Efek Covid-19 pada ekonomi
Pandemi Covid-19 dampaknya kini bukan hanya kepada kesehatan sebagaimana awalnya virus itu menjalar ke Indonesia atau seluruh dunia. Worldometer per 23 Juni 2020 mencatat kasus terinfeksi virus corona seluruh dunia mencapai 9,186,153 kasus, dengan jumlah kematian 474,260 jiwa dan 4,936,778 jiwa sembuh.
Kekhawatiran dan ketakutan akan keselamatan, saat ini sudah bertransformasi menjadi ketakutan terjadinya resesi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri memang, bila pandemi sepanjang hampir satu semester ini telah merubah arah perekonomian secara drastis. Data yang diambil dari Bloomberg memperlihatkan tren pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), memiliki kecenderungan yang sama yaitu declining.
Negara-negara dengan ekonomi besar seperti Amerika Serikat, kuartal pertama tahun 2020 hanya bisa tumbuh 0,3 persen atau sangat jauh dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2019 yang 2,7 persen. Mitra dagang utama kita yaitu Tiongkok, negara pertama terjangkit, bahkan terjun bebas menjadi minus 6,8 persen. Bagaimana dengan Indonesia? Kuartal pertama tahun ini juga merosot ke 2,97 persen.
Perekonomian nasional mulai merasakan tekanan, saat sebagian besar aktivitas ekonomi terhenti beroperasi. Tidak tanggung-tanggung, pandemi ini mengancam Indonesia baik dari sisi demand dan supply sekaligus. Rilis ekonomi nasional kuartal pertama BPS memperlihatkan fakta pelemahan seluruh komponen demand, terutama konsumsi yang hanya tumbuh 2,7 persen padahal kontribusi PDB-nya adalah tertinggi (59,4 persen).
Sisi supply kondisinya sebelas dua belas dengan sisi demand, dimana seluruh komponen pembentuknya bermufakat untuk melemah. Sektor-sektor dengan kontribusi terbesar seperti manufaktur (20 persen), perdagangan (13,2 persen), dan pertanian (12,8 persen), sepakat untuk tidak tumbuh di atas 2 persen bahkan pertanian tidak tumbuh sama sekali.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, beberapa kebijakan disiapkan untuk menyelamatkan dan memulihkan ekonomi nasional. Kebijakan seperti menjaga konsumsi masyarakat, mendukung dunia usaha dan mempertahankan investasi, hingga ekspor-impor telah serius dipersiapkan. Namun demikian, langkah tersebut tentu berimplikasi pada dana yang harus disediakan.
Mampukah bayar utang?
Pemerintah telah menyiapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan dana mencapai Rp582,15 triliun, bila biaya kesehatan dimasukkan angkanya membesar menjadi Rp669,7 triliun. Biaya sebanyak itu sudah pasti berdampak pada APBN, yang defisitnya melebar menjadi Rp1.039 triliun atau 6,34 persen PDB.
Kebijakan counter cyclical pemerintah dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi, memang harus dibayar dengan peningkatan utang. Rasio utang pemerintah diperkirakan berada di rentang 33,8 persen – 35,88 persen PDB di tahun 2020. Rasio tersebut memang masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam UU no 17/2013 tentang keuangan negara, yaitu 60 persen.
Rasio utang nasional memang masih aman bila dibandingkan dengan PDB, namun bagaimana bila menggunakan barometer lain? Para pengamat ekonomi mulai mengingatkan penambahan utang, terutama utang luar negeri (ULN) nasional, baik pemerintah maupun swasta. Salah satunya adalah Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, yang mengingatkan pemerintah untuk mencermati risiko debt to service ratio (DSR).
Definisi DSR menurut Bank Indonesia (BI) adalah rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan. Alhasil rasio DSR, mencerminkan kemampuan sebuah negara menyelesaikan kewajiban membayar utang. Jika rasio DSR semakin besar berarti beban utang yang ditanggung semakin besar, demikian pula sebaliknya. Sedangkan transaksi berjalan adalah semua transaksi ekspor dan impor barang-barang dan jasa-jasa.
