Kamis, 06 September 2018

Jangan salah minum obat…

Kondisi ekonomi 2018

Perekonomian dunia mulai mengalami perbaikan pada tahun 2017 yang lalu dimana berhasil tumbuh sebesar 3,8 persen, sedang pada tahun 2018 ini pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai 3,9 persen. Hal tersebut seharusnya berpengaruh baik terhadap perkonomian Indonesia, meskipun hanya sanggup tumbuh 5,1 persen saja pada tahun 2017.
.
Namun demikian pertumbuhan ekonomi global tersebut masih harus diwaspadai, karena dinamikanya yang tidak merata. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi dunia dimotori hanya oleh Amerika Serikat (AS) yang tahun ini diperkirakan tumbuh 2,8 persen atau lebih tinggi dari tahun 2017 yang hanya 2,3 persen. Sedangkan negara (maju) lainnya seperti negara di Eropa, Jepang bahkan Tiongkok rata-rata cenderung tertekan (menurun) pertumbuhannya.
.
Tumbuhnya ekonomi AS ditengarai disebabkan normalisasi kebijakan moneter, seperti kenaikan Federal Fund Rate (FFR) yang mengakibatkan peningkatan imbal hasil di negeri Paman Sam itu. Iming-iming tingginya imbal hasil itulah yang selanjutnya mengakibatkan arus modal berbondong-bondong keluar dari (rata-rata) negara emerging economies ke AS dan mendorong penguatan nilai tukar dolar AS.
.
Perekonomian nasional
.
Perekonomian Indonesia sedikit banyak juga terpengaruh kebijakan AS, akan tetapi perekonomian nasional masih akan sanggup tumbuh. Pemerintah telah menegaskan akan berkomitmen untuk terus melakukan penguatan fundamental dan stabilisasi ekonomi. Komitmen tersebut sangat penting karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih dikontribusi permintaan domestik yang berasal dari konsumsi rumah tangga (RT).
.
Dalam upaya mendorong konsumsi RT, pemerintah nampak masih menggunakan kebijakan stimulus fiskal, berupa bantuan sosial (bansos) yang jumlahnya mengalami kenaikan 68 persen pada Triwulan II tahun 2018 ini. Tetapi jangan lupa, pemerintah juga harus menjaga momen pelaksanaan pemilu karena pesta demokrasi itu mampu mendorong pertumbuhan konsumsi. Terbukti pada pelaksanaan pemilu tahun 2009 dan 2014, tidak hanya konsumsi RT saja yang tumbuh namun juga konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani RT (LNPRT) masing-masing sebesar 24,1 persen dan 22,4 persen pada Pileg, serta 4,7 persen dan 5,8 persen pada Pilpres.
.
Pemerintah berkali-kali meyakinkan masyarakat kalau perkonomian nasional masih di kisaran aman, namun apakah tercermin dalam transaksi berjalannya? Transaksi berjalan nasional sebenarnya defisit sejak lama, seperti pada tahun 2016 dan 2017. Pada kedua tahun itu, current account defisit (CAD) masing-masing adalah minus USD 17 miliar dan minus USD 17,3 miliar. Beruntungnya dikedua tahun itu kondisi CAD masih dapat dibiayai oleh transaksi modal dan finansial yang berupa investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) dan investasi portofolio, sehingga persentasenya terhadap PDB masih relatif kecil (dibawah 2 persen).
.
Kondisi saat ini, CAD Indonesia persentasenya sudah berada di kisaran 3 persen terhadap PDB. Situasi ini disebabkan karena transaksi modal dan finansial tidak sanggup menutup defisit pada transaksi berjalan dikarenakan tergerusnya investasi portofolio yang disebabkan tergiurnya para pemilik modal yang mencari imbal balik lebih tinggi (efek FFR).
.
Neraca Perdagangan (NP) yang mengalami defisit dan mulai kronis menjadi sorotan akhir-akhir ini karena ditengarai menjadi kambing hitam CAD. Pemerintah menganggap bahwa volume impor yang terlalu deras menjadi akar masalah dari situasi tersebut.  Bagaimana tidak, sejak awal tahun 2018 ini, nilai impor berada rata-rata di atas pertumbuhan ekspor. Tercatat hanya 2 kali saja nilai ekspor dapat mengungguli nilai impor, yaitu di bulan maret dan juni sedang dibulan lainnya impor merajalela.
.
Kondisi perekonomian nasional bisa digambarkan situasinya sebagai seseorang yang sedang sakit. Kondisi sakit itu diketahui dari gejala yang ditimbulkan berupa demam atau panas tinggi. Kondisi negara saat ini memperlihatkan gejala-gejala (sakit) yang apabila diabaikan berpotensi mengakibatkan krisis.  Beruntung pemerintah sadar dan segera mengambil tindakan pengobatan terhadap gejala-gejala tadi sambil secara berkelanjutan mengobati penyakit utamanya yang sudah tentu tidak dapat dilakukan segera.
.
Situasi ekonomi nasional
.
Penyakit perekonomian nasional adalah kondisi transaksi berjalan yang selalu defisit, namun hal itu tidak dapat disembuhkan dalam waktu yang singkat karena bersifat struktural. Akan tetapi diwaktu yang sama pemerintah harus segera menurunkan demam (gejala) akibat penyakitnya, dalam hal ini defisit neraca perdagangan dimana pertumbuhan impor yang jauh meninggalkan pertumbuhan ekspor.
