbuhan ekonomi pun
mempunyai tren yang serupa, dimana pada tahun 2015 sebesar 4,79 persen dan
tumbuh menjadi 5,02 persen di tahun 2016, lalu menjadi 5,07 di tahun 2017, dan
5,27 persen hingga kuartal II tahun 2018.
.
Yang ingin Saya sampaikan bahwa pertumbuhan impor adalah
hal yang lumrah bagi suatu negara yang sedang tumbuh ekonominya, yang perlu
dikhawatirkan adalah bagaimana sektor industri dan kinerja ekspornya?
.
Ekspor Indonesia masih didominasi komoditas primer dan
olahan primer. Meskipun ekspor non migas berupa ekspor manufaktur mendominasi
kinerja ekspor, namun produk manufaktur tersebut adalah olahan produk primer,
terbukti pada Top 5 komoditas ekspor manufaktur adalah besi dan baja dasar,
logam dasar mulia, dan bubur kertas.
.
Indonesia harus segera merestruktur produk ekspornya
menjadi produk ekspor yang “benar-benar” barang manufaktur. Hal ini menjadi
penting karena pergeseran struktur industri Tiongkok yang memilih untuk menjadi
pembuat produk “high valued”, harus dapat diambil momentumnya. Bila di atas tadi kita membahas penyakit
ekonomi nasional, maka struktur ekspor juga harus mendapat perhatian ‘pengobatan’
meskipun memerlukan waktu yang tidak sebentar.
.
Semoga obat pereda panas ini benar-benar
hanya treatment sementara, karena itu
adalah pertaruhan yang besar dimana ada risiko inflasi dan perlambatan
pertumbuhan bahkan berpotensi menimbulkan tindakan retaliasi. Harapan kami, jangan
sampai obat panas tadi membuat kita menjadi lupa untuk mengobati penyakit
kanker (negeri ini), atau malah dipakai nyembuhkan kanker….. naudzubillahi
mindzalik.
.
Wallahu a’lam
#ekonominasional
#CAD
#pertumbuhanekonomi
#ekonominasional
#CAD
#pertumbuhanekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar