"Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara
inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya,” begitu pernyataan
Presiden terpilih saat menyampaikan pidato Visi Indonesia di Sentul beberapa
waktu yang lalu.
.
Investasi memang salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi,
terutama di Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 yang
diasumsikan 5,2 sampai 5,5, masih menjadikan investasi sebagai pendorong yang
dominan, ungkap Menteri Keuangan disela-sela Rapat Komisi XI membahas RAPBN
2020.
.
Kita tahu ada 5 Visi Presiden terpilih,seperti melanjutkan
pembangunan infrastruktur, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), investasi,
reformasi birokrasi, dan APBN tepat sasaran. Dari kelimanya itu, pembangunan
infrastruktur masih menempati posisi atau prioritas pertama Presiden. Alhasil,
investasi sangat penting peranannya dalam mengakomodir Visi pertama.
.
Anggaran pembangunan infrastruktur di dalam 5 tahun
terakhir, trennya selalu naik setiap tahun. Mulai dari tahun 2015 yang sebesar
Rp 256,1 triliun, tahun 2016 menjadi Rp 269,1 triliun. Kemudian ditahun 2017
bertambah menjadi Rp 388,3 triliun, dan tahun 2018 tumbuh menjadi Rp 410,7
triliun. Angka di tahun 2019 sendiri telah dianggarkan sebesar Rp 415 triliun.
.
Dilihat dari Visinya, Presiden sangat yakin kalau investasi
terutama Penanaman Modal Asing (PMA), selain mendorong pertumbuhan ekonomi juga
akan menyerap banyak lapangan pekerjaan. Namun sebenarnya bila melihat
faktanya, investasi yang meningkat dari tahun ke tahun tidak berpengaruh
signifikan kepada penyediaan lapangan pekerjaan.
.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), paling
tidak dalam 3 tahun terakhir, memperlihatkan bahwa penyerapan tenaga kerja dari
investasi asing semakin turun rasionya. Bila di tahun 2016 dengan nilai
investasi USD 28,96 miliar menyerap 951.939 tenaga kerja, maka di tahun 2017
dengan nilai USD 32,24 miliar malah hanya menyerap 767.352 tenaga kerja. Pada
Triwulan I tahun 2019 juga tidak lebih baik, karena dengan investasi USD 29,31
miliar, hanya 490.368 tenaga kerja yang terserap.
.
Fenomena rasio investasi terhadap tenaga kerja yang terus
turun bisa disebabkan karena beberapa hal. Dalam riset Asian Development Bank (ADB) dinyatakan bahwa perlambatan lapangan
kerja merupakan konsekuensi dari dua faktor. Pertama, pertumbuhan ekspor
manufaktur yang lebih lambat paska krisis. Kedua, perubahan komposisi ekspor,
dari Light Industries (TPT dan
pengolahan kayu) menjadi industri pengolahan makanan dan industri kimia yang
cenderung lebih padat modal.
.
Ekspor manufaktur memang masih sebagai kontributor utama
ekspor nasional. Data Bea Cukai per 30 Juni 2019 menggambarkan bahwa ekspor
dari sektor manufaktur masih mendominasi ekspor nasional, yaitu sekitar 70
persen. Namun demikian, angka tersebut tumbuh negatif bila dibandingkan periode
yang sama tahun 2018. Kondisi ini seakan mengonfirmasi kontribusi manufaktur
atas pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah membaik sejak tahun 2008.
.
Pengangguran terbuka nasional versi Badan Pusat Statistik
(BPS) per Agustus 2018 mencapai 7 juta orang lebih, dengan komposisi terbesar
(87 persen) berpendidikan sampai setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU).
Demografi tenaga kerja seperti itu jelas cenderung cocok dengan kategori Light Industries, yang sayangnya
jumlahnya tidak tumbuh membaik.
.
Bila menilik komposisi ekspor beberapa jenis barang utama
nonmigas di tahun 2018, menurut rilis BPS ekspor hasil industri yang mengalami
pertumbuhan tertinggi adalah besi baja (69,4 persen) dan kimia dasar (16,9
persen). Bandingkan dengan hasil industri pakaian jadi yang tumbuh 8,5 persen,
meskipun secara kontribusi masih yang tertinggi.