.
Pemerintah mengklaim telah mempersiapkan obat untuk demam tersebut seperti melalui kebijakan Biodiesel (B-20) yang dilaksanakan per 1 September 2018, serta menyusul kemudian  adalah dengan pengendalian derasnya impor melalui instrumen Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor.
.
Masuk akal bila pemerintah memilih untuk mengendalikan arus impor, terutama barang konsumsi. Hal tersebut didasari bahwa sepanjang semester 1 tahun 2018, pertumbuhan impor barang konsumsi melejit sebesar 13,59 persen di antara impor barang produktif lainnya seperti barang modal yang 13,14 persen dan bahan baku/penolong yang 12,05 persen.
.
Namun demikian, tindakan preventif (pengendalian impor) tersebut bisa dibilang sangat berani (riskan) mengingat 90 persen lebih aktivitas impor memiliki keterkaitan dengan industri. Bahkan pada akhir bulan Juli 2018 lalu, pertumbuhan impor yang 12,43 persen, sebanyak 10,64 persennya berasal dari sektor industri pengolahan. Pertumbuhan sektor industri pengolahan tersebut tentunya termasuk semua kategori impor BEC.
.
Kemudian, apabila dikatakan bahwa kinerja impor melejit terlalu tinggi dimana pada bulan Agustus 2018 ini nilai devisa impor mencapai USD 16,93 miliar. Padahal apabila dirata-rata kinerja impor bulanan sepanjang tahun 2018 ini sebesar USD 15,46 miliar, sehingga bisa dikatakan impor pada bulan Agustus 2018 sedikit saja di atas rata-rata. Karea bila dibandingkan secara month to month (mtm), kinerja impor Agustus 2018 turun drastis dibanding bulan Juli 2018 yang mencapai USD 18.23 miliar.
.
Walaupun langkah pengendalian impor hanya terhadap impor barang konsumsi saja, tetap harus menjadi perhatian bahwa industri tidak hanya mengimpor bahan baku/penolong dalam menjalankan produksinya. Sebagai contoh pada industri barang logam, yang merupakan salah satu Top 10 Performers industri pengolahan, 23 persen impornya merupakan barang konsumsi. Industri mesin bahkan 60 persen impornya berupa barang konsumsi, mengalahkan impor bahan bakunya yang hanya 35,95 persen.
.
Melihat tingginya ketergantungan terhadap impor, tidak mengherankan jika keputusan pemerintah untuk mengendalikan impor menarik perhatian khususnya dunia industri. Beberapa waktu setelah pengumuman kebijakan itu, tumbuh berbagai spekulasi tentang komoditas-komoditas yang termasuk dikendalikan.
.
Harus disadari bahwa aktivitas impor merupakan konsekuensi dari tumbuhnya perekonomian suatu negara bahkan inflasi pun juga termasuk di dalamnya, hanya memang harus terkendali. Kinerja impor Indonesia terus meningkat sejak tahun 2015, dimana tahun tersebut merupakan pertumbuhan terendah dalam 6 tahun terakhir.
.
Tercatat pertumbuhan impor tahun 2015 minus -22,86 persen. Namun kemudian beranjak membaik menjadi -10,91 persen di tahun 2016, 15,74 persen di tahun 2017 dan 13,40 persen hingga bulan Agustus 2018. Pertumbuhan ekonomi pun mempunyai tren yang serupa, dimana pada tahun 2015 sebesar 4,79 persen dan tumbuh menjadi 5,02 persen di tahun 2016, lalu menjadi 5,07 di tahun 2017, dan 5,27 persen hingga kuartal II tahun 2018.
.
Yang ingin Saya sampaikan bahwa pertumbuhan impor adalah hal yang lumrah bagi suatu negara yang sedang tumbuh ekonominya, yang perlu dikhawatirkan adalah bagaimana sektor industri dan kinerja ekspornya?
.
Ekspor Indonesia masih didominasi komoditas primer dan olahan primer. Meskipun ekspor non migas berupa ekspor manufaktur mendominasi kinerja ekspor, namun produk manufaktur tersebut adalah olahan produk primer, terbukti pada Top 5 komoditas ekspor manufaktur adalah besi dan baja dasar, logam dasar mulia, dan bubur kertas.
.
Indonesia harus segera merestruktur produk ekspornya menjadi produk ekspor yang “benar-benar” barang manufaktur. Hal ini menjadi penting karena pergeseran struktur industri Tiongkok yang memilih untuk menjadi pembuat produk “high valued”, harus dapat diambil momentumnya. Bila di atas tadi kita membahas penyakit ekonomi nasional, maka struktur ekspor juga harus mendapat perhatian ‘pengobatan’ meskipun memerlukan waktu yang tidak sebentar.
.
Semoga obat pereda panas ini benar-benar hanya treatment sementara, karena itu adalah pertaruhan yang besar dimana ada risiko inflasi dan perlambatan pertumbuhan bahkan berpotensi menimbulkan tindakan retaliasi. Harapan kami, jangan sampai obat panas tadi membuat kita menjadi lupa untuk mengobati penyakit kanker (negeri ini), atau malah dipakai nyembuhkan kanker….. naudzubillahi mindzalik.
.
Wallahu a’lam

#ekonominasional
#CAD
#pertumbuhanekonomi
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stop Import, The Dream That (never) Comes True

President Joko Widodo ordered to echo hatred for foreign products when he opened the 2021 Ministry of Trade meeting. Mr. President also want...