Merujuk Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dirilis BI, DSR kuartal 1 tahun 2020 adalah 27,65 persen. Rasio tersebut meningkat bila dibandingkan DSR kuartal 4 tahun 2019 yang 18 persen. Peningkatan DSR (ULN) tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan Covid-19.
Apakah kita harus khawatir? Khawatir boleh tapi lebih tepat waspada karena meski DSR meningkat, tapi bila dilihat tren DSR kuartal 1 sejak 4 tahun terakhir memang selalu di atas 25 persen. Alhasil peningkatan itu (bisa dibilang) merupakan pola tahunan, bahkan bila disetahunkan (annualized) DSR tahun 2020 yang 21,99 persen masih yang terendah sejak tahun 2015 yang rata-rata 27,66 persen atau batas aman menurut International Monetary Fund (IMF) yang sebesar 25 persen.
Sebenarnya ada yang lebih penting untuk diwaspadai, yaitu bagaimana menjaga kinerja ekspor. Hal itu menjadi penting mengingat DSR erat kaitannya dengan ekspor yang merupakan (salah satu) andalan pemasukan devisa. Padahal menurut data Bea Cukai kinerja ekspor sepanjang tahun 2020 ini, trennya selalu negatif setiap bulannya (kecuali Februari) dengan penurunan tertajam di bulan Mei yang -28,96 persen (yoy) sehingga secara akumulatif tumbuh negatif 5,92 persen. Ngeri kan…?
Komoditas ekspor andalan nasional juga masih itu-itu saja, atau didominasi hasil alam dan olahan primer. Data bea cukai hingga bulan Mei 2020 menunjukkan bahwa komoditas utama ekspor ditempati batu bara diikuti minyak goring dan hasil alam lainnya. Kondisi ini rentan terhadap pergerakan harga global, yang saat ini cenderung melemah terdampak pandemi. Nah inilah PR utama, bagaimana Indonesia meningkatkan nilai tambah produk ekspornya, sehingga bisa meningkatkan kinerja ekspor sekaligus daya tahan industri dalam negeri.
Stimulus bisa jadi unfair trade
Hal lain yang juga perlu diperhatikan pemerintah sebagai dampak kebijakan penyelamatan dan pemulihan ekonomi, adalah stimulus bagi industri. Stimulus atau insentif dapat dipersepsikan negara mitra dagang sebagai tindakan curang Indonesia dalam melakukan perdagangan atau unfair trade sekaligus bentuk penerapan tax remedies.
Tax remedies sendiri adalah instrumen yang digunakan suatu negara untuk melindungi industrinya dari akibat praktik perdagangan tidak sehat. Instrument tersebut bisa berupa bea masuk antidumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards, termasuk juga stimulus atau fasilitasi.
Pada situasi pandemi, program PEN dengan stimulus industri mungkin bisa dikecualikan dari tuduhan kecurangan, karena lumrah juga dilakukan negara lain saat ini. Namun demikian perlu kehati-hatian dan kecermatan tentang berapa lama stimulus itu diberikan. Mengingat bila kondisi dianggap sudah masuk fase pemulihan, PEN bisa jadi dianggap sebagai kebijakan yang restriktif bahkan distortif terhadap perdagangan.
Tapi ada hal yang bisa dibilang lebih penting dibanding tuduhan unfair trade, yaitu guyuran impor asal negara lain yang juga memberikan stimulus pada industrinya. Ancaman terdekat mungkin datang dari Tiongkok, yang sudah mulai pulih industrinya disaat negara lain masih fokus pada penanganan Covid-19.
Tiongkok saat ini pasti sudah siap dengan persediaan barang ekspornya, dan melihat Indonesia sebagai tujuan ekspornya. Bila barang impor yang masuk merupakan produk andalan industri nasional dan sedang mengalami penurunan demand, tentu makin menambah tekanan meskipun belum dalam jumlah besar.
Kekhawatiran-kekhawatiran atas utang yang meningkat dan tuduhan tindakan kecurangan perdagangan memang suatu hal yang perlu dilakukan. Namun demikian jangan sampai semua kehawatiran itu, menutupi potensi masalah dan menjadi bom waktu yang tidak terdeteksi bagi ekonomi bangsa ini.
Wallahua’lam