.
Perkembangan realisasi investasi PMA yang dikeluarkan BKPM,
memperlihatkan kondisi yang serupa. Sejak tahun 2010, realisasi investasi PMA
selalu tertinggi di industri makanan disusul industri kimia dan farmasi.
Realisasi investasi PMA disektor industri tekstil, tidak pernah lebih tinggi
dari USD 750 juta di tahun 2013, bandingkan dengan industri makanan serta industri
kimia dan farmasi yang masing-masing USD 2,12 miliar dan USD 3,14 miliar
ditahun yang sama.
.
Permasalahan menciutnya peran manufaktur dalam pertumbuhan
ekonomi, bila dibiarkan dapat berlanjut menjadi deindustrialisasi atau malah
bisa jadi saat ini deindustrialisasi tengah berlangsung. Visi Presiden dalam
menggenjot investasi sebenarnya sudah tepat, hanya saja lebih mantap lagi bila
investasi yang digenjot cocok dengan sektor industri penyerap tenaga kerja.
.
Indonesia memang sudah tertinggal dari negara-negara
tetangganya, apalagi ‘si bintang kejora’ Vietnam. Ketertinggalan tampak dari
komoditas ekspor Vietnam yang relatif lebih value added dibanding Indonesia
yang masih mengandalkan komoditas primer. Vietnam juga telah melewati era
perpindahan industri dari Light
Industries menuju industri padat modal. Alhasil, investasi industri padat
modal Vietnam merupakan jalan keluar dari ketersediaan tenaga kerja ’blue collar’ yang jumlahnya semakin
terbatas.
.
Produk pakaian jadi dan alas kaki Vietnam yang menjadi
pengekor China di ‘Global Market Share’,
sebagaimana disampaikan Hal Hill dari Australia
National University (ANU), jadi bukti kesuksesan melewati fase perpindahan.
Namun Indonesia, menurut riset ADB fase perpindahan industrinya tidak demikian.
Indonesia telah memulai membangun industri padat modalnya disaat pasar tenaga
kerja berketerampilan rendahnya masih tinggi.
.
Kebijakan mengembangkan industri padat modal memang tidak
salah, namun (kesan) meninggalkan industri penyerap tenaga kerja juga tidak bijak.
Indonesia yang Foreign Direct Investment
(FDI) inflow-nya di tahun 2018 versi United
Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) ternyata masuk 18 besar
dunia, lebih baik dari Vietnam di posisi 21, harus bisa memanfaatkannya dengan
maksimal.
.
Efektifitas investasi nasional penting untuk ditingkatkan,
tercermin dari indeks ICOR Indonesia yang dibawah negara-negara tetangga. ICOR
merupakan suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi)
baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output. Sehingga semakin rendah
indeksnya, semakin efektif investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada
tahun 2018, ICOR Indonesia masih di angka 6,3 dan masih dibawah Malaysia (4.6),
Filipina (3.7), Thailand (4.5), dan Vietnam (5.2), no wonder investasi jor-joran beberapa tahun ini belum ‘nendang’
efeknya.
.
Ada baiknya Pemerintah mulai lebih memberi perhatian lagi
kepada industri padat karya. Karena pengangguran terbuka dan angkatan kerja
dengan keterampilan rendah masih cukup menganga. Mungkin lebih baik kita mundur
selangkah, untuk kemudian bisa berjalan lebih jauh. Karena seharusnya Sumber
Daya Manusia, Investasi, dan Pertumbuhan Ekonomi tidak berjalan
sendiri-sendiri. Jangan sampai kita menjadi seperti judul lagu Iwan Fals,
‘Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarku’, yang tidak mungkin bersatu.
.
Wallahu a’lam
https://properti.kompas.com/read/2019/02/06/230829821/anggaran-infrastruktur-2019-tembus-rp-415-triliun?page=all.
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/14/20322301/pidato-visi-indonesia-jokowi-ancam-hajar-pungli-dan-penghambat-investasi.
https://katadata.co.id/analisisdata/2019/03/08/lesunya-industri-manufaktur-membuat-ekonomi-stagnan