Kondisi sama pernah terjadi
Tidak terasa sudah sekitar setengah tahun, pandemi Covid-19 meluluh lantakan tatanan kehidupan negeri ini. Pemilihan kata yang lebay memang, tapi mungkin cukup menggambarkan betapa situasi ini memaksa manusia untuk merubah cara hidup yang dulu dianggap normal. Bagaimana tidak, dulu orang dianggap malas atau tidak produktif bila selalu berada di rumahnya. Tapi sekarang, pemerintah bahkan mewajibkan perkantoran untuk dapat beraktifitas dari kediamannya masing-masing.
Bagaimana dengan ekonomi, setali tiga uang ternyata. Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN 2021 menyatakan bahwa bila melihat total negara terpapar yang lebih dari 216 negara dengan jumlah kasus 33,2 juta dan korban jiwa mencapai 1 juta orang (worldometer), maka ketidakpastian global diperkirakan masih tinggi sehingga memberi risiko pada perekonomian.
Sebenarnya kondisi yang (nyaris) sama pernah terjadi di awal abad 19 lalu, tepatnya pada tahun 1918 hingga 1919. Saat itu virus pernafasan yang disebut sebagai Flu Spanyol atau Spanish Flu menyerang banyak negara dengan korban jiwa yang diperkirakan mencapai 50 juta orang di seluruh dunia, atau lebih banyak dari korban tewas Perang Dunia I menurut BBC World Service.
Tidak seperti Covid-19 yang rentan terhadap orang berusia lanjut, Flu Spanyol cenderung memakan korban berusia 20-an hingga 30-an yang merupakan usia produktif. Tapi kebijakan dalam menghadapi ancamannya dilakukan dengan cara yang sama seperti saat ini, seperti menjaga jarak sosial termasuk menutup sekolah dan rumah ibadah, melarang pertemuan massal, mengenakan makser dan pembatasan lainnya. Alhasil, perekonomian pun mengalami kerugian atau tekanan yang hebat.
Dampak ekonomi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa korban jiwa Covid-19 (per September 2020) tidak sebanyak korban Flu Spanyol. Namun demikian dampak ekonomi Covid-19 diyakini lebih hebat dibanding Flu Spanyol. Data World Bank menunjukkan bahwa tahun 2019 lalu pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 2,47 persen, sedangkan proyeksi pertumbuhan tahun 2020 adalah -5,2 persen. Penurunan tajam itu memperlihatkan kontraksi ekonomi yang diakibatkan hampir mencapai 9 persen.
Dampak ekonomi Flu Spanyol menurut RJ Barro, JF Ursua, dan J Weng pada paper-nya yang berjudul "The Coronavirus and the Great Influenza Pandemic: Lessons from the "Spanish Flu" for the Coronavirus's Potential Effects on Mortality and Economic Activity”, adalah sekitar 6 persen. Angka itu didapat dengan menerjemahkan tingkat kematian saat itu (2,1 persen dari total populasi pada 1918-1920) menjadi sekitar 150 juta kematian di seluruh dunia pada populasi dunia yang sekitar 7,5 miliar pada tahun 2020.
Mengapa Flu Spanyol tekanan ekonominya lebih besar? Menurut Noah Smith dari Stony Brook University, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan perbedaan dampak ekonomi antara keduanya. Pertama adalah perbedaan struktur ekonomi, kemudian Perang Dunia I, lalu jangkauan komunikasi, hingga varian opportunity cost.
Kebijakan me-lockdown daerah atau bahkan satu negara, dilakukan pada pandemi Covid-19. Kebijakan yang merupakan upaya meminimalisir penyebaran virus tersebut, melarang segala kegiatan atau interaksi di dalam maupun ke luar. Akibatnya adalah ekonomi ritel terutama sektor jasa terpukul hebat. Padahal saat ini sekitar 86 persen tenaga kerja atau ekonomi dunia bergerak di sektor jasa, bandingkan dengan saat Flu Spanyol yang diperkirakan tidak sampai 50 persen.
Perang Dunia (PD) I yang berlangsung antara tahun 2014 hingga 2018 (versi Wikipedia), tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu pendorong ekonomi terutama sektor industri atau manufaktur. Saat PD I, negara atau pemerintah masih memberikan pengaruh yang luar biasa pada industri terutama industri peralatan perang guna memenuhi kebutuhan perangnya. Di satu sisi mungkin mengakibatkan wabah menjadi lebih buruk, namun efeknya yang mampu mengurangi tekanan pada ekonomi tidak bisa diabaikan.
Faktor komunikasi juga memberi pengaruh yang cukup signifikan, mengingat terdapat perbedaan tingkat kemudahan mengakses informasi. Saat ini, semua orang dari semua kelas sosial dapat menemukan semua informasi yang mereka butuhkan tentang virus corona melalui ponsel atau televisi. Bandingkan hal yang sama pada tahun 1918 lalu, jangankan internet dan televisi, sekedar berita di koran pun aksesnya tidak mudah. Alhasil, kesadaran dan pengetahuan akan bahaya wabah tidak tersebar, sehingga orang masih (berani) berinteraksi dan melakukan kegiatan ekonomi (belanja).
Kondisi dunia saat ini jauh lebih modern dibandingkan seabad yang lalu. Perbedaan teknologi hingga gaya hidup, membuat banyak hal-hal baru yang tidak ada dijaman dulu. Kebutuhan akan leisure seperti travelling ke tempat-tempat wisata di luar negeri, atau menonton langsung pertandingan olah raga hingga konser musik, tentu belum se-massive tahun 1918 yang masih harus bergelut dengan kebutuhan pokok. Padahal kebutuhan gaya hidup modern tadi turut mendorong roda perekonomian, sehingga saat terjadi pembatasan aktifitas dampak ekonominya jelas terasa.
Noah Smith juga mengutarakan kemungkinan tekanan ekonomi saat ini yang akan berlangsung lebih lama dibandingkan Flu Spanyol. Hal itu disebabkan karena rantai pasokan dunia yang terputus, padahal keterkaitan antar negara (demand-supply) seluruh dunia saat ini jauh lebih kuat leverage-nya. Bila begini kondisinya, maka pernyataan Menteri Keuangan tentang masih adanya risiko pada perekonomian bisa jadi benar. Karena dengan 4 faktornya Noah Smith tadi, mengakibatkan perekonomian tahun 2020 lebih rentan daripada perekonomian tahun 1918.